Sedang Membaca
Nabi Khidr menurut Masyarakat Banjar
Mursalin
Penulis Kolom

S2 Pendidikan IPS, Konsentrasi Pendidikan Sejarah, dan Dosen Tetap UIN Antasari.

Nabi Khidr menurut Masyarakat Banjar

Bagi masyarakat Banjar Nabi Khidr adalah tokoh yang tidak asing di telinga. Di samping cerita dari Alquran (di antaranya QS Al Kahfi Ayat 65-82), Nabi Khidr juga merupakan tokoh mitologis yang berhubungan dengan air (sungai) dalam alam pikir Urang Banjar.

Masyarakat yang tinggal di pinggir Sungai Tabalong mempercayai bahwa Nabi Khidr masih hidup dan menjaga sungai. Bentuk-bentuk kepercayaan tersebut adalah tawasul, bapadah (meminta izin), dan manakib.

Ketika terjadi bahaya yang mengancam nyawa di sungai, selalu bertawasul kepada Nabi Khidr; membaca Alfatihah Empat dan berdoa, lalu diniatkan tawasul kepada Nabi Khidr. Begitu juga para pencari ikan, sebelum pergi memasang alat penangkap ikan atau menaiki jukung (perahu) mereka meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi Khidr agar mendapatkan hasil yang banyak ketika menangkap ikan.

Ada pula ketika orang yang selamat dari bahaya di sungai atau punya nazar tertentu akan mengadakan acara pembacaan manakib Nabi Khidr.

Dalam tesis Buaya Gaib dalam Perspektif Urang Banjar Batang Banyu (2016), saya menjelaskan bahwa kepercayaan buaya gaib pada masyarakat Kalua juga terkait dengan Nabi Khaidr, khususnya pada ritual malabuh (memberi makan buaya gaib). Ada beberapa jenis mantra ketika melakukan ritual malabuh, satu di antaranya menyebutkan Nabi Khaidr:

Assalamu’alaikum Nabi Khaidir, ulun handak mambari anak buah sampian nang didalam banyu capat ditarima ini malam (Assalamualaikum Nabi Khaidir, saya ingin memberi makan anak buah engkau yang ada didalam air, cepatlah diterima ini malam.)

 

Baca juga:  Keajiban Banten (III): Mata Uang Asli Banten

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar

Satu-satunya sumber tertulis yang bercerita tentang Nabi Khidr dalam mitologi lokal adalah Hikayat Banjar. Sastra lama ini merupakan historiografi tradisional yang menceritakan asal-muasal Kesultanan Banjar.

Nabi Khidr dalam Hikayat Banjar (Resensi II) diceritakan memiliki dua orang istri; Dewi Sari Jaya yang merupakan saudara kandung Empu Jatmika, mereka adalah anak Saudagar Jantam dari negeri Keling dan Dewi Kasuma Sari puteri Batara Gangga dengan Sang Hiang Antabuga dari negeri bawah laut Gumilang Kaca.

Diceritakan pula bahwa Dewi Kasuma Sari dari negeri bawah laut Gumilang Kaca telah mengandung anak Nabi Khidr. Sebelum pulang ke bumi Nabi Khidr berpesan bahwa apabila anak yang dilahirkan Dewi Kasuma Sari berlainan bentuk dari dewa-dewa pada umumnya, hendaklah dibuang ke bumi. Kemudian Dewi Kasuma Sari melahirkan seorang bayi berjenis kelamin perempuan tetapi bentuknya tidak seperti dewa, melainkan seperti buah tembikai (semangka), tidak mempunyai kaki dan tangan. Akhirnya bayi tersebut dibuang ke bumi oleh Batara Gangga.

Sesampainya di bumi bayi tersebut berubah bentuk seperti manusia biasa, lalu bayi tersebut ditemukan oleh Nang Bangkiling beserta istri dan satu anak laki-lakinya di sebuah jurang. Ketika dipungut oleh Nang Bangkiling, bayi perempuan itu berbicara dan meminta Nang Bangkiling untuk memanggilnya dengan nama Raden Galuh Ciptasari.

