Ajaran Islam senantiasa mengedepankan aspek rahmatan lil ‘alamin. Yakni pedoman dan nasihat untuk selalu menebarkan kasih sayang serta menjaga keselamatan seluruh makhluk baik sesama manusia maupun kaitannya dengan hewan, tumbuhan dan keseimbangan alam. Dari situlah para ulama menyusun rumusan tujuan utama ditetapkannya syariat Islam atau maqashid syari’ah agar tatanan hukum Islam bisa senafas dengan pedoman rahmatan lil ‘alamin.
Keberadaan maqashid syari’ah ini tentunya guna menjadi prinsip serta acuan di dalam memenuhi hak-hak dasar manusia untuk menjalankan kehidupannya serta kaitannya dengan penjagaan keseimbangan lingkungan hidupnya. Imam as-Syathibi –dalam Kitab al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah—menjelaskan bahwa maqashid syari’ah menekankan pada perwujudan aspek kemaslahatan serta kelestarian hidup manusia baik di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya [21]: 107:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Ayat tersebut menjabarkan bahwa pengutusan Nabi Muhammad bukan lain hanyalah sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Dengan demikian konsep maqashid syariah sejatinya mencakup serangkaian hikmah dan tujuan positif yang hendak diwujudkan oleh hukum Islam, menganjurkan kebaikan dan menutup rapat keburukan dengan menjaga akal sehat dan hati nurani manusia.
Jasser Auda memiliki pemaknaan yang menarik terkait maqashid syari’ah yakni sekumpulan maksud Ilahiyah dan konsep-konsep moral yang menjadi dasar hukum Islam. Sedangkan makna lainnya, maqashid syari’ah juga mempresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak asasi manusia, pembangunan era industri dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini menyaratkan konsep maqashid syariah haruslah dinamis mengikuti perkembangan zaman dan peradaban manusia yang terus berjalan.
Kalau di era as-Syatibi maqashid syari’ah hanya terdiri dari lima pokok pemeliharaan (ushul al-khamsah), yakni hifdzu ad-diin (pemeliharaan agama), hifdzu an-nafs (pemeliharaan jiwa), hifdzu al-aql (pemeliharaan akal), hifdzu an-nasl (pemeliharaan keturunan), dan hifdzu al-mal (pemeliharaan harta). Sedangkan di era sekarang, ada beberapa ulama kontemporer menambahkan satu pokok lagi yakni hifdzu al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan hidup). Sehingga maqashid syariah di era kekinian terdiri dari enam pokok pemeliharaan syariat Islam yang harus dipenuhi agar terselenggara kemaslahatan umat. Dari situ kita akan membahas makna hijrah bertalian dengan tujuan pokok maqashid syariah. Di mana makna hijrah yang akan ditampilkan di sini—sebagaimana dijabarkan Ibnu al-‘Arabi penulis Kitab Tafsir Ahkam al-Qur’an—yakni hijrah dalam rangka untuk menghindari mudarat ataupun bahaya dan bencana yang mengancam agama, jiwa, akal, harta serta keturunan. Penulis tidak akan mengelaborasikan satu per satu namun dijabarkan secara global.
Pertama, hijrah dalam arti berpindah dari suatu negeri yang kafir menuju negeri yang damai. Hijrah di sini sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saat meninggalkan Mekkah dan berhijrah menuju Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah sedang melaksanakan hifdz ad-din sekaligus hifdz an-nafs sebagai upaya menyelamatkan agama Islam sekaligus menyelamtkan jiwa dari gangguan dan penyiksaan kaum kafir Mekkah. Hijrah yang dilakukan Nabi bukan sekadar asal-asalan pergi menuju Madinah tanpa adanya strategi dan persiapan yang matang. Nabi telah menyusun jalur hijrahnya ke Madinah dengan melewati jalur memutar yang susah ditebak kaum kafir yang memburunya. Ini menjadi pesan bagi umatnya agar tidak serampangan dalam berhijrah tetapi harus menggunakan akal sehat sehingga hijrah dijalankan dengan optimisme tinggi serta kemungkinan berhasilnya optimal untuk menegakkan ajaran Allah. hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah QS. al-Muzzammil [73]: 10.
وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”
Sedangkan dalam QS. An-Nisa [4]: 97, dijelaskan bahwa orang-orang yang tidak mau berhijrah ataupun tidak berani hijrah sedangkan keum kafir menyiksanya maka, mereka ditanya oleh malaikat “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Dengan demikian kewajiban hijrah bagi kaum Muslimin manakala ada serangan dari kaum kafir yang menancam jiwa dan keberlangsungan agama mereka.
