Muhammad Bakhiet (adapula yang menulisnya Bachiet) lahir di Telaga Air Mata (Kampung Arab) Barabai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah) pada tanggal 1 Januari 1966. Ayahnya bernama (Tuan Guru) Ahmad Mughni dan ibunya bernama Hj. Zainab. Ia memiliki 7 saudara, 1 laki-laki dan 6 perempuan. Nama saudara perempuan dan saudara laki-lakinya adalah Hj. Zahrah, Hj. Bulkis, Hj. Khamsah, Hj. Jum’ah, Hj. Syarifah, H. Abdussalam dan Siti Aminah. Ia dan adiknya, H. Abdussalam menjadi ulama seperti ayah mereka.
Muhammad Bakhiet merupakan keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Garis silisilahnya adalah sebagai berikut: Muhammad Bakhiet bin Ahmad Mughni bin Ismail bin Muhammad Thahir bin Syihabuddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari. Sebagai keuturnan ulama besar, tradisi keulamaan Syekh Arsyad al-Banjari juga mengalir pada diri Muhammad Bakhiet. Apalagi secara keseluruhan dari Syekh Arsyad hingga ayahnya, Ahmad Mughni, semuanya merupakan ulama yang berpengaruh. Syekh Syihabuddin merupakan salah satu anak Syekh Arsyad yang menonjol. Selain belajar kepada Syekh Arsyad, ia juga belajar ke Makkah, salah satu gurunya adalah Syekh Dawud al-Fathani (w. 1847) dan Syekh Ahmad Marzuki. Ia pernah menjabat sebagai qadhi dan murfti kerajaan Banjar dan pernah mengajar di Kerajaan Riau Lingga Pulau Penyengat pada tahun 1842 pada masa pemerintahan Raja Ali Haji, raja yang juga menjadi sahabatnya.
Syekh Syahabuddin memiliki anak yang bernama Muhammad Thahir yang menjadi ulama di Alabio. Selanjutnya, Muhammad Tahir memiliki anak yang juga menjadi ulama yang bernama Tuan Guru Ismail yang berasal dari Alabio kemudian pindah ke Nagara. Di Nagara ia menjadi guru dari banyak ulama baik yang berasal dari Nagara sendiri maupun yang berasal dari luar Nagara. Tuan Guru Ismail memiliki tiga anak yang menjadi ulama, yaitu Tuan Guru Abdul Wahab, Tuan Guru Syibli dan Tuan Guru Ahmad Mughni. Ahmad Mughni, ayah Muhammad Bakhiet, merupakan ulama berpengaruh terutama di Nagara, Kandangan dan Barabai. Ia dan adiknya, Tuan Guru Syibli pernah belajar di Makkah (Madrasah Shaulatiyah dan halaqah Masjidil Haram) selama beberapa tahun. Gurunya di Makkah merupakan sejumlah ulama yang berpengaruh dan populer di kalangan penuntut ilmu dari Asia Tenggara.
Adanya darah ulama yang secara berkesinambungan mengalir dalam darah leluhur hingga diri Muhammad Bakhiet, maka tidaklah mengherankan jika ia kemudian menjadi salah satu ulama Banjar kontemporer terkemuka dan berpengaruh di Kalimantan Selatan. Ia mewarisi bakat keulamaan dari ayah, kakek, dan leluhurnya. Apalagi kemudian pendidikan yang diperolehnya dari sejumlah ulama termasuk ayahnya sendiri semakin membentuk bakat keulamaannya.
Pendidikan awal Muhammad Bakhiet dimulai di lingkungan keluarga yang kental dengan nuansa keagamaan. Pendidikan formal yang pernah ditempuhnya pada tingkat dasar hanya sampai berjalan empat tahun. Ia hanya sampai pada kelas IV (1976). Ia lebih banyak belajar secara nonformal terutama pada ayahnya. Pada tahun 1977, ia memasuki pendidikan di Pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih. Di sini ia belajar selama tiga tahun dan selesai pada tahun 1980. Di pesantren ini ia belajar kepada Tuan Guru Mahfuz Amin, ulama berpengaruh pendiri pesantren Ibnul Amin. Pada tahun 1980ia meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Tetapi ia hanya belajar sekitar 6 bulan di pesantren ini. Ia kemudian pindah ke Pondok Pesantren Darussalamah dan belajar di sini selama 1, 5 tahun. Selama di Martapura ia juga belajar kepada Tuan Guru Syukri Unus.
