Speakaholic adalah tragedi purba yang kembali diidap manusia modern. Di media digital ia adalah penyakit zaman yang mengancam kedalaman jiwa.
Dunia digital telah mengubah komunikasi manusia menjadi arena pementasan yang tak pernah sunyi. Ia hadir menjadikan percakapan sosial sangat terbuka, interaktif, dan inklusif sepanjang waktu. Di dalamnya aneka jenis suara diproduksi dan menciptakan riuh. Aneka hal diperbincangkan secara bebas, tanpa batas. Darinya hal-hal baik bisa lahir: dialog kreatif, informasi bermutu, keterlibatan produktif dan manusiawi, serta menjadi pencerahan dan konstruktif. Tapi, sering juga rumah digital kian tersaput hiper-komunikasi yang melahirkan patologi perilaku yang menyapu adab berujar dan etika komunikasi. Hal yang kedua ini, karena rahim digital kita dihuni tabiat speakaholic alias gila bicara.
Istilah speakaholic digunakan di sini untuk mengacu pada kecenderungan kompulsif individu berbicara bebas, tanpa saringan, membanjiri jagat maya dengan ujaran yang seringkali minim substansi, lepas etika, narsisistik, atau bahkan destruktif.
Ia digunakan untuk menjelaskan tentang kegilaan bicara yang diidap oleh sebagian individu di ruang digital: sebuah dorongan adiktif dan kompulsif untuk terus menerus menghasilkan ujaran, narasi, dan opini di lapak publik digital, tanpa pertimbangan manusiawi. Jika alkoholisme adalah kecanduan terhadap zat, maka speakaholic adalah kecanduan terhadap validasi audiens dan keberadaan diri melalui utterance yang tak terputus. Lapak digital, dengan desain algoritmiknya, bertindak sebagai stimulan yang memabukkan, menjanjikan keabadian mikro-selebriti bagi setiap individu yang bersedia menukarkan privasi dan keheningan batinnya dengan perhatian massal.
Kegilaan bicara di lapak digital wujudnya beraneka rupa, melampaui sekadar berbagi informasi atau status harian. Ini merefleksikan upaya individu atau kelompok untuk mengklaim dan mengkapling ruang serta relevansinya secara terus-menerus. Berbagai kasus bisa kita lihat. Pertama, storrytelling perpetual, yaitu konsep penceritaan yang berlangsung terus-menerus, berkesinambungan, dan tidak berhenti pada satu momen, melainkan menjadi bagian dari proses komunikasi atau branding yang berkelanjutan. Bentuk di mana seluruh aspek kehidupan, dari makanan pagi hingga konflik rumah tangga maupun kelompok, diubah menjadi konten yang harus dikonsumsi. Keintiman dijadikan komoditas, dan kehidupan privat lenyap dalam fatamorgana real-time update.
Kedua, kultus opini tanpa henti. Hal ini dapat kita saksikan ketika terjadi twitter storm (fenomena viral di twitter, percakapan masif tentang satu topik) atau comment war (perdebatan sengit di kolom komentar, biasanya penuh emosi dan balas-balasan). Kondisi ini melahirkan dorongan untuk berkomentar pada setiap isu, tanpa memedulikan kedalaman atau kompetensi pengetahuan. Ujaran menjadi senjata emosional, menuntut engagement melalui polarisasi atau hiperbola.
Ketiga, konstruksi diri narsisistik. Penggunaan lapak digital sebagai monolog identitas yang dikurasi secara ketat, di mana setiap unggahan berfungsi sebagai penegasan superioritas, kebahagiaan yang bisa jadi palsu, atau kebenaran pribadi yang tak tergoyahkan meski sejatinya adalah semu.
Keempat, wacana politik soundbite, yaitu keterlibatan politik yang didominasi oleh ujaran cepat, slogan emosional, dan penolakan terhadap narasi panjang atau argumen yang kompleks. Tujuannya bukan lagi dialog, melainkan dominasi kebisingan (noise dominance) untuk meraup emosi dan meneguhkan kebenaran tapi palsu.
Fenomena speakaholic terjadi karena banyak hal. Secara psikologis bisa dijelaskan berbagai penyebabnya. Pertama, ketika diri lapar validasi. Secara psikologis, speakaholic berakar pada kebutuhan dasar manusia yang didistorsi oleh arsitektur digital. Kebutuhan akan pengakuan (recognition) dan validasi (validation) di lapak digital diukur dari metrik dangkal (likes, shares, views). Diri menjadi terfragmentasi, di mana identitas sejati disubordinasikan oleh identitas performative.
Kegilaan bicara menjadi manifestasi dari narsisisme digital, yaitu dorongan untuk terus menjadi pusat perhatian, didorong oleh kecemasan akan ketidakrelevanan (fear of being irrelevant). Atau juga karena dopamine loop, yaitu setiap notifikasi menjadi dosis dopamin yang memicu respons adiktif, memprogram otak untuk menukar thought dengan post. Ini menciptakan ketergantungan pada feedback eksternal untuk mengatur suasana hati dan harga diri. Atau juga karena erosi kapasitas kontemplasi. Yakni keharusan untuk merespons dan berbicara secara instan menghilangkan ruang sunyi untuk refleksi mendalam, memproduksi ujaran yang dangkal dan reaktif.