Kedua, hijrah dari suatu negeri yang mayoritas penduduknya ahli bidah, atau dari tempat yang dipenuhi kemaksiatan dan keharaman. Hijrah di sini bisa dikategorikan hfdz ad-din serta hifdzu al-aql. Seperti hijrahnya seorang penjagal 100 orang yang diabadikan Rasul dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri. Bahwa dahulu ada seorang penjagal yang sudah menebas mati 99 orang, ia hendak bertaubat lalu melakukan hijrah dari komunitasnya yang penuh kemaksiatan dan keharaman menuju daerah yang dikenal baik dan dipenuhi orang-orang saleh.
Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang rahib, lalu ia bertanya, ‘Apakah pintu taubat masih terbuka bagiku yang telah membunuh 99 orang?’ namun dijawab si rahib, ‘tak ada lagi pintu taubat’. Si rahib pun ditebas menjadi korban keseratusnya yang terhunus pedang. Kemudian ia terus berjalan sambil menyesali seluruh perbuatannya dan berharap menemui orang-orang saleh di kampung tujuannya. Namun sebelum sampai di sana, malaikat maut mencabut nyawanya. Lalu Malaikat Raqib dan Atid saling berdebat menentukan hendak dibawa kemana si penjagal ini. Diputuskanlah untuk diukur jarak perjalanannya apakah dekat majelis orang saleh ataukah tempat maksiat. Ternyata ia lebih dekat sejengkal dengan kawasan orang-orang saleh sehingga ia digolongkan sebagai bagian penghuninya lalu diterimalah taubatnya.
Ketiga hijrah sebagai bentuk upaya menyelamatkan diri, jiwa, raga, akal, agama dan harta benda. Hijrah di sini sama dengan prinsip hifdzu ad-din, hifdz an-nafs, hifdz an-nasl, hifdz al-mal bisa juga dikategorikan hifdzu al-aql serta hifdz al-bi’ah. Kisah hijrahnya Nabi Nuh beserta kaum serta membawa tumbuhan serta hewan dengan bahtera yang besar adalah wujud nyata proses hijrah sesuai tujuan maqashid syari’ah tersebut. Pada saat itu Nabi Nuh sudah berdakwah selama 950 tahun, namun jumlah kaumnya tidak bertambah justru jumlah kaum kafir yang menyerangnya semakin banyak. Bahkan anak dan istrinya sendiri pun turut menjadi kaum kafir yang mencelanya.
Maka pada saatnya, Allah memerintahkannya membangun sebuah bahtera (kapal raksasa) yang bisa memuat kaum beriman, tumbuhan, serta hewan untuk menyongsong kehidupan baru di lokasi hijrahnya. Perjalanan hijrah Bahtera Nuh digambarkan dalam firman Allah QS. Yunus [10]: 22: “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (Seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Keempat, hijrah dari suatu daerah yang terpapar wabah penyakit atau virus berbahaya menuju daerah yang aman. Hijrah di sini bisa dikategorikan dengan hifdz an-nafs, hifdz al-aql, serta hifdz al-bi’ah. Sebagaimana kisah Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab saat dalam perjalanan menuju Negeri Syam. Di saat yang sama, terdengar kabar bahwa negeri Syam sedang terpapar wabah yang mematikan. Maka Umar mengambil keputusan penting yakni dengan melakukan evakuasi ataupun langkah hijrah agar kaum muslimin menghindari Negeri Syam sampai wabah di sana benar-benar hilang. Sampai pada keputusan tersebut menuai kritik dan ada salah satu sahabat yang bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah keputusanmu ini adalah bentuk lari dari takdir Allah?” Umar pun menjawab, “Benar, hal ini merupakan hijrah dari satu takdir Allah menuju takdir lainnya.
Perumpamaannya sekiranya kalian memiliki unta dan lewat di dua kawasan pertama yang subur dan yang kedua gersang. Bukankah saat menemukan dua kawasan tersebut, pilihan kalian tertuju pada kawasan yang subur agar unta kalian terjamin pakannya. Di mana kawasan yang subur adalah bagian dari takdir Allah, sedangkan apabila kalian pelihara di kawasan yang gersang juga merupakan bagian dari takdir Allah pula. Bila pikiran kalian sehat tentunya lebih memilih lahan yang subur untuk beternak.” Kisah ini merupakan terjemah bebas dari kitab Badz al-Ma’un yang pesohor memuat kisah-kisah seputar pandemi dan wabah karya Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani. Wallahu ‘Alam