Beberapa waktu yang lalu ketika Habib Umar bin Hafizh datang ke Samarinda, seorang pengusaha besar dari Tanah Bumbu (Batulicin) memfasilitasi kedatangan beliau ke Batulicin dengan meminjamkan pesawat pribadinya.
Sebuah baliho besar di jalan Ahmad Yani kabupaten Banjar memajang gambar beliau dengan didampingi foto seorang tokoh muda yang pernah menjadi bupati kabupaten Tanah Bumbu.
Banyak teman saya dan rombongan-rombongan majelis taklim di kota Banjarmasin dan sekitarnya turut berangkat ke Batulicin, untuk menyempatkan hadir pada acara Tablig Akbar yang digelar di halaman Masjid Agung Al-Falah Batulicin pada tanggal 12 Oktober 2018 itu. Bahkan juga yang datang dari kabupaten-kabupaten terjauh seperti Batola atau Tabalong.
Habib Umar hanya datang sebentar di Batulicin, dan para “muhibbin” memanfaatkan jadwal rihlahnya yang cukup padat di Indonesia selama kurang lebih seminggu di bulan Oktober itu untuk sekadar bertatap muka dengan beliau. Para habaib (dan murid-murid mereka) hampir dari seluruh Indonesia berkumpul untuk menyambut kedatangan Guru Mulia.
Siapakah Habib Umar dan siapakah habaib itu?
Pertanyaan ini lebih jelasnya akan dijawab dengan menerangkan Sadah Alawiyyin dan Tarekat Alawiyyah secara singkat.
Sadah merupakan bentuk plural (jamak) dari sayyid, yang berarti tuan. Sedangkan Alawiyyin adalah kelompok sosial (kaum) yang diikat oleh hubungan keturunan (nasab) yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw, melalui putrinya Fatimah.
Beberapa orang mempertanyakan hubungan keturunan yang tak lazim ini, karena diturunkan melalui jalur anak perempuan, dan bukannya kepada Ali (ayah dari Hasan dan Husain) yang merupakan menantu dan sepupu Nabi. Pertanyaan ini biasanya akan dijawab dengan latar belakang surah al-Kautsar, perihal abtar (keterputusan nasab Nabi), dan beberapa hadis tentang keutamaan ahli bait Nabi saw.
Lalu apakah Alawiyyin atau Alawiyyah identik dengan Syiah, mengingat pernah ada sebuah gerakan yang menamakan dirinya Alawi di Suriah yang merupakan salah satu sekte Syiah? Atau, apakah ia identik dengan tarekat Alawiyyah Maroko?
Para Alawiyyin di Indonesia memiliki sejarah panjang tersendiri seiring kedatangan mereka di Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha. Mereka datang dari Hadramaut Yaman melalui beberapa gelombang—abad ke-16, 18 dan 19, bahkan sebelum itu menurut catatan beberapa sejarawan—untuk berdagang sekaligus berdakwah.
Beberapa dari mereka kemudian menjadi pedagang besar, raja, dan ulama yang pengaruhnya sedemikian besar bagi persebaran Islam di nusantara.
Seiring menetapnya mereka di negeri rantauan, kelompok ini terdiri dari wulaiti dan muwallad. Wulaiti atau walaiti adalah orang-orang yang lahir di negeri asal Hadramaut dan kemudian menetap di Indonesia dan nusantara umumnya. Sedangkan muwallad adalah anak keturunannya yang memang lahir di negeri rantauan. Baik wulaiti maupun muwallad, dari keduanya sama-sama banyak yang menjadi orang besar.
Namun tidak semua yang datang dari Arab Hadramaut lantas disebut Sayyid atau Habib, karena penamaan ini hanya mengacu kepada mereka yang memiliki garis keturunan Nabi. Yang tidak memiliki silsilah demikian biasanya disebut Syekh atau Masyayikh (jamak). Mereka sama-sama terdiri atas keluarga besar yang menggunakan fam tertentu. Di antara fam-fam para sayyid, adalah Assegaf (as-Saqqaf), al-Aydrus, al-Muhdhar, Bin Syekh Abubakar (BSA), Bin Yahya, Bin Sumaith, al-Habsyi, al-Haddar, al-Kaff, al-Attas, dll. Sedangkan fam para masyayikh di antaranya Basudan (Baswedan), Bin Jubair, Bin Thalib, al-Katiri, dst.