Suatu hari Raden Galuh Ciptasari sedang mandi di sungai. Tidak jauh dari sana tampak Lambung Mangkurat di atas rakit batang pisang sedang bertapa untuk mendapatkan seorang raja. Oleh Batara Gangga diperintahkanlah dua ekor naga untuk membawa Raden Galuh Ciptasari yang tubuhnya dibungkus buih kepada Lambung Mangkurat. Setelah sampai di hadapan Lambung Mangkurat, buih itu berkata bahwa dialah raja yang dicari olehnya dan tidak akan keluar dari buih sebelum disediakan sehelai kain penutup badan serta istana yang bertiang betung berbintik yang diliputi oleh daun emas.

Baca juga:  Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Masa Hindia-Belanda

Setelah persyaratan disediakan oleh Lambung Mangkurat, maka keluarlah Raden Galuh Ciptasari dari buih tersebut. Kemudian dibawa oleh Lambung Mangkurat bersama dayang-dayang dan pembesar kerajaan ke Candi Agung. Sejak saat itu, Raden Galuh Ciptasari meminta dirinya dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, cikal bakal raja-raja Banjar.

Nabi Khidr pun mempunyai andil dalam mempersatukan Puteri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit.

Ketika awal kedatangan Pangeran Suryanata yang keluar dari laut mengendarai naga putih, bermahkota emas, memakai keris Nagasalira dan tombak Sesa. Semua orang takjub, hingga seseorang berjubah putih yang tidak lain adalah Nabi Khidr pun datang dan menikahkan keduanya.

Hadirnya tokoh Nabi Khidr dalam mitologi Banjar, tentu tidak terlepas dari adanya pengaruh melayu. Menurut J.J Ras dalam disertasinya yang berjudul Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography memaparkan bahwa pengaruh cerita dalam Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dapat dilihat pada unsur-unsur Iskandar, yaitu adanya peran Iskandar Zulkarnaen dan Nabi Khidr dalam hikayat.

J.J Ras juga menjelaskan bahwa tujuan dimasukkannya Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr dalam hikayat banjar bukan bermaksud untuk mengokohkan asumsi bahwa raja-raja melayu dan banjar adalah keturunan keduanya, melainkan agar cerita lokal tersebut menjadi populer. Hal tersebut berarti bahwa adanya cerita lokal yang ikut “membonceng” kepopuleran tokoh Iskandar Zulkarnaen dan Nabi Khidr.

Baca juga:  Di Manakah Nabi Khidr As Berada?

 

Transformasi Tokoh Mitologi

Idwar Saleh dalam bukunya yang berjudul Bandjarmasin menyatakan bahwa Urang Banjar merupakan hasil dari melting pot (kawah ganal pandodolan) dari melayu, jawa dan beberapa unsur luar yang berintikan Dayak Ngaju (menjadi Banjar Kuala), Bukit (menjadi Banjar Hulu) dan Dayak Ma’anyan (menjadi Banjar Batang Banyu).

Hans Scharer dalam bukunya yang bejudul Ngaju Religion: The Conception of God among A South Borneo People menjelaskan bahwa konsep dewa Dayak Ngaju yang merupakan inti dari Urang Banjar Kuala bersifat dwitunggal.

Alam atas (upperworld) diwakili oleh tingang (burung enggang) dan alam bawah (underworld) diwakili oleh tambon (naga, buaya).

Seiring dengan perubahan zaman dan penetrasi kebudayaan luar, sangat mungkin sekali dwitunggal tersebut mengalami transformasi. Seperti halnya Raja Hantuen dalam mitologi Dayak Ngaju, ketika Hindu dan Syiwaisme aliran Kala-Cakra masuk ke Kalimantan bagian tenggara berubah menjadi Batara Kala.

Transformasi dwitunggal tersebut tentu mungkin berubah menjadi tokoh yang berbau Hindu dan Syiwaisme. Penguasa alam atas berubah menjadi Suryanata dan pengauasa alam bawah menjadi Junjung Buih. Hingga Islam masuk, dwitunggal ini pun turut dirasuki pengaruh Islam, yaitu adanya tokoh Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidr.

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top