Sesudah Rasulullah wafat, tonggak kepemimpinan Islam kemudian diemban para sahabat. Dimulai dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Masing-masing sahabat, tentu dalam menjalankan masa kekhalifahannya jauh lebih kompleks dibanding Rasulullah masih hidup, terlebih dalam upaya pemenuhan HAM.
Namun, jika memang begitu adanya, sejauh apa para sahabat mampu melanjutkan ajaran Rasulullah dalam masa kekhalifahannya? Pada bagian penutup ini, penulis akan merefleksikan kembali terkait berbagai kebijakan dan sikap mereka dalam rangka pemenuhan HAM di kalangan umat Islam maupun masyarakat non-Muslim lainnya.
Khalifah Abu Bakar (selanjutnya disebut “Abu Bakar”), dalam masa kekhalifahannya pernah meneruskan kebijakan yang semula dilakukan Rasulullah berupa pengelolaan keuangan publik. Utomo dalam penelitiannya Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam: Perspektif Historis (2017) menjelaskan bahwa Abu Bakar mendukung penuh kebijakan ekonomi yang pernah dilakukan Rasulullah. Abu Bakar, sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat, sehingga upaya untuk melebih-lebihkan atau mengurangi pembayaran tersebut diawasi dengan baik olehnya. Lebih-lebih, dirinya sampai pernah menyatakan perang apabila ada orang yang menolak untuk membayar zakat.
Kala itu Abu Bakar dengan tegas mengatakan, “Demi Allah, jika mereka enggan membayar seutas tali yang mengikat seekor unta, yakni apa yang patut mereka bayarkan kepada Rasulullah, saya akan menyatakan perang terhadap mereka karena keengganannya dalam menunaikan kewajibannya (zakat).” Abu Bakar menganggap bahwa di antara harta orang-orang kaya, terdapat pula hak-hak orang miskin dan yang tidak mampu. Oleh sebab itu, ia tidak ragu mengambil hak tersebut kepada mereka, karena hak itu, menurutnya telah sah untuk diambil dan didistribusikan kepada yang berhak. Walaupun cara yang ditempuh, sampai harus menggunakan kekerasan.
Selain Abu Bakar pernah berusaha memenuhi hak ekonomi umat Islam dan masyarakat non-Muslim lainnya, Khalifah Umar bin Khattab (selanjutnya disebut “Umar”) juga pernah melakukan hal demikian, namun berbeda konsep. Jika kebijakan tersebut dilakukan Abu Bakar menggunakan metode At-Tawasy (tidak membeda-bedakan Islam terdahulu dan belakangan), maka di masa Umar, model yang diterapkan ialah At-Tafadhul (mengutamakan umat Islam terdahulu). Yaitu model pendistribusian harta kekayaan negara yang “mengutamakan lebih utama” dibanding “yang tidak utama”. Sebagai contoh, bagi Umar, para sahabat yang sedari awal sudah masuk Islam dinilai “lebih utama” dibanding “orang-orang yang baru masuk Islam”. Karena baginya, tantangan yang dialami umat Islam terdahulu jauh lebih sulit dibanding masa-masa setelahnya.
Masih berkaitan dengan hak ekonomi. Seorang petani asal Syria pernah mengadu bahwa pasukan Muslim telah menginjak-injak tanpa sengaja hasil pertaniannya. Kemudian, Umar segera memerintahkan pasukannya untuk membayar kerugian itu dengan puluhan ribu dirham, yang diambil dari kas negara sebagai bentuk kompensasi kepada petani tersebut. Karena peristiwa ini, bagi Hanifa, seorang ahli hukum terkenal dari mazhab hukum Islam, sebagaimana termaktub dalam karangan Syekh Syaukat Hussain (1996) bahwa “pemerintahan Islam tidak boleh mengambil harta dan tanah milik warga negaranya secara tidak sah menurut hukum.” (hlm 62)
Pemerintahan Umar juga dijelaskan Ridwan dalam penelitiannya Telaah Pemikiran Hukum Progresif Umat bin Khattab Perspektif Indonesia (2018) sebagai pemerintahan yang banyak mencapai gilang-gemilang bagi perkembangan dan kemajuan Islam. Banyak prestasi yang Umar raih, meliputi perluasan wilayah, penataan administrasi negara, perekonomian, keamanan dan ketertiban masyarakat. Bahkan, Umar disebut dalam penelitian tersebut sebagai pelopor dari perundang-undangan negara Islam, pembentuk badan-badan pemerintahan, dewan-dewan negara, yang mengatur peradilan, dan turut berkontribusi besar dalam pembentukan lembaga keuangan publik (baitulmal).