Secara sosiologis, speakaholic mencerminkan krisis budaya keheningan dan privasi. Masyarakat dipaksa masuk ke dalam panopticon virtual, di mana setiap orang adalah pengawas sekaligus yang diawasi. Akibatnya terjadi pencairan batas publik-privat; batas antara yang layak diucapkan (publik) dan yang seharusnya disimpan (privat) menjadi cair, menghancurkan common decency dan rasa malu. Kedua, terjadi kelelahan informasi dan empati. Banjir ujaran (infobesity) menyebabkan kelelahan kognitif dan hilangnya kemampuan untuk mendengarkan secara mendalam. Komunikasi di lapak digital berubah dari interaksi menjadi monolog serial, merusak kohesi sosial yang sehat. Dan ketiga, komodifikasi diri. Diri individu dan pengalamannya secara total dikomodifikasi sebagai modal (social capital), membuat speaking bukan lagi ekspresi, melainkan labor (kerja) yang bertujuan menghasilkan nilai.
Di ranah politik kebisingan karena speakaholic justru didayagunakan sebagai strategi. Lapak digital dimanfaatkan menjadi medan perang yang menggunakan noise sebagai strategi utama. Misalnya terjadi taktik pengalihan (manufacturing noise). Konten yang terus-menerus dan sensasional digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu substantif yang kompleks. Kegilaan bicara menjamin bahwa ruang wacana selalu dipenuhi oleh hal-hal yang reaktif, bukan reflektif.
Kedua, polarisasi dan echo chamber. Speakaholic beroperasi dalam echo chamber, di mana ujaran yang sama diulang-ulang hingga menjadi kebenaran yang mutlak dan fanatik di lapak digital. Hal ini merusak diskursus demokratis yang seharusnya dibangun di atas keragaman dan kritik yang beradab. Ketiga, kepemimpinan digital menjadi micro-tyrants. Setiap speakaholic yang sukses menjadi mikro-tiran dalam komunitasnya, mendominasi narasi dan menuntut ketaatan emosional, seringkali melalui cancel culture yang didorong oleh mentalitas massa (mob mentality) yang selalu siap berteriak keras memenuhi berbagai sudut lapak digital.
Akibat dari kegilaan bicara ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif. Secara batin, individu terdisintegrasi dari dirinya yang otentik, hidup dalam kecemasan konstan akan penampilan dan feedback digital. Secara sosial, terjadi fragmentasi, di mana masyarakat hidup berdampingan tetapi tidak saling mendengarkan, hanya menunggu giliran untuk berbicara. Moralitas publik terdegradasi menjadi etika virality, di mana yang benar adalah yang paling banyak dibicarakan, bukan yang paling substantif.
Penyembuhan kegilaan bicara ini, terapinya tidak dapat hanya bersifat teknis, tetapi harus menyentuh dimensi spiritual dan moralitas. Nilai-nilai moralitas agama, spiritualitas, dan kearifan lokal yang secara universal menekankan kedamaian, kontemplasi, dan kontrol diri, menawarkan antidote yang manjur. Pertama, prinsip akuntabilitas. Ayat-ayat Al-Qur'an tentang lisan (lisān) dan perkataan (qawl) menjadi peneguhan tentang perintah etis universal di setiap media, termasuk ruang digital. Setiap kata adalah rekaman abadi yang akan dipertanggungjawabkan. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (Surah Qaf/50: 18).
Ayat ini sebagai peringatan ultra-real-time. Jika dahulu ucapan di udara lenyap, kini di lapak digital, setiap post, tweet, dan komen adalah rekaman permanen. Kesadaran ini selaiknya menciptakan sensor diri secara yang lebih ketat. Keberadaan dua malaikat pencatat, yaitu Raqib dan Atid, yang dikisahkan dalam ayat ini selaiknya memicu kondisi iḥsān,yaitu merasa diawasi oleh Tuhan dalam setiap komunikasi. Ini secara efektif melawan dorongan anonimitas atau arogansi yang sering terjadi dalam perang komentar digital.
Kearifan Jawa mengajarkan konsep ménép dan eling lan waspådå: Konsep ménép (berdiam, menenangkan diri) adalah kebalikan dari gila bicara. Ia adalah latihan untuk menarik energi dari luar (layar, notifikasi) ke dalam diri, menemukan pusat ketenangan. Adapun eling lan waspådå (sadar dan waspada) mengajarkan kita untuk waspada terhadap segala gerak pikiran dan lisan, termasuk ketukan jari di papan ketik. Sebelum kita bicara, kearifan Jawa mengajukan pertanyaan kritis: apa iki perlu, apa iki migunani? Sebab, semuah hal yang kita wicarakan abadi dalam rekaman Ilahi.
