Nun jauh sebelum munculnya Islam sebagai agama resmi Kerajaan Banjar dan proses Islamisasi yang berkembang pesat sampai ke pedalaman Borneo, berdirilah sebuah “negara” milik suku Dayak Maanyan, bernama Nan Sarunai.
Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya, dijelaskan, kerajaan Nan Sarunai terletak di dekat kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang.
Wajidi dalam buku Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat, mencatat, masjid Pusaka Banua Lawas yang yang terletak di Pasar Arba, Banua Lawas, Tabalong, Kalimantan Selatan ini dibangun pada 1625 M atau 1034 H.
Sementara Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Datu Sri Panji, dan Datu Rangganan dicatat sebagai pendiri. Mereka adalah tokoh Dayak Maanyan yang memeluk Islam, berkat peranan Khatib Dayan, seorang utusan dari Kerajaan Demak untuk Kesultanan Banjar. Pusaka Banua Lawas merupakan masjid tertua kedua di Kalimantan Selatan, setelah Masjid Sultan Suriansyah yang terletak di Banjarmasin.
Sebelum berdirinya Pusaka Banua Lawas, jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banjar lima abad silam, di sekitar lokasi masjid ini terdapat perkampungan orang Maanyan yang berada dalam teritorial negara suku Nan Sarunai.
Data yang diperoleh dari kerajaan ini antara lain adalah nyanyian atau wadian yang mengisahkan tentang peristiwa keruntuhan Nan Sarunai akibat serangan Majapahit sekitar abad ke-13. Pasca serangan Majapahit, kerajaan Nan Sarunai terbagi dalam beberapa wilayah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Proses penaklukan itu juga disertai penyebaran agama dan budaya Hindu, serta pengikisan kepercayaan lama. Menurut tradisi lisan orang Maanyan, di belakang Pusaka Banua Lawas terdapat pusara raja bernama Raden Anyan dan tujuh orang puteranya, serta di bawah lantai masjid terdapat sumur tua, tempat Raden Anyan gugur ditombak laksamana Nala.
Menurut Wajidi, dahulunya di lokasi Masjid Pusaka Banua Lawas berdiri pasenggrahan dan tempat pemujaan bagi orang Maanyan, kemudian didirikan pemujaan bagi penganut Hindu Siwa. Namun setelah Islam berkembang, didirikanlah Pusaka Banua Lawas.
Pusaka Banua Lawas ini menjadi barang perpantangan atau lokasi suci pemeluk Islam dan pemeluk Kaharingan.
Menurut cerita lisan orang Maanyan, di depan Pusaka Banua Lawas terdapat dua buah guci kuno peninggalan leluhur Maanyan saat mereka meninggalkan Banua Lawas, yang hingga kini masih terpelihara. Juga demikian dengan kuburan tokoh-tokoh Maanyan di belakang masjid.
Arsitektur
Bangunan Pusaka Banua Lawas secara arsitektural menunjukkan masjid tua, seperti terlihat pada struktur atap tumpang meruncing lancip, laiknya piramida dan berkonstruksi panggung.
Puncak atap dihiasi dengan hiasan kemuncak atau pataka (mustaka), meski sama-sama beratap tumpang, masjid ini berbeda dengan masjid tradisonal Indonesia lainnya, karena terdapat ragam hias, ornamen ataupun filosofisnya khas Banjar.
Sesuai dengan kondisi alamnya, rumah panggung merupakan ihwal yang umum di Kalsel. Begitu pula dengan konstruksi rumah ibadah, pada mulanya berkonstruksi panggung atau berkolong, yakni berdiri di atas tongkat-tongkat kayu ulin. Demikian pula dengan Pusaka Banua Lawas.
Dahulu, masjid ini mempunyai konstruksi lantai panggung, walaupun sekarang lantai sudah diganti dengan menguruk pasir sebagai pondasi dan melapis ubin keramik pada ruang teras dan ruang utama.
Bentuk atapnya tumpang tiga dengan puncak dihiasai dengan pataka (mustaka), atau kadang disebut sungkul, seperti pada masjid-masjid kuno di Jawa. Tumpang tiga bermakna iman, Islam, dan Ihsan.
Semula pataka yang dipasang di puncak atap masjid terbuat dari kayu ulin yang ditatah menyerupai putik bunga. Meski telah diganti dengan bahan logam putih, bekas pataka masih disimpan oleh pengurus masjid, karena dianggap bertuah.
Pada bangunan induk, terdapat tangga lingkar yang sangat jarang ditemui di daerah lainnya. Tangga lingkar yang dibuat dengan sederhana dari bahan kayu dengan trap tangga berjumlah 12 buah dan melingkar salah satu tiang utama hingga ke atas.
Di ujung trap teratas, terdapat balkon yang dahulunya tempat mengumandangkan azan. Sampai sekarang, tempat ini secara rutin dikunjungi oleh para peziarah guna berdoa.
Di dalam ruang utama terdapat empat buah tiang utama (soko guru) sebagai penyangga atap utama dan bangunan induk masjid. Dua belas tiang penyangga (sokorawa) atap kedua, dan dua belas tiang pengikat dinding-dinding masjid yang terbuat dari kayu ulin atau besi (Eusideroxylon Zwager).
Sedangkan bangunan induk Pusaka Banua Lawas hanya sedikit memiliki unsur-unsur hiasan (ornamen). Hiasan yang banyak ditemui adalah pada dinding mimbar yang dipenuhi ornamen bermotif jambangan dan bunga sulur, serta pada tangga mimbar dengan ornamen tampuk bunga manggis, sulur, bunga, dan dedaunan.
Pengaruh ragam hias pra-Islam tampak pada arsitektur Pusaka Banua Lawas, seperti mimbar dengan pola teratai yang masa kebudayaan Hindu, perlambangan kesucian dan kekuasaan. Demikian juga pataka atau mustaka jelas menunjukkan pola-pola seni bangunan tradisional yang telah mahsyur sebelum kedatangan Islam.
Bentuk bangunan yang mengadaptasi pola-pola bangunan atau ajaran Hindu ini, menunjukkan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai melalui penerusan seni bangunan dan seni ukir pra-Islam.
Saat ini, Pusaka Banua Lawas juga merupakan cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Ia adalah artefak budaya dari masa silam yang wajib kita diperhatikan sebagai bagian dari perjalanan panjang umat muslim dan bangsa Indonesia.