Khalifah selanjutnya ialah Utsman bin Affan (selanjutnya disebut “Utsman”). Meski masa kekhalifahannya dipenuhi banyak fitnah sehingga menimbulkan berbagai gejolak sosial-politik. Bukan berarti sebelum masa itu terjadi tidak ada upaya pemenuhan HAM yang dilakukan Utsman. Pemenuhan akan HAM itu, dapatlah kita lihat pada buku Demokrasi dalam Islam: Suatu Tinjauan Fikih Siyasah (2013) karangan Darmawati.
Melalui bukunya, Darmawati menjelaskan bahwa dari segi politik, Utsman banyak melakukan perluasan daerah Islam dan merupakan khalifah yang paling banyak melakukan perluasan. Di bawah kekhalifahannya, Islam berkembang luas sampai ke Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia. Bahkan, Utsman sampai dianggap sebagai khalifah pertama yang pernah membangun angkatan laut. Alasan Utsman, selain untuk mencapai daerah yang ingin ditaklukkan mustilah dilakukan melalui perairan, ia juga kerap melihat serangan-serangan yang berasal dari laut kepada umat Islam. Oleh sebab itu, ia berinisiatif untuk terus memperkuat pertahanan Islam dengan membangun angkatan laut.
Dalam konteks sosial dan budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Pembangunan tersebut dianggap sebagai terobosan, lantaran sebelumnya, proses peradilan hanya dilakukan di dalam masjid. Alhasil, dibangunlah mahkamah tersebut. Ia juga melakukan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dan perluasan Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawi. Penyeragaman bacaan dilakukan karena sewaktu Rasulullah hidup—Rasulullah memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an menurut dialek masing-masing. Hingga kemudian, seiring bertambah luasnya wilayah dan banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk Islam, pembacaan Al-Qur’an pun menjadi kian bervariasi.
Untuk itu, Utsman menyeragamkan pembacaan tersebut, yang dalam prosesnya diketuai Zaid bin Tsabit. Melalui hal ini, dapat kita simpulkan bahwa kekhalifahannya, meski mengalami masa kelam sampai mengakibatkan dirinya meninggal dunia, namun Utsman tetap berupaya memenuhi HAM bagi umat Islam dan masyarakat non-Muslim lainnya.
Terakhir, Khalifah Ali bin Abi Thalib (selanjutnya disebut “Ali”). Masa kekhalifahan Ali adalah masa yang tidak kalah berat dibanding masa sebelumnya. Karena di bawah kekhalifahannya, umat Islam sedang berkabung karena terbunuhnya Utsman oleh para demonstran yang berada di depan rumahnya selama berhari-hari, juga pertentangan dan kekacauan sedang hangat-hangatnya berlangsung. Meski begitu, terkait upaya pemenuhan HAM di masa kekhalifahan Ali, dapat kita lihat pada sikapnya yang sangat lapang dada mengenai kebebasan berbicara terhadap kelompok Khawarij.
Semasa kekhalifahan Ali, kelompok tersebut sering kali melontarkan pernyataan berupa cacian secara terang-terangan kepada dirinya. Pernah suatu ketika, saat Ali memberi ceramah di dalam masjid, kelompok tersebut mengumandangkan slogan khusus (yang bernada negatif) terhadap Ali. Namun, Ali hanya berkata, “Kami tidak akan menolak hak-hak kalian untuk datang ke masjid dengan tujuan beribadah kepada Allah. Kami tidak akan berhenti memberi kalian berupa harta kekayaan negara. Hal itu akan kalian dapatkan selama kalian bersama kami (dalam perang melawan orang-orang kafir), dan kami tidak akan mengambil tindakan militer untuk melawan kalian, selama kalian tidak melawan perang terhadap kami.” (hlm 73)
Setelah penulis melacak upaya pemenuhan HAM dari masa kekhalifahan Rasulullah hingga para sahabat, hal ini mengingatkan kembali dengan pertanyaan di awal: bukankah jauh sebelum konsep HAM ditemukan di Barat, Islam sudah lebih dahulu menunjung tinggi nilai-nilai tersebut? Jika benar begitu, mengapa pelanggaran HAM dalam kehidupan masyarakat masih sering terjadi? Seyogianya, apa yang telah diperjuangkan Rasulullah bersama para sahabat dalam rangka memuliakan, mengangkat martabat serta derajat manusia di kehidupan masyarakat—patutlah terus kita ingat, renungi, bahkan kita jadikan sebagai pelajaran penting bahwa sejarah Islam dalam upaya pemenuhan HAM, pernah dilakukan dengan sangat baik di masa keemasannya. Wallahu a’lam bishawab. [*]