Nama Alawiyyin dinisbatkan kepada Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, orang yang pertama kali hijrah dari Basrah ke Hadramaut pada masa Khalifah al-Muqtadir Billah (295-320 H/ 908-932 M). Sedangkan tarekat Alawiyyah dinisbatkan kepada Syekh Muhammad al-Faqih al-Muqaddam ibn Ali ibn Muhammad ibn Ali ibn Alwi ibn Muhammad ibn Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir ibn Isa ibn Muhammad al-Naqib ibn Ali ‘Uraidhi ibn Ja’far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain putra Ali dan Fatimah.
Ia bergelar al-Faqih al-Muqaddam karena keluasan ilmunya, baik yang berdimensi fikih maupun tasawuf. Ia mendapatkan khirqah kesufiannya dari Syekh Abu Madyan al-Maghribi, dan ia juga biasa disebut sebagai bapaknya tarekat Alawiyyah atau Ba’Alawi.
Dari Faqih Muqaddam lahirlah para masyayikh (dalam pengertian para guru besar, bukan masyayikh dalam pengertian kelompok sosial) Alawiyyah, di antaranya al-Muqaddam al-Tsani Syekh Abdurrahman as-Saqqaf (orang pertama yang menurunkan fam assegaf), dan dari Abdurrahman Assegaf menurunkan Umar al-Muhdhar dan Abu Bakar as-Sakran yang menurunkan Abdullah al-Aydrus, dst.
Mereka yang diberi gelar karena keilmuan dan kewaliannya ini adalah orang-orang pertama yang menjadi “bapak” dari keluarga besar dengan fam-fam yang terus dipakai hingga kini. Dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Mirbath (ayah dari Faqih Muqaddam) menurunkan 75 leluhur (fam) Alawiyyin, sedangkan dari Imam Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath (biasa disebut Alwi ‘Ammul Faqih) menurunkan 16 fam.
Baca juga:
Menurut Sayyid Muhammad bin Ahmad asy-Syatiri, dalam Sirah al-Salaf min Bani ‘Alawi al-Husainiyyin, sejarah Thariqah Alawiyyah dibagi menjadi empat daur: masa para Imam (abad III-VII H) yang merupakan para mujtahid zamannya; masa para Syekh (VII-XI H) yang merupakan guru besar tasawuf masa itu; masa para Habib (XI-XIV H) yang ditandai dengan hijrah kaum Alawiyyin keluar Hadramaut; dan masa para Sayyid (dimulai dari abad XIV). Dikatakan, daurisasi ini didasarkan pada kualitas keilmuan dan peran mereka di tengah masyarakat pada masanya.
Berbeda dengan tarekat pada umumnya, Tarekat Alawiyyah tidak secara mutlak mengharuskan silsilah keilmuan (isnad) melalui hubungan murid ke guru dan ke guru seterusnya, meskipun yang demikian juga ada dalam tradisi mereka. Cukuplah nasab (jalur keturunan) mulia mereka menjadi penghubung antara diri mereka hingga ke Nabi saw. Menurut Umar Ibrahim, hampir setiap tokoh dalam tradisi keluarga memiliki wirid tersendiri, dan ini tidak ditemukan dalam tradisi tarekat-tarekat yang lain.
Penyebutan Sayyid atau Syarif adalah penghormatan terhadap nasab mereka, dan penyebutan Habib merupakan tanda kecintaan umat (para muhibbin) pada Datuk mereka (Nabi Saw) dan pemuliaan atas derajat keilmuan mereka, yang keduanya. Sabab (keilmuan) dan Nasab (keturunan) menjadi penghubung mahabbah, rahmah dan barakah Allah Swt dengan wasilah kehadiran Rasulullah saw di muka bumi. Paling tidak, ini menjadi keyakinan sebagian ulama tasawuf dari zaman ke zaman. Habib Umar bin Hafizh sendiri adalah salah satu dari ulama tasawuf dan seorang pembesar (al-Quthb) dari thariqah Alawiyyah zaman ini.
Terima kasih sudah berbagi ilmu. Senang sekali saya membacanya. Dalam Majalah HISTORIA, edisi “Mencari Cincin Sulaiman”, saya juga membaca rentetan perjalanan dan pertentangan di antara mereka di Indonesia.