Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat melegenda yang ditulis oleh bunga bangsa kebanggaan Nusantara, sayang seribu sayang. Barangkali hanya kematian yang mampu menahan sang bunga untuk mengarungi samudra intelektual. Di usia 25 tahun, Nusantara berduka sebab pupusnya satu kembang.
Dialah Raden Adjeng Kartini, lahir di Jepara 21 April 1879. Memiliki darah biru dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara, diantaranya ada sang kakak yang terkenal dengan syair “Sugih Tanpo Bondho-nya” yaitu Sosrokartono, seorang wartawan, cendikiawan era penjajahan, dan polyglot (orang yang mahir banyak bahasa).
Kartini merupakan gambaran jelas dari semangat juang perempuan yang haus dengan ilmu pengetahuan. Kartini, seperti tertulis dalam buku Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX-XX M. karya Taufiq Hakim dinyatakan, Pada usia 12 tahun Kartini bersekolah di ELS (Europese Lageere School). Disini ia banyak mendapat pengetahuan-pengetahuan ala barat misalnya belajar baca, tulis, dan berbicara Bahasa Belanda, sebuah prestasi luar biasa di Jawa kala itu sebab dulu perempuan masih terpenjara dengan dotktrin Dapur-Sumur-Kasur. Artinya peran perempuan hanya berkutat pada hal-hal di rumah tangga sehingga aspek pendidikan agaknya kurang diutamakan. Namun Kartini tidak, ia tetap menggeluti keahliannya di bidang Bahasa Belanda sehingga mengantarkan dirinya untuk mempunyai sahabat pena asal Belanda bernama Rosa Abendanon. Dengan Rosa, Kartini banyak mendapat insight segar dari daratan Eropa. Ia banyak berkaca pada Rosa melalui ceritanya. Sejak sekitar abad 15-19 M. Eropa sudah mencerminkan ghirah intelektual oleh kaum perempuan yang sudah keluar-masuk universitas. Berbalik 1800 dengan yang terjadi di Jawa, masih banyak para orangtua pribumi yang enggan mempercayakan anak perempuannya untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Cerita-cerita tersebut memacu Kartini untuk terus menumbuhkan minatnya terhadap ilmu pengetahuan.
Tradisi bangsawan Jawa kala itu terdapat istilah pingitan yang mana hal ini bertujuan untuk merumahkan mempelai perempuan agar tidak keluar rumah sampai masa pingit selesai. Tentu saja bagi Kartini hal itu merupakan perkara yang menjenuhkan, jiwanya meronta-ronta, pikirannya terkoyak sebab ia ingin melihat indahnya semesta. Mulailah ia dengan membaca surat kabar dari Semarang De Locomotief hingga berlangganan majalah Leestrommel, majalah wanita dari Belanda De Hollandsche Lelie dengan tema-tema kebudayaan dan pemikiran perempuan (Femnisme). Pada akhirnya majalah tersebut memberi dorongan pada Kartini untuk menulis hasil pemikirannya untuk dimuat secara berkala.
Bacaan-bacaan Kartini cukup luas, terbukti ia membaca buku Surat-surat Cinta dan Max Havelaar karya Multatuli, tak lupa ia membaca banyak buku-buku feminis seperti karya Goekoop de-Jong Van Beek, roman perdamaian Berta Von Suttner yang mana semua itu berbahasa Belanda. Cukup menarik dicermati, semangat literasi yang luar biasa dari gadis muda untuk mengangkat derajatnya. Dari situ kita ketahui bersama bahwa sejarah hidup Kartini dipenuhi oleh buku-buku bacaan, ilmu pengetahuan yang banyak ia peroleh dari buku tersebut ia gunakan sebagai pembentukan karakter dan pemikiran bagi dirinya yang kelak akan digethok tularkan kepada generasi selanjutnya.
Masih banyak anggapan keliru, bagi beberapa orang mungkin masih menganggap Kartini adalah seorang Kejawen yang tak paham dengan agama Islam. Ternyata sejarah mengungkap bahwa Kartini merupakan Santri dari Kiai kharismatik yang dijuluki Ghozali As-Shagir (Ghozali Kecil) yakni Kiai Sholeh Darat, tokoh ulama asal Semarang yang sudah melalangbuana keilmuannya dari hasil belajar di Makkah selama kurang lebih 40 tahunan.
Proses bertemunya Kartini yang bisa nyantri kepada sang guru bangsa ini, yang juga merupakan dua guru dari tokoh terkenal Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) dan Kiai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammdiyah). Berawal dari kegelisahan Kartini dalam mempelajari Al-Qur’an, kala itu Kartini dibuat janggal oleh para Guru ngaji yang enggan untuk menerjemahkan Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa, akibatnya Kartini hanya bisa membaca saja tanpa harus mengetahui maknanya. Bagi Kartini hal tersebut masih dinilai kurang efektif sebab Al-Qur’an adalah Al Huda Al Muttaqien yang menuntun hidup manusia dari dunia menuju akhirat. Harusnya esensi pengajaran Al-Qur’an yang lebih penting adalah mengetahui bacaan sekaligus memahami maknanya, bukan hanya bisa membaca saja. Lalu, pikir Kartini “Apa bedanya dengan saya belajar membaca Bahasa Inggris tapi tidak mengerti makna yang dimaksud”. Perlu diketahui bahwa pada abad 19 Bahasa Belanda yang mendominasi dunia pendidikan, oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa belum tersedia. Padahal, pribumi Jawa membutuhkan hal tersebut agar memudahkan untuk mempelajari Al-Qur’an.
Perjuampaan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat bermula saat Kiai Sholeh diundang untuk mauidloh hasanah di rumah Bupati Demak yang mana beliau adalah paman Kartini, Pangeran Ario Hadiningrat. Dalam pengajian tersebut Kartini merasa tercerahkan dengan penjelasan dari Kiai Sholeh mengenai tafsir yang sudah ia tulis yakni tafsir atas Surah Al-Fatihah. Peristiwa ini membawa sosok Kartini kepada Enlightenment Spirituality sehingga dirinya merasa menemukan mutiara hikmah yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an. Beberapa sumber mengatakan bahwa hal ini juga menjadi salah satu dorongan bagi Kiai Sholeh Darat untuk menulis tafsir Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa. Pada akhirnya Kartini semakin serius untuk mempelajari agama Islam kepada Kiai Sholeh Darat hingga akhir hayatnya, Khidmah Kartini kepada Kiai Sholeh mendapat wujud apresiasi besar dari sang guru. Ketika Kartini menikah dengan R. M Joyodiningrat, sang guru menghadiahkan karya tulisnya kepada sang murid, yakni tafsir juz pertama karya Kiai Sholeh Darat.
Dengan demikian ilmu keagamaan Kartini agaknya tidak boleh diragukan sebab sejarah sudah menjelaskan pengalaman spiritualnya ketika nyantri kepada Kiai Sholeh Darat. Sajak yang ditulis oleh Kartini dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” juga konon terinspirasi dari Al-Qur’an Minadh-Dhulumaati Ilan Nuur yakni terdapat pada Q.S Al Baqarah : 257. Itulah Kartini, meski wafat di usia 25 tahun namanya tetap harum dikenang tidak hanya sebagai figur emansipasi, melainkan juga figur intelektual.