Banjir bandang yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 adalah bencana sekaligus tragedi kemanusiaan. Ribuan jiwa menjadi korban dan berbagai infrastruktur rusak parah.
Oleh sebagian ahli, peristiwa ini terjadi, salah satunya karena deforestasi dan alih fungsi hutan, tanpa aturan, sehingga alam pun kehilangan jalan keseimbangan. Peristiwa ini memaksa kita bertanya: Mengapa, di negeri yang kaya ajaran spiritual, agama, dan adat luhur, justru menjadi arsitek dari kehancuran ekologis?
Dalam prinsip Islam, manusia adalah khalīfatullāh fil arḍ—mandataris Tuhan dalam mengelola alam. Artinya, manusia memiliki tanggungjawab etis atas alam semesta. Tugas ini mencakup menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan lingkungan, dan mencegah kerusakan alam. Dalam konsep tasawuf, manusia sebagai mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos. Oleh karena itu, merusak alam berarti merusak diri sendiri. Peran khalifah tersebut adalah praktik manusia yang memantulkan citra Ilahi, termasuk kasih sayang dan keadilan terhadap alam dan lingkungan. Menjaga alam berarti bagian dari praktik penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) menuju manusia sempurna dan sekaligus bentuk maḥabbah (cinta) kepada Allah, karena alam adalah tanda-tanda kebesaran-Nya.
Tragedi banjir yang melanda Aceh dan sekitarnya merupakan akibat dari gagasan tentang pengelolaan alam bergeser menuju penundukkan alam, yang secara literalis sebagai lisensi eksploitasi tanpa batas. Hal ini diperparah dengan sikap bersekutu dengan ideologi pertumbuhan ekonomi kapitalistik, yang menggantikan peran stewardship (pengelolaan) dengan dominion (penaklukan). Akhirnya, hutan direduksi menjadi kayu log, sungai menjadi kanal pembuangan, dan lahan gambut menjadi komoditas perkebunan. Ironisnya, alih-alih menjadi subjek yang memelihara keseimbangan, manusia modern justru menjelma menjadi subjek yang merusak, membalikkan makna sejati dari khalifah menjadi penjajah di tanah di mana ia hidup.
Berkali-kali, agama dan kearifan lokal memahamkan kita bahwa manusia mesti menempatkan diri sebagai bagian integral dari alam. Manusia bertugas merawat keseimbangan kosmik dan dilarang keras melanggar batas keseimbangan itu (Q.S. Ar-Rahman [55]: 7-8). Ayat ini adalah fatwa ekologis universal bahwa keadilan sosial dan ekologis tidak dapat dipisahkan dari pemeliharaan keseimbangan kehidupan manusia dan alam semesta. Eksploitasi yang menyebabkan banjir adalah bentuk pelanggaran batas (ṭugyān) dan pengkhianatan atas keseimbangan.
Ayat ini secara kosmik mengingatkan manusia bahwa dunia bukan miliknya mutlak, melainkan amanah yang harus dijaga. Mīzān dalam konteks ajaran di atas adalah garis yang menahan bumi dari kekacauan, hukum yang menjaga agar manusia tidak menjarah alam untuk memenuhi hasrat kerakusan material. Maka, dimensi ekologis mīzān adalah ekosistem, keseimbangan air, udara, tanah, dan kehidupan. Merusaknya adalah bentuk keangkuhan yang melampaui batas (ṭughyān).
Secara spiritual, Ibn ‘Arabi memahami konsep mīzān sebagai harmoni kosmik, di mana manusia sebagai khalifah harus menjaga keseimbangan diri, lahir dan batin. Keseimbangan alam adalah cermin dari keseimbangan diri manusia: merawat bumi adalah bagian dari penyucian diri dan menjaga keseimbangannya adalah bagian ekspresi syukur di hadapan Pencipta.
Di sini, menjaga alam bukan sekadar tugas ekologis, melainkan ekspresi ibadah. Menanam pohon adalah doa yang tumbuh, menjaga sungai adalah tasbih yang mengalir, merawat udara adalah zikir yang berhembus. Mīzān adalah nafas keseimbangan, dan manusia diminta untuk tidak merusaknya.
