Di antara eksponen pembaharu Islam Indonesia seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Mas Djohan Effendi, Kang Jalal (panggilan akrab K.H Dr. Jalaluddin Rakhmat) adalah yang paling muda. Jika Cak Nur lahir pada 17 Maret 1939, Mas Djohan lahir pada 1 Oktober 1939 dan Gus Dur pada 4 Agustus 1940, maka Kang Jalal lahir pada 29 Agustus 1949. Walau Kang Jalal paling muda dari sudut usia, di berbagai riset dan artikel yang mengupas soal pembaharuan Islam Indonesia nama Kang Jalal selalu ditulis sejajar dengan Gus Dur, Cak Nur, dan Mas Djohan.
Itu tak belerbihan, karena Kang Jalal memiliki keistimewaan. Ia menguasai banyak ilmu pengetahuan, sehingga melalui karya dan presentasinya kita tahu bahwa argumen-argumen yang diajukan Kang Jalal bukanlah repetisi atau parafrase dari argumen Gus Dur, Cak Nur, dan Mas Djohan.
Ya Allah, sekarang generasi emas para pembaharu itu telah berpulang semua. Cak Nur wafat pada 29 Agustus 2005 dalam usia 66 tahun , Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dalam usia 69 tahun, Mas Djohan Effedi wafat pada 17 November 2017 dalam usia 78 tahun. Dan kini Kang Jalal menyusul mereka, wafat pada 15 Pebruari 2021 dalam usia 72 tahun.
Saya mengenal Kang Jalal sudah cukup lama. Tentu pertama-tama melalui karya-karyanya baik berupa buku maupun artikel-artikel panjang yang tersebar di jurnal seperti Prisma dan Jurnal Ulumul Qur’an. Pesantren Asembagus Situbondo Jawa Timur, tempat saya belajar saat itu, sudah berlangganan dua jurnal “bereputasi” tersebut. Tulisan-tulisannya yang lahir dari studi kepustakaan yang tekun dan dari renungan sosial yang dalam selalu berhasil membangkitkan kuriositas pembaca. Di Jurnal PRISMA terbitan LP3ES (No.Ektra/1984/Tahun XIII) misalnya Kang Jalal menulis jernih soal fundamentalisme Islam. Ia memberi judul tulisannya, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas”.
Selanjutnya perjumpaan saya dengan Kang Jalal terjadi melalui forum-forum seminar dan diskusi, baik saya sebagai peserta dan Kang Jalal sebagai nara sumber maupun saya dan Kang Jalal sama-sama sebagai nara sumber. Kadang saya moderator dan Kang Jalal adalah nara sumber. Berkali-kali saya mendengarkan presentasi Kang Jalal, saya selalu terpesona dengan kemampuan artikulasi lisan dan tulisannya. Ia bukan hanya pandai bertutur, tapi juga intelektual tangguh yang kaya referensi. Jika ia tak sempat menulis, ia biasanya datang dengan segepok referensi lintas madzhabnya. Ia akan menunjukkan pada saya sejumlah referensi yang baru terbit di Timur Tengah dan Persia. Kadang ia mengirimkan kitab-kitab Ushul Fikih karya ulama-ulama Iran paling anyar.
Pertengahan tahun 1994 adalah tahun pertama kali saya berjumpa dengan Kang Jalal. Saat itu ia diundang sebagai nara sumber dalam program daurah kaderisasi keulamaan yang diselenggarakan PBNU di mana saya adalah salah satu pesertanya. Programnya bernama PPWK (Program Pengembangan Wawasan Keulamaan) diikuti kurang lebih 32 kiai dan nyai pesantren dalam rentang 1994-1995, sebanyak lima kali daurah. Di antara pesertanya adalah KH Ubaidillah Shadaqoh (sekarang Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah), KH Safruddin Syarif (sekarang Katib Syuriah PWNU Jawa Timur), KH Muhyiddin Abdusshomad (sekarang Rais Syuriah PCNU Jember), Prof. Dr. KH Imam Ghazali Said (sekarang Guru Besar di UIN Sunan Ampel Surabaya).
Dari semua peserta PPWK saat itu, saya adalah yang paling belia, bukan hanya dari segi usia melainkan juga dari sudut ilmu. Dalam lima kali daurah itu, kalau saya tak keliru, Kang Jalal datang dua kali; pertama, mempresentasikan teologi Syiah dan kedua, menjelaskan tentang fikih politik Syiah. Di forum itu, saya menyaksikan Kang Jalal mendapatkan tantangan cukup keras dari para kiai dan nyai. Adu argumentasi dan kutipan kitab berlangsung, dari kitab Syiah ke Sunni dan dari Sunni ke Syiah, dari kitab Syahih al-Bukhari dan Muslim ke Kitab Al-Kafi dan Biharul Anwar, dari kitab Tafsir al-Thabari dan kitab Mafatih al-Ghaib ke Kitab Tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathbai.
Serangan beruntun dari para kiai itu tak menyebabkan Kang Jalal kehilangan kendali. Emosinya tetap terjaga dan argumennya masih kokoh. Bahkan, di sela-sela presentasinya ia tak tak ragu melakukan serangan balik melalui kisah-kisah “fiksi” yang disuguhkannya. Pendeknya, ia tak hanya bertahan melainkan juga menyerang. Dan serangannya sering tak terduga. Ini karena Kang Jalal memiliki dua keunggulan; penguasaannya pada kitab kuning sama baiknya dengan penguasaannya pada kitab putih. Ia mengerti Ulumul Hadits dan Sirah Nabawiyah dengan sangat baik sekaligus ia juga meguasai filsafat, psikologi dan memang pakar komunikasi.
