Sebagai penikmat karya sastra, jauh sebelum novel Hati Suhita ini terbit versi buku, sebelum novel ini terjual puluhan ribu eksemplar tanpa melalui pasar modern (Gramedia dll), dan dibedah di mana-mana, saya sudah membaca bagian satu hingga akhir di akun Facebook Khilma Anis.
Bahkan, saya sempat menghubungi penulisnya secara personal untuk kerja sama menerbitkan karyanya yang waktu itu sedang viral di kalangan pesantren. Saya menawarkan bagaimana jika kami terbitkan dengan sistem royalti, dan akan kami distribusikan via pasar modern, tradisional online di ratusan toko buku online selain itu akan kami tawarkan ke PH Film. Jawaban mengejutkan dari Mbak Khilma Anis, ia menolak tawaran itu.
Sebelumnya, saya bercerita kepada Khilma, kalau saya dari penerbit (A), ada beberapa novel kami yang sudah diadaptasi ke Film, di antaranya adalah; Dear Nathan karya Erisca Febriyani, EL Karya Luluk HF, Assalamualaikum Calon Imam karya Madani, Film R karya Wulanfadi, dll.
Mbak Khilma merasa terharu dan berterimakasih, tapi ia menolak tawaran itu. Entah misi apa yang ingin ia sampaikan kepada semua orang, atau terkhusus untuk semua penulis bahwa tanpa pasar modern pun, sebenarnya buku masih bisa terjual ribuan eksemplar jika memang buku itu berkualitas.
Dan novel Hati Suhita telah membuktikannya, baca tulisan Ali Usman. Di tulisan itu, Ali Usman mengatakan bahwa novel karya Khilma Anis ini sudah terjual kisaran 40 ribu eksemplar.
Angka yang sangat bombastis mengingat Hati Suhita ini baru masuk pada cetakan ke-VI di bulan April 2019, belum genap satu tahun sudah terjual sebanyak itu, dan itu dijual tanpa melibatkan toko-toko besar. Bisa dibayangkan, akan mencapai angka berapa ratus ribu eksemplar di tahun pertama jika penulis dan admin-adminnya masih gencar promosi?
Apa yang menjadi misi Khilma Anis itu terjawab ketika saya membaca Hati Suhita-nya, tepat di halaman 164, ia menulis seperti ini:
“Zak, pesantren-pesantren yang jadi tujuan Rengganis itu letaknya di Desa apa di Kota?”
Zaki terdiam. Menyeruput kopinya sambil melihat berkas.
“Kebanyakan masih di kota Gus, yang di desa belum terjangkau.”
Seperti itulah percakapan antara Gus Birru dan Zaki, pada bab Memenggal Gelora dalam novel Khilma Anis. (Hlm 164-165) Percakapan itu terjadi karena Gus Birru merasa sungkan kepada kawannya seorang pengelolah pesantren dari pelosok desa yang merasa belum tersentuh program pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh Gus Birru, Rengganis beserta TIM.
Program pelatihan jurnalistik di beberapa pesantren ini berangkat dari keresahan Rengganis, ia merasa bahwa masih banyak pesantren yang belum punya majalah dan belum terbentuk iklim jurnalistiknya.
Rengganis gelisah, karena menurut Rengganis jurnalistik hanya berkembang di pesantren besar saja, padahal banyak sekali pesantren salaf yang mempunyai potensi yang sama untuk go public lewat tulisan. (Hlm 156-157)
Gus Birru, selaku koordinator dari program tersebut merasa malu karena mendapat pesan WhatsApp dari kawannya seorang pengelolah pesantren di pelosok desa yang merasa belum terdaftar sebagai pesantren yang berhak mendapat materi jurnalistik.
Kawannya itu bahkan sudah mengajukan kerja sama tiga bulan yang lalu dan belum direspons. Padahal Gus Birru sama sekali tidak pilih-kasih, pesantren besar atau kecil, di kota atau pelosok, semuanya harus tersentuh, Gus Birru malu jika dirinya dikira hanya mau datang ke pesantren besar saja.
Di sana, mulailah Misi pemerataan Skill Jurnalistik santri diungkapkan oleh Khilma Anis dalam novelnya. Melalui bibir Gus Birru, Khilma Anis marah kepada Zaki, “Model kerjamu seperti apa sih Zak?”Lali, ta? Prinsip utama kita itu untuk pemerataan Skill Santri. Ya di pelosok, ya di kota.” (Hlm 165)
Zaki, merasa bahwa ia sudah melakukan yang terbaik, ia sudah mengajukan tawaran kerja sama, tapi banyak pondok pesantren di desa yang belum terjangkau internet, wajar jika email yang Zaki kirim tidak sampai. Mendengar alasan seperti itu dari Zaki, Gus Birru mengingatkan Zaki agar membentuk tim, dari adanya tim itu supaya bisa secara langsung terjun ke lapangan, mendatangi satu-persatu pesantren di pelosok desa.