Melalui ajaran agama, manusia juga diingatkan bahwa alam bukan entitas mati. Secara eksentrik, ia digambarkan Al-Quran sebagai makhluk yang bertasbih kepada-Nya (Q.S. Al-Isra' [17]: 44). Bertasbih bukan hanya ekspresi ketundukan, tetapi juga kesadaran tentang pemuliaan dan keselarasan semesta. Ayat ini menyadarkan manusia bahwa alam memiliki nilai teologis intrinsik, karena fungsinya sebagai penyembah. Merusak alam berarti merampas hak makhluk lain untuk beribadah dan merusak masjid kosmik yang agung. Kilauan langit, denyutan bumi, setiap helai daun, tetes embun, dan desir angin, di dalamnya semua ada irama zikir. Tidak ada satu pun makhluk di jagat raya yang diam dari memuji Tuhan. Semesta adalah jamaah yang senantiasa beribadah. Tasbih alam ini adalah bukti keesaan Tuhan, meski manusia tidak mampu menangkap irama itu dengan indera. Maka, menanam pohon adalah doa yang tumbuh, menjaga sungai adalah tasbih yang mengalir, merawat udara adalah zikir yang berhembus. Semesta telah bertasbih, dan manusia diminta untuk tidak membungkamnya.
Bencana di Aceh ini juga akibat dari kerakusan manusia. Dalam Q.S. Ar-Rum [30]: 41 umat beragama telah diperingatkan secara lugas. Ayat ini adalah otokritik yang menunjuk langsung pada sebab-akibat. Banjir yang melanda bukanlah takdir buta, melainkan konsekuensi langsung (bimā kasabat) dari fasād (kerusakan), berupa korupsi, deforestasi, maupun polusi, yang diakibatkan oleh tangan-tangan yang mengatasnamakan pembangunan. Makna fasad dalam ayat ini, menurut Al-Qurtubi mencakup segala bentuk ketidakseimbangan: bencana, kekeringan, peperangan, hingga kerusakan ekologi karena eksploitasi alam, pencemaran laut, deforestasi, dan krisis lingkungan.
Selain prinsip moral agama, bangsa ini juga memiliki warisan kebijaksanaan yang hidup dalam kearifan lokal nusantara. Masyarakat adat, melalui pengetahuan turun-temurun, telah merumuskan mekanisme koeksistensi yang harmonis dengan alam. Misalnya, sistem Subak di Bali sebagai manajemen air yang terintegrasi, praktik Sasi di Maluku untuk moratorium panen sumber daya alam, penghormatan terhadap Hutan Larangan Adat yang secara efektif berfungsi sebagai benteng konservasi, atau prinsip Trihitakarana yang telah menghunjam dalam kesadaran masyarakat Jawa dan Bali.
Kearifan lokal dan spiritualitas agama ini bukan sekadar tradisi usang, melainkan sebuah sains ekologis yang teruji oleh waktu. Ia menempatkan alam sebagai subjek, bukan objek. Ia mengajarkan bahwa air, tanah, dan pohon memiliki spirit dan hak untuk hidup, yang harus dihormati—sebuah pandangan yang sejajar dengan ajaran tauhid dalam Islam tentang kesatuan ciptaan.
Menumbuhkan kearifan lokal dan spiritualitas agama berarti menghentikan narasi sentralistik pembangunan dan memberikan otoritas kepada kearifan komunitas adat dalam pengelolaan wilayah mereka. Ini adalah langkah radikal untuk mendekonstruksi modernitas yang arogan dan rakus, yang secara nyata melahirkan kerusakan, kemudian menggantinya dengan sikap merangkul kerendahan hati ekologis, mengakui bahwa masa depan manusia terikat erat pada kesehatan dan kehidupan alam.
Ketika kita berhasil memulihkan makna amanah ekologis dan mengintegrasikan kearifan leluhur dan spiritualitas agama ke dalam konstitusi ekologis bangsa, kita layak berharap untuk mengeringkan kesedihan semesta. Jika tidak, air bah berikutnya akan datang, bisa jadi lebih dahsyat, sebagai konsekuensi kebodohan kolektif yang kita ciptakan sendiri.