Sedang Membaca
Hidayah itu Terserah Allah

Hidayah itu Terserah Allah

Kisah ini terjadi kira-kira 24 tahun silam tepatnya tahun 1996, dan benar-benar dialami oleh Habib Quraisy bin Qosim Baharun Cirebon. Saat itu beliau masih berusia sangat muda sekitar 25 tahun. Semoga dari kisah sekelumit ini bisa melahirkan perenungan yang dalam sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, betapa berharganya iman dan Islam untuk kita manusia khususnya umat Rasulullah Muhammad saw.

Ketika itu pesawat baru saja take off  melintasi benua Afrika, diantara para penumpang pesawat tersebut adalah Habib Quraisy. Baru saja Habib Quraisy melepas sabuk pengaman, secara tak sengaja beliau melirik siapa yang duduk disebelah seat-nya.

Seorang ibu tua yang sangat santun berkerudung sambil melemparkan senyum menyapa. Usia ibu tua itu berkisar antara 70 atau 75 tahun. Dengan ramahnya ibu itu menyapa Habib Quraisy sambil melempar beberapa pertanyaan berbahasa Arab yang fasih.

Asif ‘ant earabi ‘aw ‘iifriqiin?” Tanya Ibu itu.

Ana min ‘asl earabiin likuniyin wulidat fi ‘iindunisia”, jawab si Habib sambil tersenyum.

Mengetahui Habib Quraisy orang Indonesia, dengan cepatnya ibu tua itu merubah bahasanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.

“Oh…. Indonesia…., Tujuannya?” kembali si ibu menimpali pertanyaan lagi.

“Saya akan transit di Yordan lalu melanjutkan perjalanan ke Yaman”.

Lantas Habib bertanya balik tentang asal negara ibu itu. Ibu tua itu adalah wanita kelahiran Jerman dan warga Negara Jerman. Karena mungkin melihat Habib yang masih amat muda, kemudian si ibu  bertanya lagi..

“Adik Indonesia-nya dari daerah mana?”.

Habib Quraisy katakan; “Saya tinggal di Jawa”.

Seolah mendapat sesuatu yang sudah begitu akrab, Ibu itu lantas merubah dialognya dengan menggunakan bahasa Jawa krama inggil yang membuat hampir-hampir Habib Quraisy tidak paham.

“Ibu ini sungguh luar biasa, ibu begitu banyak menguasai bahasa sampai bahasa Indonesia dan Jawa sekalipun, padahal ibu adalah orang Jerman”, kata Habib pada ibu itu. Ibu itu hanya tersenyum bijaksana dan santun lalu menjawab, “Alhamdulillah saya menguasai sebelas bahasa induk dan dua puluh bahasa daerah”.

Waktupun berjalan dan bergulir begitu cepatnya hingga tanpa sadar perbincangan Habib Quraisy bersama Ibu itu mengarah kepada hal yang berkaitan dalam dengan agama. Ibu itupun mulai membahas Al Qur’an dengan cukup indah menawan dan nampak begitu piawai menguasainya hingga yang paling detail sekalipun. Si Habib tambah begitu penasaran atas kehebatan sang ibu dalam menjelaskan tentang rahasia Al Qur’an.

“Apakah Ibunda hafal Al Qur’an?”, sergah Habib dengan penuh keheranan dan takjub.

Beliau menjawab, “ya, saya hafal Al Qur’an, tapi saya sangat sadar bahwa menghafal Al-Qur’an saja tidaklah cukup sehingga saya juga harus menghafal Tafsir Jalalain sebagai penguat dari semuanya itu”.

Ibu Tua itu melanjutkan perbincangannya, “Al Qur’an tidak bisa berdiri sendiri jika tanpa harus menggandeng Hadist Rasulullah sebagai pasangannya. Sehingga kemudian saya berupaya lagi untuk menghafal Hadist, Fiqh, Ushulfiqh. Saya juga hafal kitab Hadist Bulughul Maram di luar kepala”.

“Itu tidak lantas membuat perasaan saya sudah cukup dengan Islam, karena di dalam Islam bukan hanya ada halal dan haram tapi harus ada fadhailul amal, untuk itulah saya pilih kitab Riyadhus Sholihin untuk saya hafal juga dan saya pun hafal”, Ibu itu menuturkan pendalamannya tentang Islam dengan wajah dan senyuman yang kelihatan damai kepada Habib Quraisy.

