Hidup di pondok pesantren itu sangat menjenuhkan dan membosankan; habis jama’ah Subuh ngaji, lalu harus masak (ngliwet) untuk sarapan, mandi pagi antri, selanjutnya berangkat ke sekolah itupun semua teman dan gurunya cowok semua. Pulang sekolah jama’ah salat Zuhur dilanjutkan dengan ngaji, setelah itu, makan siang lalu mandi (tentunya dengan antri).
Lalu, usai itu jama’ah salat Asar yang dilanjutkan dengan ngaji hingga menjelang waktu shalat Magrib. Dikarenakan waktu antara Magrib dan Isya’ cukup pendek, maka biasanya diisi dengan tadarus Al-Qur’an atau baca wirid di dalam masjid. Apa bakda jama’ah shalat Isya kegiatan santri selesai?
Belum. Di malam hari, semua santri diwajibkan untuk taqrarud durus, yaitu mempelajari pelajaran-pelajaran yang diikuti di sekolah (mengerjakan PR, diskusi, dan mempersiapkan pelajaran untuk esok hari) hingga jam 21.00 itupun dalam pengawasan ketat Keamanan Pondok. Usai taqrarud durus bila tidak ngantuk bisa mengikuti ngaji lagi hingga jam 22.00. Sementara bagi yang sudah ngantuk bisa langsung tidur.
Kegiatan seperti itu dijalankan setiap hari mulai hari Sabtu hingga Kamis. Lalu berarti malam Jum’at bisa santai dong, tidak juga. Meskipun malam Jum’at adalah malam libur, namun santri tetap diwajibkan mengikuti kegiatan pondok seperti; latihan Khitobah (pidato), baca Tahlil dan Yasin, Dhiba’iyah, Manakiban, dan kegiatan lainnya. Di hari Jum’at bakda Subuh, sudah dimulai kegiatan khataman Al-Qur’an yang harus diselesaikan hingga waktu shalat Magrib.
Menu makan sehari-hari para santri adalah nasi liwet plus sambal terasi dengan lauk ikan asih atau krupuk, jika uang kiriman masih banyak lauknya agak mewah yaitu tahu atau tempe. Jika beruntung bisa minum es teh,namun minuman favorit para santri adalah air putih yang dituangkan pada panci bekas ngliwet nasi, wah segernya bukan main.
Memiliki radio bagi para santri tempo dulu merupakan barang mewah. Seringkali petugas Keamanan Pondok melakukan rasia radio dan tape recorder di kamar-kamar para santri. Biasanya para santri hanya mampu beli kaset lagu-lagu favoritnya, lalu jika ingin mendengarkannya, para santri pergi ke warung di luar pondok untuk membeli segelas kopi sambil meminjam tape recorder pemilik warung guna memutar kaset yang dibelinya.
Jangan dibayangkan para santri tempo dulu tidur nyaman di atas kasur dengan bantal empuk. Tidur di lantai beralaskan sajadah dan berbantal gulungan sarung sudah merupakan kemewahan luar biasa bagi santri. Tak jarang bagi santri yang berangkat tidurnya kemalaman, maka dia harus rela tidur di emperan atau tangga masjid. Jika terpaksa tidak ada tempat, tidur di bawah bedug pun jadi, maka dapat dipastikan bedug subuh dapat segera membangunkannya.
Memang seperti kata Gus Dur, saat tinggal di pondok pesantren perasaan tidak ada yang istimewa. Setiap hari mendengar orang baca Kitab Kuning dan tadarus Al-Qur’an. Aktivitas rutin seperti itu cukup menjenuhkan. Terkadang beberapa santri mencuri waktu untuk sekedar mendengarkan lagu Bon Jovi atau Slank di warung kopi luar pondok. Beberapa santri juga terlihat tidak istimewa, di antara mereka ada yang sekedar menjadi qadam (abdi) kiai, tugasnya bersihin rumah kiai, menyediakan keperluan sang kiai, mereka biasanya jarang pula ngaji.
Namun, kini setelah sama-sama menjadi alumni, saya melihat beberapa teman santri ada yang menjadi kiai termasyhur di kampungnya, ada yang menjadi pimpinan pondok pesantren, ada yang menjadi anggota DPR RI, bahkan beberapa ada yang lulus Master dan Doktor dari Perguruan Tinggi di Eropa atau Amerika serta menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan organisasi internasional. Padahal mereka dahulu hanya sarapan nasi liwet dan sambel terasi dengan lauk ikan asin.
Mengapa para santri yang ketika di pesantren terlihat lugu dan cenderung ndeso bisa sedemikian berhasilnya? Satu hal keutamaan yang dimiliki oleh para santri yang tidak didapatkan oleh murid lain di luar pesantren adalah “Barokah Kiai”. Hubungan kiai dengan Santri tidak sekedar hubungan antara guru dan murid. Seringkali sang kiai bangun malam dan riyadah puasa Senin-Kamis untuk mendoakan para santrinya agar ilmu yang diberikan kelak dapat bermanfaat bukan saja bagi santrinya namun juga bagi masyarakat pada umumnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para santri, senantiasa membaca Suratul Fatihah yang dihadiahkan untuk para guru dan kiai mereka seusai shalat lima waktu sebagai bentuk ungkapan rasa terimakasih atas ilmu yang telah diberikannya.
Inilah tradisi para santri, maka tak salah apa yang disampaikan oleh Almarhum Gus Dur tersebut. Wallahu’alam bish showab