Kedua, tentang kualitas ujaran. Al-Qur’an tidak melarang bicara, sebaliknya ia memerintahkan kualitas dan kegunaan dari ujaran. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (qawlan sadīda).” (Surah Al-Ahzab/33: 70)
Imam Al-Razi menguraikan kata qawlan sadīda (perkataan yang benar, lurus, tepat) sebagai ucapan yang memenuhi tiga kriteria: benar faktanya, lurus niatnya, dan bermanfaat dampaknya. Ini adalah antitesis langsung dari speakaholic, yang bicaranya cenderung reaktif, hiperbolik, dan bertujuan memuaskan ego atau memicu polarisasi. Ujaran yang benar adalah yang bertujuan membangun maslahat (kebaikan umum), bukan ujaran yang bertujuan pamer (irdz) atau mencari pengakuan dan popularitas digital. Kunci qawlan sadīda adalah wajib verifikasi (tabayyun) sebelum berujar serta melawan hoaks dan kebohongan digital, bukan sebaliknya.
Dalam petuah Jawa kita memiliki warisan kearifan ajining dhiri soko lathi (nilai diri dari ucapan). Petuah ini merupakan peneguhan dan pengakuan bahwa nilai dan martabat seseorang diukur dari kualitas ucapannya. Dalam konteks digital, lathi (lidah) menjelma menjadi ‘jemari’ yang mengetik. Kegilaan bicara biasanya menghasilkan tuturan yang dangkal, reaktif, atau bahkan penuh caci maki, yang secara langsung meruntuhkan ajining dhiri (harga diri) pembicara. Kearifan ini menuntut kita untuk menjadikan setiap kata di media digital sebagai representasi utuh dari karakter kita.
Ketiga, menghindari perkataan sia-sia (al-laghw). Di antara ciri utama kegilaan bicara adalah memproduksi konten yang sia-sia, maka mengabaikan laghw adalah tanda kematangan spiritual. “Dan sungguh beruntung orang-orang yang berpaling dari (perkataan dan perbuatan) yang tidak berguna (al-laghw).” (QS. Al-Mu’minūn/23: 3). Mufasir menjelaskan bahwa al-laghw mencakup perkataan dan perbuatan yang tidak membawa manfaat, duniawi maupun ukhrawi. Tindakan berpaling darinya tidak hanya tidak mengucapkan, tetapi juga menjauhi dari habitusnya. Terapi ini berarti berhenti memproduksi konten yang sia-sia (monolog narsistik maupun opini tanpa dasar) dan berhenti mengonsumsi kebisingan yang merusak (infobesity, gossip). Keberpalingan dari laghw adalah praktik digital retreat yang disarankan oleh Al-Qur'an.
Pada ayat yang lain, manusia diingatkan perlunya wicara yang berbekas dan tepat guna dengan memakai istilah qawlan balīghan (QS. An-Nisā'/4: 63). Ayat ini menekankan efisiensi dan efektivitas komunikasi, berbicara yang esensial,mengurangi noise, dan berdampak positif. Kita juga diingatkan bahwa lemah lembut adalah bagian dari wicara yang baik (qawlan layyinan) (QS. Tāhā/20: 44). Bahkan, ketika berhadapan dengan orang yang memiliki pendapat yang berseberangan, komunikasi harus berbalut kelembutan untuk menghindari eskalasi konflik digital (flaming). Tujuannya adalah untuk menjaga kehormatan dan martabat dalam setiap interaksi digital, menghindari caci maki atau ujaran yang merendahkan yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan qawlan karīman (QS. Al-Isrā'/17: 23)
Speakaholic adalah tragedi purba yang kembali diidap manusia modern. Di media digital ia adalah penyakit zaman yang mengancam kedalaman jiwa. Ia menjanjikan koneksi tetapi justru merampas keintiman sejati dengan diri sendiri. Kita telah kehilangan bahasa keheningan. Lapak digital, alih-alih menjadi ruang percakapan, telah menjadi ruang display kebisingan. Kerangka etis menuntun kita kembali ke ruang kontemplasi. Keberanian sejati di era digital bukanlah keberanian untuk bersuara paling keras dan lantang, melainkan keberanian untuk menarik diri, merenung, dan kemudian memproduksi ujaran yang berasal realitas, kebenaran dan kedalaman batin, bukan dari kedangkalan reaktivitas. Kegilaan bicara hanya akan sembuh ketika individu kembali menemukan kekayaan makna dalam keheningan yang membicarakan fakta, data dan kebenaran.[]
Guru Besar ilmu Tafsir dan Al-Quran di UIN Raden Mas Said Surakarta. Kini sebagai Direktur Pascasarjana UIN Raden Mas Said Surakarta dan Pengurus Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Indonesia.
Al-Qur'an | 26.09.2020
Al-Qur'an | 26.09.2020
Al-Qur'an | 05.10.2020