Ibu itu kembali melanjutkan percakapannya, “Di dalam agama Islam ada yang namanya tasawuf, saya sangat konsen dan tertarik pada ilmu tasawuf. Kitab yang bersinggungan dengan ilmu tersebut yang saya pilih adalah kitab Ihya Ulumuddin, dan sampai detik ini saya bertemu adik sudah 50 kali khatam membacanya. Saking seringnya saya membaca Ihya Ulumuddin sampai-sampai bab Ajaibul Qulub hafal di luar kepala”.

Baca juga:  Sidi Abu Madyan dari Spanyol dan Ramalan Syekh Abu Yaz’a

Habib Quraisy mulutnya seolah terkunci rapat terperangah atas kehebatan yang begitu menakjubkannya Ibu ini dalam hati kecilnya. Sebagai seorang ulama Islam, beliau tidak begitu saja percaya atas segala kalimat-kalimat yang disampaikan oleh ibu tua tersebut.

Si Habib pun akhirnya angkat bicara karena sejak tadi hanya terdiam mendengar cerita panjang sang ibu tua, kini Habib mencoba mengetes kebenaran perkataannya. Apakah benar si ibu benar-benar hafal Al Qur’an? Apakah benar dia menguasai Tafsir Jalalain tentang Asbabun Nuzul dan Qaul Ibnu Abbas?

Setelah melewati beberapa pertanyaan yang cukup detail. Ternyata memang benar ibu itu hafal Al Qur’an bahkan dia mampu menjabarkan tafsirnya dengan terperinci dan piawai. Selanjutnya Habib mencoba mengangkat permasalahan Ihyaul Mawat yang ada di dalam kitab Bulughul Maram.

Tanpa ba-bi-bu lagi ibu tua itu pun menjabarkan dengan begitu jelas dan gamblangnya. Tak berhenti sampai disitu, Habib masih memberi pertanyaan tentang hadist Riyadhus Sholihin.

Ibu tua itu sambil tersenyum seolah tidak memiliki ilmu menjawabnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kitab Dalilul Falihin sebagai syarah kitab hadist tersebut. Dan tanpa ditanya lagi ibu itu menjelaskan tentang masalah hati secara psikologi berbasis dari kitab Ihya Ulumuddin dalam pasal Ajaibul Qulub.

Pesawat sedang berada diatas awan yang tenang dan tanpa gejolak, berbeda dengan hati dan pikiran Habib Quraisy yang duduk dengan tenang namun hati dan pikirannya bergejolak karena dialog dengan ibu tua tersebut. Habib begitu tercengang dan dibuat heran oleh kehebatan ilmu yang dimiliki ibu tua itu.

Dalam hati Habib, sejauh ini selain gurunya beliau belum pernah menemukan orang sedahsyat dan sekapasitas ibu tua yang duduk di sampingnya ini. Tanda-tanda menunjukkan bahwa pesawat akan segera landing di airport.

Ketika pesawat sudah benar-benar berhenti dan suara pengumuman dari pramugari telah mengijinkan pada penumpang semuanya untuk menyiapkan diri turun dari pesawat. Ibu itu mengambil tasnya yang berada di atas kabin, karena sudah merasa kenal dan kasihan dengan seorang ibu tua yang bepergian jauh sendirian, Habib pun membantu mengambilkan tasnya untuk diturunkan ke lantai pesawat.

Subhanallah… apa yang terjadi? Di luar dugaan ketika Ibu itu menunduk untuk mengambil tasnya, tiba-tiba keluar dari balik kerudungnya seuntai kalung salib kecil. Seolah kiamat bakal segera terjadi, Habib Quraisy terbelalak saat melihat dan kemudian menunduk dengan lemas badannya.

Di sisi lain, ibu tua itu hanya tersenyum seolah tanpa dosa dan mengatakan “Akan saya jelaskan kepadamu nanti di hotel”. Karena memang Habib akan transit dulu selama satu hari satu malam sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya, demikian juga dengan ibu tua itu.

Sesampainya di lobi hotel, nampak ibu tua sedang di depan resepsionis kemudian menengok kebelakang. Nampaknya Habib berada di tempat duduk lobi, ibu itu pun menghampiri Habib dan menunjukkan nomer kamar padanya.

Si Ibu berjanji untuk selanjutnya bertemu lagi melanjutkan obrolan di lobi sesuai kesepakatan mereka berdua. Beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di lobi hotel tersebut sesuai dengan kesepaktaan mereka tadi.

Dialog dibuka oleh ibu tua, “Saya bukan orang Kristen, saya sudah lama sekali keluar dari Kristen. Dan kalung ini (sambil dia membuka genggaman tangannya), bukan berarti saya Kristen, tapi kalung ini adalah pemberian Almarhumah ibu saya”.