Sebab menurut Gus Birru, program Pelatihan Jurnalistik di pesantren-pesantren ini mempunyai dana yang cukup dan banyak sponsor, memang sudah sepatutnya untuk terjun langsung ke lapangan.
Gagasan Khilma Anis dalam Hati Suhita ini nampaknya begitu serius ingin melakukan pelatihan jurnalistik ke pesantren-pesantren, ia tak peduli lagi dengan alasan-alasan klasik, hal itu terbukti pada percakapan Zaki dan Gus Birru ini:
“Minimal sak Jatim dulu lah. Atau setapal kuda dulu lah. Alon-Alon yang penting rata.
“Nggih, Gus.”
“Rumusnya gini loh, Zak. Masiyo letaknya di pelosok desa, asal pesantren itu punya pendidikan formal pasti senang kalau jurnalistiknya dikembangkan secara profesional.”
“Tapi kita belum punya datanya.”
“Nemen awakmu, Zak! Data itu kan, kita minta ke Kemenag bisa, cari di internet bisa. Pakai survei wawancara sosmed bisa. Atau memanfaatkan jaringan alumni kita kan bisa, to?”
“Nggih, Gus.”
“Berapa banyak pesantren yang pengen punya majalah tapi gak tahu cara buatnya yang profesional. Gak tahu cara nyetaknya yang keren. Nah, kita hadir untuk menjawab itu.”
“Nggih, Gus.”
“Berapa banyak kiai yang mendamba salah satu santrinya kerja di media nasional biar bisa sajikan berita berimbang, sekaligus bisa besarkan pesantren dengan cara lain.”
“Nggih, Gus.”
“Ojo nggah-nggih awakmu. Pikirkan perluasan wilayah. Ajari santri-santri jadi jurnalis yang profesional dan pilih tanding. Ojo mek santri kota tok. Kadang malah santri yang letak geografisnya di desa itu punya pikiran yang jauh lebih cemerlang.”
“Nggih, Gus.”
“Jemput bola, Zak. Ojo meneng ae!”
Beberapa cuplikan percakapan di atas, menunjukkan bahwa Khilma Anis mempunyai misi untuk mengembangkan bidang jurnalisme pesantren, terutama pesantren yang berada di pelosok desa.
Misi ini sangat bagus, karena jurnalistik bukan hanya soal profesi, melainkan juga merupakan ladang dakwah bil qolam, karena itu saya turut megapresiasi dengan Gagasan cemerlang dalam novel Hati Suhita karya Khilma Anis ini “Pelatihan Jurnalistik di pesantren-pesantren”, sebab Santri harus menguasai jurnalistik dengan baik sebelum terjun dakwah dengan tulisan.
Novel yang mempunyai ketebalan 405 halaman ini terdapat beberapa kekurangan yang tidak begitu serius, seperti cover yang tidak memakai embos, hanya spot uv, padahal harganya lebih dari 100 ribu, terlalu banyak penggunaan bahasa Jawa daerah yang tidak konsisten antara bahasa Jawa ala Jawa Timur dan Bahasa Jawa ala Yogyakarta. Mungkin hal ini bisa difahami oleh mahasiswa asal Jawa Timur yang kuliah di DIY, tapi berbeda bagi pembaca yang tidak pernah hidup di DIY.
Tentu terlalu sempit jika Novel Ini diklaim sebagai karya sastra yang hanya berbicara mengenai tradisi perjodohan di pesantren, mengenai Gus Birru yang tega membiarkan Alina Suhita tidur sendirian di ranjang, sementara Gus Birru tidur di Sofa selama lebih dari tujuh bulan, mengenai Rengganis yang terkesan menjadi pelakor.
Sebab dalam novel ini terkandung misi besar untuk mengembangkan gerakan literasi dan pemerataan skill jurnalistik santri di pesantren seluruh Indonesia, terkhusus pesantren-pesantren kecil yang ada di pelosok desa!
Setelah membaca novel ini saya mempunyai keyakinan baru bahwa karya sastra Novel yang berkualitas adalah karya sastra yang memberi dampak positif kepada pembacanya. Percakapan atau dialog dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya tidak buang-buang kata, mengandung gagasan besar, dan dari gagasan itu akan mempengaruhi pembaca untuk melakukan suatu aktivitas positif dan melibatkan masyarakat. Wallahu a’lam. (atk)
membaca tulisan ini sebabkan muncul jiwa jurnalistik yg telah lama mati. mati suri. ingin rasanya semangat lagi mengajarkan gerak jurnalistik kepada adik adik.