Teman-teman, saya ingin bercerita tentang seorang marbut masjid asal Weru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun saat ini beliau tinggal di Blora, di tempat istrinya. Uniknya marbut masjid Al-Hadii ini bernama Timo, kalau saya memanggil Mas Timo. Beliau bukan anak pesantren, bukan pula mahasiswa, melainkan seorang pekerja serabutan. Kesehariannya mengangkat kelapa utuh dengan 40 biji pada setiap harinya.
Sepanjang hidupnya, ia habiskan untuk membersihkan masjid, kemudian ia tak lupa menunaikan kewajibannya sebagai seorang marbut, yakni mengumandakan adzan setiap harinya, kecuali subuh. Dan mengimaminya bila tidak ada yang mengimami sholat 5 waktu, tergantung situasi dan kondisi. Karena ia didampingi oleh Abdurrahman yang juga marbut masjid Al-Hadii. Anaknya berjumlah 3, laki-laki semua. Anak pertama seorang santri Manba’ul Sholihin daerah Malang.
Setiap kali ada acara keluarga, Mas Timo selalu menyempatkan diri untuk ikut acara, demi meninggalkan pekerjaannya sebagai pekerja serabutan dan marbut masjid Al-Hadii. Ia juga salah satu pelaku sejarah berdirinya Masjid Al-Hadii atas nama waqaf pihak keluarga saya.
Beliau pernah berkata “Niki mbiyen musholla mas, niki sampinge masjid kontrakan, dan kulo njeh iku andil dalam pembangunan niki”. Setelah beliau baru Abdurrahman seorang pengajar Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an dekat masjid Fatimah Surakarta. Keduannya juga saling membantu satu sama lain, mengisi kekurangan, dan saling berbenah diri. Abdurrahman selaku karib Mas Tino ini juga dimintai tolong oleh keluarga saya untuk mengurusi masjid Al-Hadii.
Jika Mas Abdurrahman berhalangan, Mas Timo selalu mengisi kekurangan. Begitu pun sebaliknya ketika Mas Timo berhalangan, Mas Abdurahman mengisi kekuarangan dengan mengantikan perannya. Saya begitu kagum keduannya yang telaten mengurus Masjid Al-Hadii dengan sepenuh hati. Mas Abdurrahman berusia 26 tahun, Mas Timo berusia 41 tahun. Terpaut jauh, tapi semangat mereka selalu menjunjung tinggi rasa kekompakkan satu sama lain.
Mas Timo mulai bekerja setelah sholat isya’ hingga menjelang subuh. Kalau Mas Abdurrahman mulai mengajar jam 2 siang hingga 4 sore. Apalagi di bulan Ramadan ini, mereka juga sama-sama bersinergi membantu satu sama lain.
Dengan diadakannya buka bersama dan sahur bersama, mas Timo tak segan-segan mengundang rekan kerjannya ikut meramaikan dan makan bersama. Bahkan ikut sholat maghrib dan sholat terawih, meskipun jama’ahnya paling banyak di sholat subuh. Saya begitu senang bisa banyak pengalaman dengan marbut masjid Al-Hadii dan masyarakat sekitar yang mayoritasnya adalah pedagang pasar Legi.
Selain itu, saya juga tak segan-segan bisa mengobrol banyak dengan mereka, walaupun usia saya terpaut jauh dengan mereka, karena saya sering mengunjungi waktu sholat jum’at dan jadwal kultum, imam ataupun jadwal kultum teman saya. Awalnya cuma membantu keuangan Masjid Al-Hadii, tapi sekarang saya dan marbut masjid sudah seperti keluarga sendiri. Jika saya datang, terkadang mereka menyuruh saya untuk adzan ataupun imam sholat. Itulah sosok Mas Timo seorang marbut Masjid Al-Hadii sekaligus pekerja serabutan. Semoga tetap istiqomah dalam merawat rumah Allah Swt dan bisa memberi banyak manfaat warga sekitar. Amin