Berita duka menyelimuti Nusantara. Pagi ini, 6 Agustus 2019, dikabarkan KH. Maimoen Zubair wafat di Mekkah. Ulama kharismatik pengasuh PP. Al-Anwar, Sarang, Rembang itu, menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 3 dini hari waktu setempat.
Sebagaimana konperensi pers yang disampaikan oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Syaifuddin, jenazah almagfurllah Mbah Moen bakal dikebumikan di Pemakaman Ma’la di Makkatul Mukarromah.
Selain Mbah Moen, ternyata ada banyak ulama asal Indonesia yang wafat kala menunaikan ibadah haji dan dimakamkam di sana. Salah satunya adalah KH. Dimyati Ibrahim dari Kepundungan, Banyuwangi.
Rais Syuriyah pertama PCNU Blambangan itu, wafat saat menunaikan ibadah haji pada 1959. Kiai kelahiran Yogyakarta, pada 1912 itu, berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu bersama adiknya, Nyai Nafiqah.
Di tengah aktivitas menjalankan rangkaian haji itu, Nyai Nafiqah, mengalami demam. Awalnya biasa saja. Mungkin kondisi tubuh masih belum beradaptasi dengan cuaca Mekkah.
Namun, seiring waktu, kondisi Nyai Nafiqah semakin kritis. Demamnya memuncak dan di luar dugaan, ia menghembuskan nafas terakhirnya di tanah para Nabi tersebut. Kiai Dim segera mengurusi pemakaman adik tercintanya tersebut.
Pada saat itu, ia meminta tolong pada Syek Jalal asal Magelang yang merupakan kerabatnya. Pada Syekh Jalal, ia meminta tolong untuk membelikan kain kafan. Namun, hingga waktu yang larut, kain kafan tak kunjung tiba. Akhirnya, Kiai Dim berinisiatif untuk mengkafani dengan dua mukenah peninggalan almarhumah. Setelah itu, ia memakamkan adiknya di pemakaman umum Ma’la di Mekkah.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Syekh Jalal tiba membawa kain kafannya. Karena telah selesai, kain kafan itu diambil sendiri oleh Kiai Dim seraya berseloroh, “biarkan sudah, Jalal, kain kafannya akan saya gunakan sendiri.”
Seloroh Kiai Dim tersebut, ternyata sebuah isyarah. Selang beberapa hari Kiai Dim menyusul adiknya tanpa pernah ada yang menduga. Tak tampak tanda-tanda sakit darinya. Ia menjalani ibadah sehat wal afiat selama di tanah suci itu.
Hingga, pada suatu sore, saat Kiai Dim menunaikan salat Ashar, kejadian itu terjadi. Masih belum berubah posisi kaki yang duduk iftirasy ba’da sholat itu, Malaikat Izrail telah mencabut nyawanya. Kematian yang sungguh indah. Mati terduduk seusai salat Ashar di Masjidil Haram.
Jenazah Kiai Dim pun dikafani dengan kain yang awalnya dibeli untuk adiknya tersebut. Ia pun dimakamkan berdampingan dengan makam Nyai Nafiah di Ma’la sana.
Tentu, kabar wafatnya Kiai Dim, yang kala itu masih berusia 47 tahun, pukulan berat bagi umat Islam di Banyuwangi. Lebih-lebih kepada pesantren Nahdlatut Thullab yang ditinggalkannya. Salah satu ulama besar di Banyuwangi telah tiada.
Suatu kehilangan yang teramat, karena tak banyak umatnya di daerah asal Kiai Dim yang bisa memberikan penghormatan terakhir. Makamnya pun di Ma’la juga tak mudah untuk diidentifikasi. Hanya doalah yang bisa menyambungkan dengan pejuang dan tokoh besar bangsa ini.