Natal itu menyenangkan dan mengenyangkan. Tetangga saya di kampung, di Kalimantan Selatan, setiap hari Natal, selalu membawakan buras beserta lauknya, ikan cakalang yang di masak rica-rica, ke rumah saya. Ibu akan sangat senang menerima buras itu. Tetangga saya, seorang perempuan yang umurnya mungkin tak jauh dari ibu, biasanya akan ngobrol sebentar, saling bertanya kabar, lalu saling berpelukan dengan ibu sebelum pamit kembali ke rumahnya dengan senyum terbuka.
Buras Natal bikinan tetangga rasanya sungguh maknyus. Tampakannya segar dengan balutan daun pisang agak kehijauan yang diikat tali rapia berwarna pink. Bentuknya agak montok seperti bantal tetapi tidak keras. Teksturnya lembut, namun tidak lembek dan mudah hancur kalau dipegang. Ketika buras itu menyentuh lidah, rasanya sedap dan gurih. Ada manisnya, nyaris asin, dan sedikit terasa berlemak karena santan yang dikandungnya.
Saya tidak buang-buang waktu untuk menyantap buras itu dengan ikan cakalang rica-rica yang rasanya cukup pedas untuk ukuran saya. Bagian yang berwarna hitam pada daging ikan cakalang jadi yang paling doyan saya makan. Di sesi terakhir perjamuan dengan menu Natal itu, saya seringkali akan menggigit pipi ikan yang kriuk karena digoreng kering sebelum dilumuri saus rica-rica yang lezatnya aduhai.
Saat baru masuk jadi murid di SMA kelas X, saya pernah bertanya pada ibu mengapa tetangga selalu memasak buras untuk merayakan Natal, bukan ayam kalkun seperti yang biasa saya lihat di film-film Hollywood. Ibu mengatakan, “Ibu Ribka itu orang Sulawesi. Dulu ia tinggal bersama orang tuanya. Bapaknya Kristen dan Mamanya Islam. Mereka selalu merayakan Natal dengan menghidangkan masakan yang persis banyak dimakan orang Sulawesi seperti saat hari raya Idul Fitri tiba”. Ibu saya diam sejenak lalu melanjutkan. “Ibu Ribka memeluk Kristen. Ia mengikut ke Bapaknya. Saya tidak tau mengapa ia tidak memilih jalan seperti Mamanya. Toh keluarga mereka adem-adem saja. Yang penting rukun dan bahagia”
Natal akhirnya jadi momen yang ditunggu-tunggu. Bukan untuk menyaksikan film keluarga setamsil Home Alone yang ditayangkan di statisun TV swasta, tapi untuk bisa menikmati sajian yang tak akan pernah bisa didapatkan di hari-hari biasa, dan di warung mana saja. Bahkan, saya pernah mengajak sahabat saya semasa SMA untuk berkunjung ke rumah saat Natal agar ia dapat merasakan buras bikinan tetangga saya. Sahabat saya kaget karena mengira saya dan keluarga merayakan pesta Natal di rumah. “Tentu saja kami tidak merayakan Natal. Tetapi, kalau kau datang ke rumah, kau akan makan enak”, janji saya.
Nyaris setiap Natal, masa bocah saya diisi menggondol buras dan cakalang rica-rica olahan Ibu Ribka. Hingga akhirnya saya lulus SMA dan memutuskan merantau kuliah di Makassar tahun 2012, saya tak pernah lagi bertemu menu Natal yang khas dan ngangenin itu. Di Makassar, saya memang sering diundang kawan-kawan Nasrani saya berkunjung ke rumahnya. Namun, setelah melihat ke sana-sini, saya hanya menemukan nasi, ayam goreng, sup, pizza, salad buah dan sayur. Aneka roti dan berbotol-botol minuman bersoda. Kue brownies dan kukis cokelat. Terang saja saya tak bertanya mana buras dan cakalang kepada teman saya. Agaknya, jenis makanan yang saya idam-damkan itu atau tradisi ma’burasa memang tak biasa dilakukan di rumah kawan saya yang Natalan.
Selama kurang lebih enam tahun kuliah, saya selalu mengabiskan bulan desember dengan tidak berada di kampung halaman. Tak ada kesempatan untuk pulang, itu artinya rindu saya pada sepasang buras Natal dan cakalang rica-rica bikinan Ibu Ribka, kian meluap-luap seperti botol minuman soda yang baru dibuka. Setelah lulus kuliah, saya berencana pulang sekalian menyambut Natal dan menghabiskan desember yang basah di kampung. Namun, jadwal pekerjaan yang merayap di Makassar, membuat rencana mudik Natal gagal diwujudkan. Apa boleh bikin, saya hanya bisa legowo melepaskan kesempatan menghajar kudapan lezat bikinan tetangga.
Ma’burasa memang jadi tradisi yang penting dalam semesta kehidupan, khususnya Bugis seperti ibu Ribka. Buras bukan hanya milik orang-orang yang merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Buras juga milik mereka yang menempatkan cinta kasih sebagai arus utama laku hidupnya. Buras yang biasanya dimakan bareng-bareng bermakna menumbuhkan persatuan. Di titik itu, buras bukan makanan pelengkap dari hidangan untuk hari raya. Buras merupakan sajian inti dengan segala tuah filosofis dan kebudayaanya.
Ingatan perihal buras Natal dan ikan cakalang itu, memberikan saya memori kultural dan religius. Buras dengan tampilannya yang diikat dengan tali, dan dibagikan Ibu Ribka ke tetangganya, merupakan metafor persaudaraan. Bahwa sebagai manusia kita mestinya selalu melilit diri dalam tali silaturahmi dengan siapa saja. Dalam tali kasih. Dalam tali cinta dan perdamaian. Tanpa memandang apa agamamu atau hari raya yang kau rayakan.
Merayakan Natal dengan berbagi makanan ala ibu Ribka, juga mengingatkan saya pada Nabi Isa yang bertugas membebaskan manusia. Membebaskan manusia dari kelaparan struktural. Kelaparan yang direkayasa oleh sistem yang menindas. Apa yang dilakukan Ibu Ribka di tiap hari Natal dengan yang ia bagikan, merupakan ejawantah ajaran cinta kasih Al Masih. Sebuah laku spritual yang memuat pesan kasih, perdamaian, dan pembebasan dari sepaket kudapan.