Ulama terdahulu punya cara unik dalam mengkritisi suatu kitab. Salah satunya adalah dengan menciptakan karya serupa namun diselipkan kritik didalamnya dengan tujuan mengkritisi kitab sebelumnya. Fenomena ini yang nampak bila kita membaca secara teliti dan menyandingkan dua buah kitab Fikih klasik wanita, yaitu Risalatul Makhid dan Masailun Nisa’.
Dalam terminologi sastra banding atau Adab Muqaran, gejala demikian justru sangat positif karena menampilkan ta’sir wa ta’asur, pengaruh dan terpengaruh dalam suatu karya. Artinya ini menunjukan bahwa kitab Risalatul Makhid yang lebih dulu ditulis punya andil atau pengaruh yang sangat besar terhadap karya karya fiqih wanita klasik setelahnya, termasuk Masailun nisa’.
Bila memperbincangkan dua buah kitab ini terdapat berbagai persamaan yang cukup signfikan. Dari segi fisik teks, kitab ini sama-sama menyajikan fiqih wanita dengan tema utama yaitu haid, istikhadoh dan nifas kemudian dilengkapi dengan persoalan-persoalan kewanitaan lainnya. Penggunakan ragam bahasanya pun demikian, sama sama menggunakan arab pegon, yaitu bahasa jawa yang ditulis menggunakan teks arab. Sehingga tanpa latar belakang bahasa jawa kuno yang baik, dan teks arab yang baik, pembaca milinial akan tertatih tatih menikmati karya ini.
Kitab Risalatul Makhid sebagaimana yang pernah saya ulas pada artikel sebelumnya, yaitu kitab yang ringkas, dengan jumlah halaman 47 halaman, maka bisa dikatakan kitab ini tipis, dibandingkan dengan kitab Masailun Nisa’ yang halamannya mencapai 184 halaman. Tema-tema yang ditulis dalam kitab Masailun Nisa pun lebih luas dan beragam. Bila Risalatul Makhid ditulis pada tahun 1940-an, Masailun Nisa’ ditulis tiga puluhan tahun setelahnya, atau kurang lebih 1979.
Salah satu bab penting yang menjadi polemik adalah tentang penanganan wanita yang mengalami pendarahan atau disebut dengan Istikhadhoh. Istikhadhoh adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam kurun waktu yang lebih lama (lebih dari 15 hari) melebihi kebiasaan lamanya haid yang disebabkan oleh gangguan atau penyakit (istihadhah). Wanita yang sedang mengalami istikhadah terbagi dalam beberapa pengertian. Salah satunya adalah Mubtadiah Ghairu Mumayyizah.
Kiai Masruhan (penulis Risalatul Makhid) dan Kiai Misbah (penulis Masailul Nisa’) punya definisi yang berbeda berkaitan dengan tentang Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah, wanita yang baru pertama kali haid dan tidak tahu menahu tentang darah haid.
Menurut Kiai Masruhan, Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah, adalah wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid, dan belum bisa membedakan rupa-rupa atau jenis darah, mana darah kuat dan mana darah lemah, dan tidak tahu menahu tentang jumlah hari haid, maka perhitungannya cukup berdasarkan pada kebiasaan haid ibunya atau saudara perempuannya.
Bagi Kiai Misbah terminologi Mubtadiah’ Ghoiru Mumayyizah’ bukanlah seperti itu. Memang benar Mubtadiah’ Ghoiru Mumayyizah adalah wanita yang baru pertama kali haid dan tidak tahu menahu tentang jenis jenis darah haid, apakah darah lemah maupun darah kuat. Tetapi ada beberapa ketentuannya.
Pertama yaitu wanita tersebut mengeluarkan darah kuat kurang dari dua puluh empat jam. Kedua, mengeluarkan darah kuat lebih dari lima belas hari. Ketiga, mengeluarkan darah lemah kurang dari lima belas hari. Wanita yang seperti itu, menurut Kiai Misbah dalam hal ini, yang dianggap sebagai darah haid adalah satu hari satu malam pertama saat pertama mengalami pendarahan, sementara hari selanjutnya disebut dengan istikhadah.
Kiai Misbah kemudian menceritakan dalam kitabnya, begitu membaca keterangan Kiai Masruhan, Kiai Misbah seketika itu juga sibuk mencari keterangan-keterangan mengenai hal itu dalam berbagai kitab, kemudian Kiai Misbah dalam kitabnya juga menyebutkan kekhawatirannya bahwa apa yang ditulis (dalam bab Istikhadoh) Kiai Masrukhan yang disebutnya sebagai salah satu Kiai Tariqah di salah satu desa di Jawa Tengah, sama sekali tidak berdasar pada Alqur’an dan hadist, pendapat ulama’ mujtahid dan khawatir bila keterangan dalam kitab hanya berdasarkan dari ilham setan yang kerap menghampiri guru-guru Thariqoh.
Terlepas benar atau pun tidaknya dua kitab tersebut, Pro kontra berkaitan dengan hukum fikih adalah hal yang lumrah terjadi. Namun yang paling menarik adalah usaha Kiai Misbah dalam mengkritik Kiai Masruhan. Kiai Misbah tidak sekadar mengkritik tetapi menciptakan karya baru. Yang dalam pendekatan resepsi sastra (tanggapan pembaca), Kiai Misbah disebut sebagai reader real (pembaca nyata) pembaca yang berdiri di atas proses pembacaan, tidak hanya menikmati karya tetapi menyambut karya dengan mengkritik dan menulis karya yang serupa.
Hal ini yang kerap kali sulit ditemukan dalam era digital sekarang, orang kerap melontarkan kritik dengan bebas dan tidak berdasar. Lebih-lebih menghasilkan karya yang serupa, era saat ini orang kerap mengkritik dengan membabi buta tanpa disertai dengan usaha mencari kebenaran terlebih dahulu. Wallahhu a’lam.