Setelah beberapa tahun di Martapura, ia kembali ke Barabai. Di tempat kelahirannya ini ia kembali belajarkepada ayahnya, Ahmad Mughni, juga belajar kepada Tuan Guru Abdul Wahab pada bidang fiqih, H. Hasan dan H. Saleh pada bidang ilmu Nahwu.
Pendidikan Muhammad Bakhiet tidak hanya ditempuh di Kalimantan Selatan, ia juga pernah belajar ke Jawa Timur (Bangil). Bangil merupakan wilayah di mana banyak ulama pernah belajar karena di sini banyak dihuni oleh ulama dan haba`ib. Beberapa ulama populer di Kalimantan Selatanrg seperti KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, Muhammad Syukri Unus, KH. Ahmad Bakri, KH. Asmuni (Guru Danau) dan lainnya. Muhammad Bakhiet belajar ke Bangil atas petunjuk orangtuanya. Di sini ia berguru dan mengambil tarikat Alawiyah dengan Habib Zein al-Abidin Ahmad al-Aydarus.
Setelah satu tahun belajar di Jawa Timur, ia kembali ke Barabai. Oleh sang guru ia diminta memperkenalkan dan menyebarkan Tarikat Alawiyah di kampung halamannya. Untuk mengembangkan tarikat ini, sang guru menyaratkan agar ia dapat menghimpun 40 orang jamaah. Pada tahap awal, ia mengumpulkan 40 orang dari kalangan keluarga sendiri, para santri dan tokoh masyarakat. Pada awalnya, pengajian tarikat ini berlangsung di Pondok Pesantren Hidayaturrahman Barabai. Setelah berlangsung 40 minggu (40 pertemuan), tempat pengajian dipindah ke Pondok Pesantren Rahmatul Ummah karena jumlah jamaah semakin banyak. Pengajian ini kemudian berubah namanya menjadi Nurul Muhibbin. Karena jumlah jamaah semakin membesar, ia bersama masyarakat kemudian membangun sebuah majelis taklim yang dapat menampung jamaah pengajian yang lebih besar. Lokasi pengajian baru meliputi pesantren, mushalla dan lapangan yang cukup luas dan dapat menampung ribuan jamaah. Dengan semakin membludaknya jamaah, maka tarikat Alawiyahpun semakin populer dan semakin banyak pula pengikutnya.
Popularitas Muhammad Bakhiet juga semakin meningkat seiring semakin meningkatnya jumlah jamaah yang menghadiri pengajiannya. Jamaah yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Hulu Sungai Tengah dan wilayah lain seperti Amuntai, Paringin, Tanjung, Kandangan, Rantau, Martapura, Banjarbaru dan Banjarmasin, tetapi ada juga yang datang dari wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Selain itu, faktor media juga turut meningkatkan popularitasnya. Ceramah-ceramah yang disampaikannya pada setiap pengajian direkam dan disebarkan dalam bentuk CD. Pengajiannya juga diliput dan ditayangkan oleh televisi lokal swasta di Banjarmasin. Ceramah-ceramahnya juga direkam, ditranskrip, diedit dan kemudian diterbitkan menjadi buku dan ada pula yang dipublikasikan dalam bentuk buletin. Buku dan buletin yang berasal dari ceramahnya ini juga menyebar luas di kalangan jamaah pengajian dan beberapa buku hasil ceramahnya dapat dijumpai di toko-toko buku. Kemudahan untuk mengakses pengajiannya semakin dipermudah dengan semakin banyaknya video ceramahnya yang diunggah di Youtube sehingga dapat disaksikan melalui smartphone di manapun dan kapanpun.
