Kisah cinta Layla dan Qais sudah tidak asing bagi kita. Kisah cinta mereka berakhir pilu karena mereka tidak dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Sebenarnya, selain kisah cinta yang berakhir pilu seperti Layla dan Qais juga, kisah lain yang masyhur bagi bangsa arab juga ada. Kisah tersebut menceritakan Urwah bin Hizam dan Afra.
Kisah cinta Urwah bin Hizam dan Afra terekam dalam kitab Khizanatul Adab wa Lubbu Lubabi Lisan al-Arab juz III, sebuah kitab gramatikal bahasa arab yang juga berisi syair-syair yang dikarang oleh Abdul Qadir bin Umar Al Baghdadi (w. 1093 H).
Kisah Urwah bin Hizam dan Afra terjadi pada zaman tabiin atau generasi ke tiga umat islam setelah sahabat, lebih tepatnya mereka hidup pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Urwah bin Hizam sendiri berasal dari Bani Udzrah.
Kisah cinta Urwah bin Hizam diceritakan penulis ketika mengutip sebuah syair yang dikarang oleh Urwah bin Hizam. Diriwayatkan dari Abdullah Muhammad bin Abbas ay-Yazidi, Urwah bin Hizam merupakan seorang pemuda yang tinggal dengan pamannya sejak kecil. Dalam riwayat di kitab lain yaitu Syarah Mugnil Labib, Urwah bin Hizam merupakan anak yatim yang ditinggal ayahnya sejak kecil.
Urwah bin Hizam dan Afra memiliki kedekatan, karena Urwah bin Hizam sejak kecil tinggal satu kamar dengan ayah Afra. Mereka berdua pun juga tumbuh bersama-sama. Ketika Urwah bin Hizam menginjak usia dewasa, dia meminta pamannya untuk menikahi Afra. Kemudian, Urwah bin Hizam masih menunda pernikahan tersebut hingga dia mengunjungi keluarganya yang berada di negeri Syam.
Kemudian ada seorang laki-laki dari daerah Balqa, sekarang daerah di Yordania, menemui ayah Afra. Dia menemui ayah Afra ketika dalam rangka perjalanan haji, Pemuda dari Balqa tersebut ingin menikahi putri beliau yaitu Afra. Kemudian Pemuda dari Balqa itu melamar Afra dan menikahinya.
Kemudian Urwah bin Hizam datang kembali lagi ke tempat pamannya atau ayahnya Afra. Dalam perjalanannya pulang, ketika Urwah bin Hizam sampai di daerah Tabuk, dia melihat sebuah rombongan yang menuju arah Madinah. Pada rombongan tersebut terdapat wanita yang sedang menaiki unta.
“Demi tuhan, wanita yang menaiki unta tersebut adalah Afra,” ucap Urwah bin Hizam kepada teman-temannya.
“Celaka, tidak meleset apa yang kau ucapkan bahwa (wanita) itu adalah Afra,” ucap teman-temannya kepada Urwah bin Hizam.
Urwah bin Hizam pun menjadi terdiam dan tidak membalas ucapan temannya sama sekali hingga Afra’ pergi dan tidak terlihat.
Setelah kejadian tersebut, Urwah bin Hizam mendadak jatuh sakit. Sampai dia tidak memiliki suatu harta apapun. Banyak orang-orang yang mengatakan bahwa Urwah bin Hizam terkena sihir, ada juga orang-orang yang mengatakan bahwa Urwah bin Hizam kerasukan jin.
Suatu waktu Urwah bin Hizam dibawa ke daerah Yamamah yang mana di daerah tersebut terdapat seorang tabib atau dokter yang bernama Salim. Urwah bin Hizam pun diberi minuman sebuah ramuan obat, akan tetapi obat tersebut tidak memberi efek kesembuhan bagi dia. Kemudian, Urwah bin Hizam dibawa pergi lagi ke seorang tabib di daerah Hujr, akan tetapi ajal dari Urwah bin Hizam tidak terhindarkan.
Kabar kematian Urwah bin Hizam pun sampai pada Afra. Mengetahui kabar bahwa Urwah bin Hizam telah mati, Afra’ pun terkejut. Kemudian, dia pergi ke kuburan dari Urwah bin Hizam. Dia pun pergi keluar dari tempat tinggalnya dengan menyesal dan menangis, hingga Afra pun juga meninggal dunia.
Kisah mengenai pilunya cinta Urwah bin Hizam dan Afra sampai pada telinga Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan.
“Andai saja aku telah mengetahui hal ini, maka aku akan menikahkan mereka,” tutur Khalifah.
Dalam kitab I’anatuth Thalibin Juz II disebutkan bahwa orang yang meninggal dunia karena cinta bisa dikategorikan dengan syahid akhirat dengan beberapa syarat. Karena islam sendiri itu tidak melarang jatuh cinta, tetapi islam melarang maksiat atas nama cinta.
والميت عشقا ولو لمن لم يبح وطؤه كأمرد, بشرط العفة حتى عن النظر بحيث لو اختلى بمحبوبه لم يتجاوز الشرع وبشرط الكتمان عن معشوقه
“(Salah satu orang yang syahid akhirat yaitu) orang yang meninggal karena rindu, walau rindunya terhadap orang yang bagi dia tidak boleh untuk dijima, seperti pemuda-pemudi, akan tetapi (rindunya) dengan syarat menjaga diri dari hal yang tidak baik, bahkan sampai memandangnya. Sekiranya mereka (kebetulan) sedang berdua, mereka tidak melanggar syariat, dan disyaratkan (lagi) menyembunyikan perasaan rindunya terhadap orang lain, bahkan termasuk orang yang dirindukannya, (I’anatutht Thalibin, Juz II, halaman 108)”. Wallahu a’lam.