Hari ini kami keluarga PCI NU Belanda melakukan kunjungan ke pertapaan (monastery) Koningshoeven Abbey umat Katolik yang berada di kota Berkel-Enschot. Monastery ini berdiri sejak tahun 1884.
Kami diterima oleh seorang biarawan, Pak (broeder) Albert, yang telah tinggal 6 tahun di situ. Pak Albert dikirim oleh Pertapaan Santa Maria Rawaseneng Temanggung Jawa Tengah.
Seperti halnya sufisme dalam Islam, Pak Albert menetapkan langkah hidupnya untuk memilih jalan sunyi. Monastery yang ia ikuti adalah monastery kontemplatif, bukan aktif atau karitatif.
Sehari-hari, hidup Pak Albert hanya dihabiskan untuk berdoa tujuh kali sehari. Doanya dimulai pukul 4.15 di pagi hari, dan bekerja selama enam jam.
Hidup di pertapaan, Pak Albert menekankan tiga prinsip hidup: selibat, kesederhanaan, dan ketaatan.
“Apa dorongan kuat sehingga memilih jalan hidup sebagai biarawan?” saya bertanya.
“Ini sudah panggilan Tuhan. Tiga tahun saya mencoba untuk melawan, tetapi tidak bisa. saya semakin tenggelam untuk mengabdi pada agama dan Tuhan,” jawabnya penuh dengan keyakinan.
Dulu monastery ini dihuni oleh sekitar 100 an biarawan. Kini, tinggal 20 saja. Sekularisme dan hedonisme yang berkembang cukup pesat di dunia Barat memang menjadi ancaman serius bagi komunitas-komunitas keagamaan seperti ini. Anak muda jarang sekali yang tertarik pada aktivitas keagamaan seperti yang dijalani Kak Albert.
Pilihan hidup yang jalani Pak Albert memang terasa tidak rasional dalam kaca mata modern. Hidup seadanya dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan Tuhan. Tetapi, ia justru merasakan kenikmatan di situ.
Selain diajak keliling melihat gereja dan kapel kecil tempat ia dan teman-temannya berdoa, kami juga berkeliling melihat sentra-sentra usaha yang menjadi penopang monastery tersebut. Mereka memproduksi coklat, keju, bir, dan mengolah lahan pertanian. Dari hasil usaha itulah mereka menghidupi dirinya sendiri. Menakjubkan.
Sungguh ini merupakan pengalaman menarik yang menginspirasi bagaimana kita di samping berdakwah dan memberi pelayanan bagi umat juga memiliki kemandirian ekonomi melalui usaha-usaha produktif. Pesantren semestinya jauh lebih mampu untuk melakukan yang seperti ini.
Saya jadi teringat Pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur. Pesantren salafiyah yang santri-santrinya hanya belajar kitab kuning, tidak mengenal ilmu umum seperti layaknya di sekolah, yang berdiri pada pertengahan abad 18 ini kini telah memiliki sentra usaha yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu usahanya adalah BMT UGT Sidogiri. aset yang dikelola telah mencapai 2,4 triliun dan mampu menyumbang pondok secara signifikan.
Setiba dari “jalan-jalan”, saya iseng mencari tahu pertapan yang mengirim Pak Albert yang ada di Temanggung. Ditemukanlah banyak informasi, di laman Wikipedia. Ide membangun pertapaan ini muncul dari Mgr. Antonio van Velsen, S.J. Dia bilang agar Pulau Jawa memiliki biara dari Ordo Trapis. Namun baru Agustus 1954, tempat penggemblengan bagi para calon rahib dibuka.
Lengkap sekali informasi di sana, dari mulai jadwal ibadat, foto-foto, hingga kegiatan yang mereka geluti, termasuk “amal usaha” seperti yang juga dipunyai gereja di Belanda itu. Mereka punya perkebunan kopi, peternakan sapi perah, industri produk turunan susu, pakan ternak, peternakan ikan, tanaman hias, dan lain-lain. Tak ketinggalan, bersama para pemuka agama lain, mereka juga aktif membuat forum.
Saya lupa bertanya mengapa Pak Albert betah di tempat sunyi ini, namun saya menduga-duga, ada beberapa kesamaan antara Koningshoeven Abbey di Berkel-Enschot dan Pertapaan Santa Maria Rawaseneng. Keduanya sama-sama punya perkebunan, ada kolam terhampar atau danau kecil, dan sama-sama dibalut udara dingin. Temanggung dan Berkel-Enschot yang terbentang jarak sangat jauh, belasan ribu kilometer mungkin tak dirasakan perbedaannya oleh Pak Albert. Apakah itu semua yang membuatnya betah? Atau karena rasa bertuhan yang utuh di dalam jiwanya? Saya tidak tahu persis.