Ada empat tempat pengajian yang diasuh oleh Muhammad Bakhiet. Pertama, pengajian di Pondok Pesantren dan Majelis Taklim Nurul Muhibbin di Jl Ramli Barabai Darat. Dalam seminggu di tempat ini diadakan beberapa kali pengajian yang dihadiri ribuan jamaah. Pengajian kedua bertempat di Pondok Pesantren Nurul Muhibbin Ilung jl. Gerilya Kecamatan Batang Alai Utara (10 km dari kota Barabai). Pengajian ini dibuka pada tahun 2009. Pengajian ketiga bertempat di Majelis Taklim Nurul Muhibbin Desa Manduin Kabupaten Balangan (sekitar 20 km dari Barabai). Pengajian ini dibuka pada tahun 2011. Pengajian keempat bertempat di Masjid Bustanul Muhibbin di Jl. Trans Kalimantan Alalak Berangas Timur Kabupaten Barito Kuala. Tempat pengajian ini berbatasan dengan kota Banjarmasin sehingga warga Banjarmasin dapat dengan mudah mendatangi tempat ini untuk mengikuti pengajian. Pengajian di tempat ini diadakan dua minggu sekali pada hari Sabtu malam (malam Ahad) setelah salat Isya.
Kitab yang dipelajari adalah Mengenal al-Asma` al-Husna. Semua pengajian yang diasuh oleh Muhammad Bakhiet di keempat tempat ini selalu dihadiri ribuan jamaah. Selain di keempat tempat pengajian ini, ia juga mengadakan pengajian di beberapa tempat yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dan juga menyampaikan ceramah di beberapa tempat memenuhi undangan masyarakat. Belakangan cabang Pondok Pesantren juga berdiri di Kalimantan Timur, yakni di Kabupaten Paser. Pesantren ini dipimpin oleh adiknya, H. Abdussamad, namun pemimpin utamanya tetap Muhammad Bakhiet.
Ada beberapa kitab atau risalah yang disandarkan kepadanya sebagai pengarangnya meski namanya tidak tercantum pada risalah tersebut tetapi hanya mencantumkan nama Majelis Taklim Nurul Muhibbin. Kitab-kitab itu di antaranya adalah Kitâb al-Mahabbah min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Kitâb al-Tafakkur min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Kitâb Adab al-Kasb min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Kitâb al-Ikhlâsh, Kitâb al-Shalâh min Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn. Semua kitab ini merupakan terjemahan dari bagian-bagian kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali. Meski demikian adapula kitab atau risalah yang secara jelas mencantumkan namanya sebagai pengarang kitab tersebut, seperti Nûr al-Muhibbîn fî Tarjamah Tharîqah al-‘Arifîn min Sâdâtinâ al-‘Alawiyyîn dan Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ Jalan Menuju Ma’rifatullâh. Semua kitab ini dalam bentuk Arab-Melayu dan diterbitkan oleh Pondok Pesantren dan Majelis Taklim Nurul Muhibbin Barabai.
Pemikiran Muhammad Bakhiet sendiri tampaknya banyak dipengaruhi oleh Imam al-Ghazali. Penggunaan kitab-kitab al-Ghazali dalam pengajian seperti kitab-kitab terjemah yang disebutkan di atas ditambah beberapa kitab al-Ghazali yang digunakan dalam pengajian seperti Bidâyah al-Hidâyah dan Minhâj al-‘Abidîn mengindikasikan hal itu. Paparannya mengenai Asma Allah pada karyanya Mengenal al-Asmâ` al-Husnâ banyak mengutip pendapat Imam al-Ghazali.
Pengaruh kaum ‘Alawiyyîn (pemikiran haba`ib) juga terlihat cukup kentara. Ini dapat dilihat dari beberapa karya Haba`ib yang pernah digunakan dalam pengajian seperti Fath al-Qarîb karya Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid Abbas al-Mâlikiy, al-Manhaj al-Sawî Syarh Ushûl Tharîqah al-Sâdâh ‘Aliy Bâ’alawiy karya al-Habîb Zayn Ibrâhîm ibn Sumayth Bâ’alawiy al-Husayniy, dan Syarh ‘Ayniyyah karya al-Habîb al-‘Allâmah Ahmad ibn ‘Alawiy al-Hisysyi. Pengaruh kaum ‘Alawiyyn semakin kentara jika memperhatikan rutinitas pembacaan Râtib al-Haddâd, Burdah, dan Mawlid al-Habsyi sebelum pengajian dilakukan. Yang terpenting dari itu adalah faktor Tarikat Alawiyah yang diamalkan oleh Muhammad Bakhiet meneguhkan kuatnya pengaruh para Habaib pada dirinya.