Mahbib Khoiron
Penulis Kolom

Jurnalis, tinggal di Jakarta

Masjid Tegalsari, Candradimuka Para Tokoh Nusantara

  • Tegalsari memberikan fakta tentang wilayah pedalaman yang kosmopolit, egaliter, dan cenderung memiliki tingkat mobilitas tinggi.

Telinga kita mungkin akrab dengan nama-nama seperti tokoh pergerakan nasional Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto, pujangga keraton Raden Ngabehi Ronggowarsito, dan Raja Surakarta Sunan Pakubuwono II. Namun, tahukah kita bahwa spiritualitas para pesohor ini ditempa dalam satu masjid yang sama?

Ya, Masjid Tegalsari menjadi saksi bisu orang-orang besar pribumi menimba ilmu agama. Letaknya sekitar sepuluh kilometer arah tenggara dari pusat kota, persisnya di Dusun Gendol, Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Kiai Ageng Hasan Besari mendirikannya pada paruh pertama abad ke-18 lebih dari sekadar untuk tempat ibadah. Sebab, di desa yang diapit oleh sungai Keyang dan sungai Malo tersebut ia juga membangun pondok pesantren. Santrinya yang berjumlah ribuan datang dari seluruh penjuru tanah Jawa dan sekitarnya. Masjid Tegalsari Ponorogo menjadi kawah candradimuka para santri yang sedang mengaji.

Meski berada di lokasi yang cukup terpencil, peran Masjid Tegalsari sebagai pusat pendidikan Islam kala itu sangat menonjol.

Di masjid ini Kiai Ageng Hasan Besari menggembleng murid-muridnya tentang ilmu syariat, akidah, tasawuf atau akhlak hingga kesenian Jawa, khususnya sastra.

Jumlah santrinya pun terus meningkat, hingga mendorong dibangunnya pondokan-pondokan baru tak hanya di Tegalsari tapi juga di desa-desa di sekitarnya.

Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid, menyebut Tegalsari sebagai daerah yang jauh di pedalaman tapi mampu melahirkan pesantren pelopor, sebagaimana juga Tremas.

Baca juga:  Masjid Bintang Mas, Perpaduan Arsitektur Dua Kultur

Kita tahu, Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor yang terkenal kini memiliki akar sejarah dari masjid dan pesantren di Tegalsari. Fenomena ini, menurutnya, sekaligus membantah bahwa santri dan kosmopolitanisme hanya menjadi ciri masyarakat berbudaya pesisir.

Tegalsari memberikan fakta tentang wilayah pedalaman yang kosmopolit, egaliter, dan cenderung memiliki tingkat mobilitas tinggi.

Sayangnya, kejayaan pesantren dan aktivitas di Masjid Tegalsari secara perlahan menyusut setelah Kiai Ageng Hasan Besari wafat. Namun syiar Islam terus berlanjut di tangan anak, cucu, dan murid-muridnya dengan mendirikan pesantren di berbagai daerah.

Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai peninggalan terbesar didirikan oleh tiga cucu Kiai Ageng Hasan Besari. Mereka yang dijuluki Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor itu adalah KH. Ahmad Sahal (1901-1977), KH. Zainudin Fananie (1908-1967), KH. Imam Zarkasyi (1910–1985).

Masjid Tegalsari mungkin bukan lagi mercusuar. Tapi jejak-jejak yang ditinggalkannya masih mengundang daya tarik. Selawatan mirip tembang pesisiran Jawa dan lantunan jamaah zikir masih kerap terdengar.

Sejumlah situs bersejarah juga cukup terawat dengan baik. Kompleks makam Kiai Ageng Hasan Besari juga berada di lingkungan sini. Masjid Tegalsari mendapat kunjungan paling ramai pada Jumat Kliwon dan Senin Kliwon atau malam-malam tanggal ganjil bulan suci Ramadhan.

Baca juga:  Kopi dan Masjid di Aceh

Dari segi arsitektur, Masjid Tegalsari tergolong unik. Tak ada kubah dan menara menjulang seperti jamak dijumpai pada masjid di Indonesia era sekarang. Bentuk bangunan kaya akan langgam Jawa kuno. Seperti masjid peninggalan Raden Patah dan Wali Songo di Demak, Masjid Tegalsari beratap tajuk tumpang tiga dan tersusun dari sirap atau lembaran-lembaran kayu. Tiga susun tersebut merujuk pada pengertian iman, Islam, dan ihsan. Sementara bentuknya yang kerucut melukiskan tentang keadaan yang semakin dekat kepada Allah.

Bila menengok ke dalam, kita akan mendapati 36 tiang besar yang menyangga struktur utama atap masjid. Pilar kayu berdiameter setengah meter itu berdiri tegak di pinggir-pinggir dan area tengah ruangan utama masjid.

Sebagian orang menilai angka tersebut bermakna tiga dan enam yang bila dijumlahkan menjadi sembilan. Angka sembilan mengacu pada Wali Songo yang berjasa besar dalam proses dakwah Islam di Pulau Jawa.

Di bagian depan, kayu berukir berbentuk mirip gapura tampil mencolok membingkai ceruk mihrab. Agak ke kanan, seni ukiran membalut hampir seluruh badan mimbar yang merupakan replika dari mimbar asli yang telah lapuk dimakan usia. Jam bandul yang juga terbuat dari kayu berdiri di sebelah kiri mihrab. Sementara lampu putih menggantung tepat di tengah ruangan. Memasuki kawasan masjid tua ini, pengunjung akan dibawa kepada suasana tempo dulu dan nuansa budaya Nusantara yang kental.

Baca juga:  Peluncuran Buku Syarah Al-Hikam Karya Ulil Abshar Abdalla

Kendati Masjid Tegalsari mengalami sejumlah perombakan, di sisi depan masjid masih utuh dua buah batu pijak (tangga) berbentuk persegi peninggalan Kerajaan Majapahit. Berkembang kepercayaan bahwa Kiai Hasan Besari dulu sering melaksanakan shalat di atas batu ini.

Kediaman Kiai Ageng Besari atau yang biasa disebut Ndalem Ageng masih bisa kita lihat di sebelah timur masjid ini. Umurnya memang lebih dari dua abad namun kondisi bangunannya tampak cukup kokoh. Ia menjadi satu-satunya rumah adat yang masih lestari.

Di sebelah barat rumah Kiai Ageng Besari terdapat langgar kecil yang dipercaya sebagai tempat Ronggo Warsito sering melakukan munajat.

Atas berbagai keunikan yang dimiliki, pemerintah setempat telah menetapkan kawasan tersebut sebagai objek wisata religi. Meski demikian, mesti dicatat, kompleks masjid ini bukan semata tempat ibadah apalagi sebatas lokasi pameran benda-benda kuno.

Masjid ini sejatinya juga merekam sejarah yang tak boleh hilang tentang pendidikan Islam, akulturasi, dan spriritualitas para pejuang generasi awal bangsa ini.

Foto-foto: Transpiosa Riomandha

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top