Ketika saya melanjutkan studi di Jakarta, saya kerap mengikuti presentasi Kang Jalal melalui forum-forum yang diselenggarakan Paramdina. Dan pertengahan tahun 2000-an saya sudah sering satu forum dengan Kang Jalal.
Di forum-forum itu tak jarang Kang Jalal mengkritisi pikiran-pikiran saya hingga sangat tajam. Ia menyoal argumen-rgumen ushul fikih yang saya ajukan. Dan debat panas pun sering tak terhindarkan. Pernah saya diundang Kang Jalal ke dalam diskusi terbatas di sebuah rumah kepunyaan salah seorang muridnya di Jakarta Selatan. Karena terbatas, pesertanya tidak banyak. Mungkin hanya 15 orang. Salah satunya Kang Jalal dan selebihnya adalah murid-murid Kang Jalal. Lumayan lelah juga saya menangkis kritik-kritik Kang Jalal.
‘Ala kulli hal, dari sekian kali perjumpaan saya dengan Kang Jalal, sekurangnya saya telah belajar dua hal.
Pertama, saya yang tumbuh dalam tradisi akademik Sunni diperkaya Kang Jalal dengan referensi di luar Sunni seperti referensi Syiah, dan lain-lain. Dengan itu, saya mengenal pemikiran tokoh-tokoh seperti Allamah Thabathabai, Imam Khomaini, Muhammad Baqir Shadr, Sayyid Husain Fadhlullah, dan lain-lain. Dan melalui Kang Jalal, saya tahu bahwa Syiah tidak tunggal. Sebagaimana Sunni, Syiah juga cukup beragam. Betapun beragam, tapi Al-Qur’an yang menjadi pegangan seluruh umat Islam adalah seragam, tunggal.
Memang sejak pertama saya berjumpa Kang Jalal, yang bersangkutan sudah menegaskan bahwa Al-Qur’an orang Sunni dan Syiah itu sama. Yang berbeda adalah penafsirannya. Ketika informasi itu dikemukakan, saya agak ragu. Keraguan itu muncul karena banyak berita yang menyatakan bahwa orang Syiah punya Al-Qur’an yang beda dengan Qur’annya orang Sunni. Namun, keraguan itu hilang ketika saya sudah memiliki Al-Qur’an terbitan Teheran. Dalam sebuah ziarah ke kuburan Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di Masyhad Iran tahun 2017, saya berbelanja beberapa mushaf Al-Qur’an di sana. Dan kesimpulannya masih sama; Al-Qur’an orang Sunni dan Syiah itu tak beda, yang beda hanya beberapa nama surahnya.
Kedua, saya sebenarnya belajar praktik debat (jidal) dari Kang Jalal. Kadang saya membaca buku-buku yang membahas ilmu al-jidal, tapi praktik jidalnya saya peroleh dari Kang Jalal. Ia memang beberapa kali mendebat saya dalam suatu forum ilmiah. Tapi, saya memahaminya itu sebagai cara dia melatih saya untuk tetap logis dalam bernalar dan kukuh dalam beragumen. Karena sebuah ide memang harus diuji dalam mimbar akademis bukan di mimbar dakwah.
Akhirnya, sejarah hidup seseorang tak selalu berjalan menurut garis-garis yang lurus. Ia kadang berjalan zig-zag, bergerak ke kanan dan ke kiri, untuk melatih kelincahan dalam berpikir dan bertindak. Sejarah pun mencatat bahwa Kang Jalal pernah duduk di bangku parlemen, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.
Tetapi tampaknya politik bukanlah perkara yang sangat digandrungi Kang Jalal. Awalnya mungkin ia akan menjadikan politik sebagai alat advokasi terutama bagi yang mereka tak terpenuhi hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Namun, sejauh yang bisa dipantau, kiprah Kang Jalal di wilayah politik praktis tak mengagumkan, untuk tak menyatakan gagal.
Lepas dari itu, saya tetap mengenang Kang Jalal sebagai intelektual Islam yang bebas dan berani. Ia sangat kritis bahkan terhadap semua hal. Namun, ia tahu batas. Ia misalnya tak pernah mengkritik apalagi menyalahkan Al-Qur’an, Nabi saw, dan Para Sahabat yang Ahli al-Bait. Yang dilakukan Kang Jalal selama ini adalah mengulas pemikiran para ulama Syiah di depan publik Islam Indonesia yang mayoritas Sunni. Ia tak banyak menafsirkan Al-Qur’an. Ia lebih banyak mengutip kitab-kitab tafsir karya para ulama klasik dan kontemporer. Ia juga tak pernah betul-betul melakukan riset al-jarah dan al-ta’dil dalaam studi Hadits. Ia hanya mengutip para ulama lain yang menyoal kredibilitas sejumlah para perawi dan penulis hadis.
Selamat Jalan, Kang Jalal. Saya kaget dengan meninggalnya Akang. Mestinya kita ketemu dalam satu forum lintas ulama, lintas negara di Teheran awal tahun 2019 kemarin. Tapi, Anda meng-cancel mungkin karena alasan kesehatan. Ya Ayyatauha al-nafs al-muthma’innah irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah.
Selasa, 16 Pebruari 2021
Menarik tulisan dari penulis ini “Dan kesimpulannya masih sama; Al-Qur’an orang Sunni dan Syiah itu tak beda, yang beda hanya beberapa nama surahnya”.
Pertanyaan saya yg awam, atas dasar apa kita atau kelompok kita berhak menyunting atau merubah nama surat dari sebuah Kalamullah?