Peresmian Majapahit dan Hayam Wuruk sebagai nama jalan di Bandung genap terwujud. Penggunaan dua nama jalan khas kerajaan Jawa tersebut merupakan respons pemerintah Kota Bandung terhadap penggunaan nama Prabu Siliwangi, Pasundan, dan Pajajaran sebagai nama jalan di Yogyakarta dan Surabaya. Langkah ini ditempuh sebagai upaya lanjutan diselenggarakannya rekonsiliasi antara budaya Jawa dan budaya Sunda.
Selama ini, terdapat beban psikologis yang menyebabkan Majapahit dan Hayam Wuruk tidak bisa diterima oleh publik selaku nama jalan di Jawa Barat. Bagaimanapun, masyarakat setempat cukup terluka atas meletusnya Perang Bubat antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Majapahit. Begitu pula sebaliknya, Pajajaran dan Siliwangi sejak lama tidak dapat menjadi nama jalan lantaran orang-orang Jawa belum bisa sepenuhnya berdamai dengan sejarah.
Digunakannya nama jalan dalam upaya rekonsiliasi mengandung kesadaran bahwa ia memiliki arti penting. Nama jalan bukan hanya berperan sebagai penanda lokasi wisata agar pelancong lokal atau turis mancanegara tak tersesat. Nama jalan juga tidak sekadar pelengkap alamat supaya kiriman paket atau kado ulang tahun dapat mendarat dengan selamat. Lebih dari itu, lantaran merekam jejak-jejak peradaban manusia sejak dahulu kala, ia memiliki multifungsi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nama jalan memuat filosofi dan sejarah suatu bangsa. Dalam taraf tertentu, apa yang terpahat pada plang, papan, atau dinding tersebut melambangkan kebesaran Indonesia dari masa ke masa. Kehormatan bangsa ini di mata dunia antara lain bisa ditengok dari jalan-jalan yang ada. Tak heran jika nama-nama tokoh besar negeri ini genap terpampang di berbagai tempat. Soekarno, Hatta, dan Soepomo merupakan sebagian nama yang terpilih guna menandai suatu jalan. Harapannya, agar warga setempat selalu terinspirasi oleh perjuangan founding fathers (para pendiri bangsa).
Hukum Positif
Bukan sekadar menggambarkan romantisme masa silam, nama jalan juga berperan besar dalam menggali beragam prinsip, nilai, dan etos yang dijunjung tinggi oleh para leluhur. Dengan melekatkan “label” pada suatu jalan, nenek moyang genap mewariskan ajaran, kebajikan, serta kearifan lokal pada generasi setelahnya. Di dalamnya tersimpan mimpi tentang masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, hilangnya nama jalan berarti lunturnya ikhtiar mengabadikan cita-cita dan harapan para pendahulu.
Sebelum Republik Indonesia dikukuhkan, khususnya pada masa kerajaan, eksistensi jalan memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Salah satu bentuk atensi yang dimaksud yaitu pengaturannya dalam produk hukum positif. Usaha penertiban jalan yang diinisiasi oleh pemerintah mengandung itikad merawat kebudayaan. Mengingat pentingnya jalan, Keraton Yogyakarta pernah menerbitkan Layang Undhang-Undhang (Rijksblad) Kasultanan 1922 Angka 2. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada 10 Januari 1922 tersebut menggariskan angangkani kampung-kampung lan omah-omah (penomoran kampung dan rumah).
Dalam Bab 1 tercantum peraturan sebagai berikut: “ing butulane dalan-dalan kang lumebu ing siji-sijining kampung ing sajrone kutha Ngayogyakarta, ananging mung kapilih butulan kang perlu-perlu bae, iki kudu kadekekan blabag utawa liyane nganggo wragad saka Nagara kang isi tulisan amratelakake angkane lan jenenge kampung mau katulis nganggo angka lan aksara Latin, sarta ing ngisore dirangkepi nganggo aksara Jawa, wujuding angka lan aksara mau putih katulis ing dhasar ireng.”
(Anggaran negara digunakan untuk menyediakan papan atau bahan lainnya berisi tulisan yang memuat nomor dan nama kampung serta mesti terpasang pada pintu masuk setiap kampung, terutama jalan-jalan utama, dalam lingkungan Kota Yogyakarta. Tulisan tersebut harus berwarna putih di atas warna hitam, berbahasa latin dengan aksara Jawa di bawahnya).
Harga Diri
Termaktubnya aksara Jawa di papan jalan dalam norma di atas mengindikasikan bahwa penduduk kampung dituntut untuk senantiasa menghormati sekaligus menjunjung tinggi harga diri mereka. Bagaimanapun, identitas yang dibawa sejak lahir tak bisa dimungkiri atau bahkan ditinggalkan sampai kapan pun. Kebanggaan selaku suku dengan peradaban besar serta catatan sejarah yang menakjubkan tersebut tercermin dari sikap pemerintah dalam menampilkan personalitas orang Jawa di ruang publik.
Pengakuan (rekognisi) terhadap jalan-jalan Nusantara diwujudkan dengan ditetapkannya sanksi pidana bagi orang-orang yang kurang mengindahkannya. Peraturan perundang-undangan yang sama menyebutkan, siapa saja yang terbukti merusak papan jalan bakal dikenai hukuman kurungan atau denda maksimal delapan ratus rupiah: “………..kapatrapan paukuman katutup ing kunjara lawas-lawase wolung dina utawa kadhendha keh-kehe satus rupiyah.”
Bab 10 menyebutkan siapa yang dimaksud dengan perusak jalan: “Wong kang nyingkirake utawa nyalini blabag utawa liyane kang isi tulisan jenenging kampung utawa isi tulisan liyane kang keanggep perlu dening Pamerentah.” (Orang yang menyingkirkan atau mengganti papan jalan bertuliskan nama kampung atau hal-hal lain yang dianggap penting oleh pemerintah).