Baca juga:  Setelah Mbah Hasyim Asy'ari, Sang Putra Zaman adalah Mbah Moen

Ibu tua itu pun menjelaskan bahwa dia telah banyak mempelajari esensi tentang beberapa agama antara lain; Kristen, Hindu, Budha dan tentu saja Islam. Ketertarikan dia kepada Islam adalah terletak pada keagungan yang ada di balik wahyu Allah Swt dan Hadits Nabi Muhammad saw.

Dengan penuh kebingungan dan keheranan yang sungguh diluar dugaan Habib Quraisy melanjutkan dialog dengan pertanyaan, “Ibu apa agamanya sekarang?”

“Saya tidak beragama”, jawab datar tanpa ekspresi dari ibu tua itu.

“Seandainya ibu masuk Islam, setelah selesai membaca kalimat syahadat, ibu pasti akan langsung menjadi seorang ulama besar”. Karena demikian luas ilmu pengetahuan tentang Islam yang ibu miliki kata Habib dengan pikiran yang penuh kebingungan.

Ibu tua itu nampak terdiam seolah memikirkan sesuatu, matanya memandang jauh dan tajam pada sesuatu dengan berkaca-kaca, sebelum mulutnya mengucapkan jawaban yang tidak dibayangkan oleh Habib Quraisy. Bibirnya bergetar kuat dengan kalimat pelan yang keluar dan seakan tertahan di tenggorokannya dia kemudian berbicara, “Mungkin saya belum mendapat hidayah dan inayah dari Allah Swt”.

Habib Quraisy menetaskan air mata karena rasa haru sekaligus syukurnya kepada Allah SWT, bagaimana orang sehebat dan secerdas ibu tua itu, hafal Al Qur’an tanpa ada sedikitpun kesalahan, Hadist, belum lagi kitab yang lain-lain. Namun belum Allah izinkan untuk beriman kepada-NYA. Sementara kita tanpa usaha apapun, telah dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi seorang yang muslim. Walau itu sebenarnya juga masih rahasia Allah.

Siapakah ibu tua itu sebenarnya? Beliau adalah Annemarie Schimmel,  seorang teolog asal Jerman yang banyak menulis buku maupun artikel di majalah dan koran tentang Islam dan Sufisme. Dunia Internasional mengenalnya sebagai seorang profesor Islamologi yang mengajar di Universitas Harvard.

Pada tahun 1995, Schimmel mendapatkan penghargaan Hadiah Perdamaian oleh Perdagangan Buku Jerman (Peace Prize of The German Book Trade), karena kontribusinya dalam membuat sintesis Islam dan modern, serta berhasil menulis 105 judul buku bertema Islam. Beberapa buku karyanya yang terhimpun dan beberapa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (seperti dikutip sejumlah sumber):

  • Mystical Dimensions of Islam (Diterjemahkan; Dimensi Mistik Dalam Islam. Pustaka Firdaus)
  • And Muhammad is His Messenger (Diterjemahkan; Dan Muhammad adalah Utusan Allah. Mizan)
  • The Mystery of Numbers (Diterjemahkan; Misteri Angka-Angka. Pustaka Hidayah)
  • Islam: An Introduction
  • A Two-Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry
  • The Triumphal Sun
  • My Soul is A Woman (Diterjemahkan; Jiwaku adalah Wanita. Mizan)
  • Deciphering the Signs of God (Diterjemahkan; Rahasia Wajah Suci Ilahi. Mizan)
  • The Empire of The Great Mughals: History, Art, and Culture
  • I Am Wind, you are Fire: The Life and Work of Rumi (Diterjemahkan; Akulah Angin, Engkaulah Api. Mizan)
  • As Through a Veil: Mystical Poetry in Islam
  • Calligraphy and Islamic Culture
  • Nightingales Under the Snow
  • Make A Shield from Wisdom
  • Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal
  • Islam and The Wonders of Creation: The Animal Kingdom
  • Pain and Grace: A Study of Two Mystical Writers of Eighteenth-Century Muslim India
  • Look! This is Love
  • Cats of Cairo: Egypt’s Enduring Legacy
  • A Dance of Sparks: Imagery of Fire in Ghalib’s Poetry
  • Classical Urdu Literature: From the Beginning to Iqbal
  • Islamic Literatures of India

Dia sangat fasih berbicara dalam bahasa ParsiTurki dan Urdu. Schimmel lahir dari keluarga kelas menengah Protestan, di ErfurtJerman. Ayahnya seorang pegawai pos, dan ibunya berasal dari keluarga pelayaran dan perdagangan Internasional.

