Pandemi Covid-19 membawa perubahan banyak hal dalam kehidupan ini tak terkecuali keadaan sosial dan budaya dalam masyarakat. Jika kita tengah berada di daerah Tulungagung pasti di sana akan kita jumpai satu tradisi yang saat ini hidup lagi. Tradisi tersebut yaitu sebuah ritual memasang topeng thethek melek. Sebagian selatan kabupaten Tulungagung tepatnya daerah Wajak Campurdarat dan Kalidawir hampir di setiap rumahnya terdapat topeng thethek melek. Mereka memasangnya tepat di depan rumah seperti di antara gerbang masuk.
Topeng thethek melek yaitu sebuah topeng lukis yang terbuat dari pangkal pelepah daun kelapa atau orang Jawa (baca; Tulungagung) menyebutnya dengan bongkok. Gambar pada pelepah kelapa tersebut biasanya merupakan wujud buta kala yang seram. Dulu digambar dengan menggunakan batu gamping/kapur atau kiki bisa juga dengan cat warna. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar tradisi memasang thethek melek sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya dulu. Pada saat itu thethek melek digunakan sebagai penangkal wabah penyakit atau masyarakat menyebutnya dengan pagebluk. Seperti saat ini adanya Covid-19 masyarakat diingatkan kembali dengan keadaan zaman dulu yaitu saat wabah penyakit menyerang lalu warga di sana melakukan ritual pemasangan thethek melek tersebut. Hal itu dimaksudkan sebagai penangkal, tolak bala, dan mengusir wabah tersebut. Dulu tidak hanya menangkal penyakit tapi juga sarana mengusir roh jahat.
Bukan tanpa tantangan, memasang thethek melek ini tentu mengundang pro dan kontra terutama oleh kalangan Islam puritan yang berpikir konservatif. Selain itu hal kontra juga terjadi pada kalangan anak muda yang baru-baru ini melihat tradisi tersebut sebagai ritualitas unfaedah. Saat ditanya demikian beberapa warga cenderung acuh saja, sebab mereka hanya mengikuti tradisi lampau dari nenek moyangnya. Bagi mereka thethek melek adalah simbol, sedangkan urusan perlindungan semua dipasrahkan kepada sang maha hidup Allah swt.
Thehek melek tidak lahir dari ruang hampa, justru tradisi ini kini malah telah sinkretis dengan ajaran Islam. Seperti halnya saat akan membuat sketsa gambar pada pelepah kelapa tersebut sang pembuat diwajibkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Setelah itu saat akan menggambar dianjurkan untuk membaca surah al fatihah 1x dan ayat qursi 3x, jika wudhunya batal maka sang pembuat harus wudhu lagi. Setelah jadi biasanya akan didoakan bersama oleh kepala keluarga atau sesepuh dan setelahnya topeng bisa dipasang.
Secara filosofi thethek melek berasal dari dua suku kata yaitu, thethek atau teteg berarti tangguh sedangkan melek artinya waspada. Perihal gambar thethek melek yang menggambarkan buta kala yang seram itu warga setempat menjelaskan bahwa ia sebenarnya merupakan simbol nafsu atau amarah yang bersemayam dalam jiwa manusia. Sebenarnya tidak hanya wabah yang perlu diwaspadai nafsu dalam diri manusia justru harus setiap waktu kita waspadai, karena selama ini manusia justru terjerembab dalam jurang nafsu yang tak bisa dikendalikan. Lalu bahan dasar pelepah kelapa atau bongkok berasal dari kata bongkokan yang berarti pasrah kepada sang pencipta. Jadi sekarang kita tahu bahwa thethek melek ini tidak hampa makna justru ia syarat makna yang perlu dihayati.
Entah sejak kapan tradisi thethek melek itu berkembang pertama kali di Tulungagung, yang jelas topeng tersebut seperti arca Dwarapala yang ada di setiap sudut masuk kota Tulungagung. Arca tersebut berada di samping kanan kiri bahu jalan arah mata angin ketika memasuki kota Tulungagung. Seperti halnya thethek melek arca tersebut juga merupakan simbol yang berarti penjagaan.
Pro-kontra
Sejak dulu orang Jawa memang terkenal dengan berbagai macam simbolnya. Mereka merupakan tipe orang yang selalu berkata di balik makna terselubung. Simbolisme tersebut tak lain merupakan alat komunikasi moral, sosial dan alat menghegemoni budaya. Simbol-simbol tersebut tidak hanya ada pada thethek melek melainkan banyak media lain yang sampai hari ini diyakini orang Jawa seperti melalui syi’iran, kidung, benda pusaka, kuliner tradisional, hingga tradisi doa bersama dalam kenduren atau tumpengan yang tak lain sebagai sarana tolak bala atau memohon perlindungan.
Hal-hal yang disayangkan oleh beberapa orang terkait tradisi yang serumpun dengan kepercayaan yang masih berbau animisme dan dinamisme itu adalah dikhawatirkannya masyarakat yang kembali gandrung dengan kepercayaan takhayul, bid’ah dan khurafat. Padahal secara jati diri mereka adalah Islam yang seharusnya memiliki ajaran tauhid yang murni. Akan tetapi menurut beberapa orang yang melakukan ritualitas itu menyatakan bahwa mereka tidak menyembah simbol itu. Mereka menyembah dan pasrah hanya kepada Allah, justru dengan hadirnya Islam melalui tangan halus para Wali tradisi dan kebudayaan malah terjalin mesra.
Menurut Koentjaraningrat bahwa tradisi (adat-istiadat) merupakan suatu kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun sehingga tidak bisa dihapuskan begitu saja cuma dengan modal vonis dan doktrin. Hal semacam inilah yang digarisbawahi oleh kalangan yang kontra bahwa jika terus dibiarkan masyarakat hanya akan mendahulukan tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya daripada kehadiran teks wahyu Tuhan sebagai ajaran yang mengatur semua termasuk tradisi dan budaya.
Hal-hal demikian menjadi seperti budaya pagan yang berkembang di dunia modern. Seharusnya semakin modern seseorang mampu berpikir bagaimana meninggalkan budaya primitif. Akan tetapi dengan pendapat seperti itu masyarakat tidak menerimanya dengan mudah karena mereka meyakini sebagai mahluk berbudaya memiliki cara tersendiri dalam memaknai transendensi kepada sang pencipta. Menurut mereka tradisi tersebut sebagai cara kreatif melestarikan kearifan lokal. Selama tidak bertentangan dengan syari’at mengapa tidak? Secara psikologis masyarakat memang lebih mudah menyalurkan sesuatu dengan mediator. Bukan tanpa alasan bahwa hal itu juga yang sering dilakukan para ulama salah satunya memohon kepada Allah swt dengan bertawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw atau Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani.
Maka dari itu sebelum terjadi debat yang tak berujung layaknya para tokoh agama dan kalangan akademis memberi pengertian seutuhnya kepada masyarakat seperti apa sesungguhnya agama berperan dalam tradisi lama yang telah mengakar itu. Jangan sampai masyarakat bertanya apakah agama terutama Islam hadir sebagai pengikis tradisi-budaya atau Islam hadir sebagai penguat kebudayaan itu sendiri? Darisanalah perlu pembacaan ulang yang kontekstual terkait (urf) sesuai dengan kebutuhan zaman. Karena prediksi zaman yang makin modern ini manusia akan kehilangan jatidirinya yaitu tradisi budaya sebagai produk berfikir dan berekspresi mudah luntur.