Lapar dan haus didefinisikan sebagai “ألم جسماني”, yang berarti rasa tidak nyaman atau sakit yang dirasakan oleh tubuh. Penyebabnya antara lain karena kekurangan makan dan minum. Orang yang sedang dilanda lapar dan haus tidak bisa berpikir dengan jernih, labil, bahkan hatinya pun terombang-ambing, dan mudah terpengaruh.
Bagi sebagian orang, lapar dan haus telah menjadi “أمر قسري” atau hal yang tidak bisa dipungkiri keadaannya, mungkin karena faktor ekonomi ataupun sebab lainnya. Inilah yang terjadi pada sebagian besar dari ulama terdahulu yang memilih untuk menahan dan bersabar atas lapar-haus, demi menjaga kemuliaan mereka, juga menghindar dari sifat berbangga diri. Kendati demikian, para ulama tidak suka meminta dan mengemis. Sebisa mungkin di tengah kesibukannya mereka berkerja untuk penghidupan mereka.
Syaikhul Islam Mushtofa Shobri, salah satu syekh terakhir pada dinasti Turki Utsmani, pernah bercerita bahwa pada saat itu dunia sedang digemparkan oleh kabar puasa dan mogok makan yang digagas oleh Mahatma Gandhi untuk menentang politik Inggris di negerinya. Tak butuh waktu lama, kabar ini pun merebak ke seluruh penjuru dunia. Dalam sekejap, Gandhi dipuja dan dibangga-banggakan.
Mendengarnya, Syekh Mushtofa menyusun syair yang indah untuk membandingkan lapar yang para ulama rasakan dengan yang Gandhi lakukan saat itu:
صام شيخ الهند الحديثة غندي
صومة المستميت و المتحدي
و أراني على شفا الموت أدعى
شيخ الإسلام بله هند و سند
غير أن الصومين بينهما فرق
عجيب أبديه من غير رد
صام مع وجده و صمت لعدم
دام مذ ضفت مصر كالضيف عندي
و غدا صومه حديث جميع الناس
أما صومي فأدريه وحدي
“Dewasa ini, pemuka India bernama Gandhi melaksanakan puasa, puasa berani mati yang ia lakukan untuk menentang (politik Inggris). Dan aku melihat diriku ada di ambang kematian sehingga digelari Syaikhul Islam, lupakan dahulu soal India dan sungai Indusnya. Bagaimanapun juga, ada sekat besar antara kedua puasa ini yang ingin aku tampakkan tanpa ragu. Dia berpuasa dengan terang-terangan, adapun diriku berpuasa dalam diam. Puasanya menjadi perbincangan di antara manusia, adapun puasaku cukup diriku yang mengetahuinya.”
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, lapar adalah salah satu ujian terberat para ulama terdahulu. Sebab, lapar menjadikan kita tak bisa berpikir jernih dan kadang kala akal menjadi kusut.
Pada suatu kesempatan, Imam Ahmad bin Hambal pernah berkunjung ke Abdur Rozzaq di Yaman. Sehari-seharinya keduanya selalu salat berjamaah. Tapi anehnya, suatu hari Imam Ahmad lupa salat. Sontak Abdur Rozzaq bertanya kepada sang imam.
“Aku belum makan apa pun selama tiga hari, dan inilah yang membuat pikiranku menjadi kacau,” jawab sang imam.
Kisah selanjutnya datang dari Syekh Ali Thanthawi. Ia berbagi kisah pedihnya menjadi seorang “santri”.
“Setiap harinya aku selalu berkeliling menemui para Syekh untuk bisa mengambil ilmu dari mereka. Aku juga terbiasa berlari ke tempat belajar agar tidak tertinggal. Namun saat pagi tiba aku tidak punya apa-apa untuk dimakan, begitu pun saat sore datang, tak ada sesuatu yang bisa kumakan. Kalau kuceritakan semua keadaanku pada waktu itu, pasti akan sangat panjang. Tapi apa yang Allah berikan bukannya ingin menghinakanku, malah hal itulah yang menjadikanku hingga hari ini,” kenang Syekh Ali Thanthawi.
Kemudian, di dalam kitab “العبر في خبر من غبر” termaktub di dalamnya kisah menyayat hati yang dialami oleh Abu Muhammad Abdur Rahman bin Yusuf bin Khirasy dalam perjalanannya mencari hadis.
“Pada waktu itu, aku sedang melakukan rihlah dari Mesir ke Khurasan. Selama perjalanan, aku telah meminum air seni ku sendiri sebanyak lima kali,” Abu Muhammad Abdur Rahman. Allah, Allah, Allah…
Syekh Abdul Fatah Abu Ghuddah mengatakan bahwa hal ini memang terdengar aneh, tapi itu bisa saja terjadi, karena melihat keadaan yang sangat mendesak dan mempertaruhkan nyawa.
Bagaimanapun juga, para ulama terdahulu menganggap bahwa rasa lapar dan haus yang mereka rasakan tidak lain adalah sebuah ujian yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang mencari rida-Nya. Syekh Abdul Fatah menambahkan, bahwasanya jika Allah menguji hambanya dari suatu sisi, maka Allah pun akan memudahkan baginya di sisi yang lain, tapi kitanya saja yang tidak sadar, dan kurang bersyukur akan hal itu.