Baca juga:  Burung Hitam dari Baghdad

Masa kecilnya begitu akrab dengan puisi dan literatur, meski keluarganya bukan dari kalangan akademisi. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya di usia 15 tahun, Schimmel bekerja sebagai relawan di Lembaga Pekerjaan Jerman (Reichsarbeitsdienst; RAD) selama enam bulan.

Dia mulai melanjutkan studinya di Universitas Berlin pada usia 17 tahun, ketika Jerman berada di bawah rezim Nazi. Dia banyak dipengaruhi oleh Hans Heinrich Schaeder, salah seorang pengajarnya yang menyarankan untuk mengkaji Diwani Shamsi Tabriz salah satu karya sufi besar Jalaluddin Rumi.

Schimmel menjadi satu-satunya mahasiswi termuda yang menyelesaikan studi doktoral di usia 19 tahun. Pada tahun 1946 di usia 23 tahun, dia menjadi profesor Kajian Arab dan Islam di Universitas Marburg. Schimmel menikah pada tahun 1950-an, lalu pada tahun 1954 dia menerima gelar doktor keduanya, tentang Sejarah Agama-agama (Religionswissenschaft) di kota Marburg.

Kemudian Schimmel diangkat menjadi profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara Turki. Dia mengajar dan mempelajari budaya dan tradisi mistisisme masyarakat Turki selama lima tahun. Dia adalah wanita non-muslim pertama yang mengajar teologi di Universitas itu.

Pada tahun 1967, Schimmel meresmikan sebuah program kajian Indo-Muslim di Universitas Harvard; dan menetap di fakultas tersebut selama 25 tahun. Dia dikenal memiliki keahlian ingatan fotografi (photographic memory); dan bekerja sebagai konsultan di Museum Seni Metropolitan dalam mengidentifikasi potongan manuskrip-manuskrip dan benda-benda kuno.

Sebagai akademisi, dia banyak memperbaiki pemahaman masyarakat Barat akan Islam. Selain itu, dengan analisis mendalamnya, dia sering kali menyampaikan sisi-sisi artistik dan ideologis dari budaya Islam kepada pembaca Eropa dan Amerika. Dia juga menaruh perhatian yang tinggi pada masalah-masalah kesetaraan gender yang berbasis dari Islam.

Ketika mengomentari doa-doa Islam khususnya “Shahifah Sajjadiyah” (Kumpulan Munajatnya Ali Zainal Abidin Sajjad), Annemarie mengatakan: “Saya selalu membaca doa-doa, hadist, dan sejarah Islam dari bahasa Arab aslinya dan tidak pernah merujuk ke terjemahan apapun,” katanya.

“Saya pernah menerjemahkan dan menerbitkan sebagian “Shahifah Sajjadiyah” ke dalam Bahasa Jerman.”

Sekitar 70 tahun lalu, ketika sedang menerjemahkan salah satu doa, ibu Annemarie sedang terbaring di rumah sakit. “Saya menemaninya. Setelah ibuku tertidur, saya duduk di pojok kamar dan menulis ulang terjemahan yang telah saya lakukan. Kamar ibuku memiliki dua ranjang. Di ranjang yang lain terbaring seorang wanita penganut Kristen Katolik yang sangat fanatik dan kuat akidahnya. Ketika melihat saya sedang menerjemahkan doa-doa Islam, ia serta merta memprotes keras saya: ‘Memangnya kita memiliki kekurangan doa di agama Kristen dan Kitab Suci, sehingga kamu memilih doa-doa Islam?’. Setelah buku itu dicetak, saya mengirimkan satu naskah kepada wanita itu.”

Sungguh diluar dugaan, sekitar sebulan setelah itu, wanita itu menelepon Annemarie, seraya berkata: “Saya sangat berterimakasih atas hadiah buku itu. Setiap hari saya membaca buku itu sebagai ganti dari doa-doa (yang biasa) saya (baca). Ali Zainal Abidin bisa membuat solusi bagi mayoritas masyarakat Barat.”

Schimmel meninggal di Bonn pada tahun 2003. Sebelum meninggal dia berpesan, agar dibacakan Surah Al-Fatihah ketika dia dimakamkan. Dan yang sangat menarik, di atas batu nisan Annemarie Schimmel tertulis kalimat Ali bin Abi Thalib (kakek Zainal Abidin) dengan khat Nasta’liq yang sangat indah:

الناس نيام فإذا ماتوا انتبهوا

“Seluruh manusia tertidur pulas. Ketika ajal tiba, mereka baru sadar”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
5
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
6
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top