Syekh Ahmad Ar-Rifai adalah tokoh sufi pendiri Tarikat Rifa’iyyah. Beliau lahir dengan nama Ahmad bin Shalih pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106. Riwayat lain mengatakan beliau lahir pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi di Marokko. Sumber lain menyebutkan beliau lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Ajaran tasawuf Syekh Ahmad Ar-Rifai banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya’rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra.
Diriwayatkan ada salah satu sahabatnya sering bermimpi melihat Syekh Ahmad Ar-Rifai berada di surga yang tinggi derajatnya. Dia tak pernah menceritakannya kepada Syekh Ahmad Ar-Rifai sampai suatu ketika dia datang sowan ke Syekh Rifai untuk menceritakan mimpinya. Dia juga ingin bertanya apa rahasianya sehingga bisa masuk surga yang tertinggi.
Ketika sampai pondoknya, Syekh Ar-Rifai dimarahi istrinya. Di dalam riwayat lain disebutkan istri Syekh Ahmad Ar-Rifai sedang memukulkan penyulut lampu ke punggungnya tanpa sedikitpun dilawan oleh beliau.
Para santri yang sudah terbiasa dengan kondisi Kiainya, tenang-tenang saja. Sampai si tamu pun heran dengan sikap mereka. Seolah tak terjadi apa-apa.
Dia pun bertanya, “Bagaimana ini, Kiaimu dimarahi istrinya kok diam saja.”
Salah satu santri menjawab, “Ngapunten, Pak. Mohon maaf. Kiai Rifai sudah terbiasa dimarahi istrinya.”
“Apa kalian tidak mencegah?”
“Tidak, Pak. Kiai saya ini belum lunas bayar mahar ke istrinya.”
“Berapa mahar yang belum dijawab beliau?”
“Maharnya limaratus dinar.” jawab santri.
Bagi tamu yang kaya, apa yang dialami Syekh Rifai sungguh di luar dugaannya. Bagaimana mungkin seorang wali besar, yang diimpikannya masuk surga, ternyata tak bisa melunasi mahar nikah untuk istrinya.
Dia pun akhirnya pulang untuk mengumpulkan uang sebanyak lima ratus dinar. Setelah terkumpul, dia kembali sowan.
“Syekh, ini saya punya uang untuk melunasi hutang mahar panjenengan kepada istri. Saya berharap dengan melunasinya, panjenengan tak lagi dimarahi lagi.”
Apakah Syekh Ahmad Ar-Rifai senang dengan pemberian itu? Ternyata tidak.
“Ndak perlu, Pak. Sungguh tak perlu. Saya ini bisa berada di surga yang dekat dengan Allah sebagaimana yang panjenengan impikan itu justru berkat sikap istriku. Dia memang sering memarahiku tapi dia bukanlah seorang ahli maksiat. Dia orang yang taat kepada Allah. Dia adalah tangga bagiku untuk mencapai derajat tinggi di hadapan Allah. Kalau bukan karena kesabaranku atas pukulan dan cerewetnya, kau tak akan melihatku berada di tempat tertinggi sebagaimana yang kaujumpai dalam mimpimu.”