Dr. Usamah bin Abdul Hamid dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa Imam al-Ghazali suatu waktu hendak berkunjung ke Marakesh (pusat pemerintahan Murobithin kala itu). Namun, ia menunda dan membatalkan kunjungannya itu. Mengapa?
Sebab, Yusuf bin Tasyifin menyambanginya di perjalanan, ketika baru sampai Iskandariah. Ini adalah bukti akan adanya hubungan baik di antara keduanya, antara Yusuf dan al-Ghazali.
Namun, ketika Yusuf mewariskan kekuasaannya pada putranya, Ali bin Yusuf, hubungan baik Yusuf dan al-Ghazali retak. Saat Ali mewarisi kerajaan Murobithin, keinginannya membakar kitab Ihya Ulumuddin karya sahabat bapaknya, Imam al-Ghazali, seperti tak terhentikan. ALi bin Yusuf mendapat sokongan penuh para fukaha, para ahli fikih.
Adalah Murobithin sebuah kerajaan Islam yang sempat eksis di bumi Maroko dan Spanyol pada abad ke-5 dan 6 Hijriah, atau tahun 1056 hingga 1147 Masehi. Kota Marakesh menjadi pusat pemerintahan pada masa kekuasaan keduanya. Kerajaan Murobithin mencapai puncak kekuatan pada kekuasaan Ali bin Yusuf.
Di bawah wewanangnya, pasukaanya melakukan konfrontasi dan perang ke negeri Aragon, Kastila, Portugal, Katalonia, dan kerajaan-kerajaan kecil di semenanjung Iberia, yang pada akhirnya mampu menggabungkan Zarogoza di bawah naungannya.
Perluasan wilayah demi wilayah yang cukup menyita waktu dan mengikatnya dalam kesibukan. Selain terus mencaplok negeri-negeri kecil, Ali bin Yusuf juga punya perhatian di bidang estetika. Pembangunan demi pembangunan, kastil demi kastil, masjid, aula dibangun dengan cita rasa arsitektural tinggi. Jadilah Marakesh, seperti sebuah negeri yang tanpa kekurangan apapun. Bahkan, sang raja Ali bin Yusuf mengutus arsitektur-arsitektur ke Spanyol untuk mendirikan bangunan-bangunan nan indah seperti di Markesh.
Ali bin Yusuf adalah satu dari kebanyakan penguasa yang begitu dekat dengan para ulama. Dan bahkan beliau tidak mengesahkan suatu perkara tanpa hadirnya para fukaha, sedikitnya empat orang. Mereka para fukaha yang bermazhab Maliki itu memiliki posisi penting di dalam dan di luar kerajaan. Tugas mereka tidak hanya terbatas pada dakwah dan mendidik, tapi juga bertanggung jawab atas kesatuan dan kedaulatan kerajaan.
Dengan kata lain, mereka berkecimpung di dunia politik sebagaimana mereka menggeluti ilmu-ilmu fikih. Sehingga slogan “Kerajaan Murobthin adalah Kerajaan Fukaha Maliki” bukanlah kata dan atau ungkapan yang berlebihan. Dan di masa ini pulalah mazhab Maliki mengakar kuat di Maroko dan Spanyol.
Besarnya kesan para fukaha mazhab Maliki terhadap Ali bin Yusuf adalah hal wajar. Sebab pewaris kerajaan ini merupakan seorang fakih pengikut setia Imam Malik bin Anas, Abdullah bin Yasin. Seperti itulah, fukaha mazhab Maliki berkembang sedemikian rupa, tumbuh laksana cendawa di musim hujan.
Kekuatan para fukaha inilah yang “menggoyang” kitab Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali,. Di prakarsai Ibnu Hamdin, para fukaha kerajaan meminta kepada Ali bin Yusuf –yang bapaknya al-Ghazali– untuk mengeluarkan keputusan pembakaran kitab Ihya Ulumuddin. Dan di hari-hari pada 503 Hijriah, di hadapan ribuan mata manusia, di masjid Jamik Pintu Ghorb, Cordhoba, kitab yang mengalirkan kejernihan kalam dan hikmah, Ihya Ulumuddin itu dieksekusi (dibakar). Tak ada tersisa satu pun kitab Ihya di Marakesh, yang tersisa. Malam itu, alun-alun kota terang benderang oleh api yang melalap Ihya Ulumuddin.
Peristiwa ini tentu menuai penolakan dan kritikan pedas. Dan bahkan di antara mereka. Tiba-tiba muncul ide pemberontakan. Mereka berkehendak meruntuhkan kerajaan megah ini, Muhammad bin Tomert misalnya, mulanya ia mempelajari ilmu-ilmu Ushul yang telah hilang dari para fukaha yang hanya menggeluti ilmu-ilmu furu’ (cabang). Ia pergi ke negeri timur dan belajar ke beberapa ulama tersohor seperti Imam al-Ghazali. Lalu ia menghasut masyarakat untuk tidak patuh pada pemerintah dengan alasan bahwa tidak sejalan dengan keyakinannya.
Selain ia, di antara fakih yang menolak atas fatwa itu adalah Ali bin Muhammad al-Jazami yang mengakibatkan lahirnya fatwa pencopotan dirinya dari kursi konsultan, dan Abul Fadhl an-Nahwi yang sempat mengirim surat kepada Ali bin Yusuf atas ketidaksetujuannya.
Beberapa ulama dan peneliti sejarah mencoba menyingkap tabir tersembunyi dalang di balik ini semua dan mengungkapkan sebabnya. Seperti pengarang kitab Izharul Bustanin yang berkata; Imam al-Ghozali adalah kafir dalam pandang mereka. Ia menakwilkan Alquran dan lalu karya-karya beliaupun diharamkan masuk di wilayah kekuasaan mereka.
Atau seperti Ahmad Amin yang mengungkapkan; bahwa Yusuf bin Tasyifin memiliki kecondongan beragama yang berbeda dengan Imam al-Ghazaly, di antaranya beliau berlebihan mengajak pada intropeksi diri, sehingga para Qadhi Cordoba pun memfatwakan bahwa Imam Ghazaly adalah Zindiq dan tukang Bid’ah.
Berbeda dengan el-Harfi, ia melihat ini adalah adanya polemik kuat diantara para sufi dan fukaha, di samping itu, kandungan dan isi yang termaktub di dalam kitab Ihya Ulumuddin itu menghawatirkan bagi mereka, dan lalu keluarlah fatwa atas pembakarannya.
Terlepas dari semua itu, tebaran debu kertas Ihya Ulumuddin itu adalah bukti pahit betapa keji lagi kejamnya politik.