Masyarakat Indonesia, utamanya Jawa begitu kental dengan tradisinya. Ketika berada di kandungan sampai kuburan manusia Jawa selalu mengadakan syukuran. Dari mitoni sampai mendak, menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Dari sekian banyak tradisi itu, mari kita melancong ke Desa Mantingan, Ngawi buat mengenal Jembulan.
Jembulan adalah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun. Secara fisik, Jembulan mirip tradisi Gunungan Apem di Surakarta. Tetapi, gunungannya terbuat dari pelepah pisang (debog) yang ditancapi sebilah bambu-bambu yang digantungi dengan beragam buah, sayuran, hasil bumi, maupun jajanan pasar tradisional yang berasal dari warga setempat. Jembulan ini dilaksanakan setahun sekali pada Jumat Pon.
Untuk mendapatkan penuturan yang lebih sahih, penulis sowan Mbah Yatman (sesepuh masyarakat Mantingan). Menurut beliau, ada tiga dimensi dalam memaknai Jembulan. Pertama, Jembulan adalah tradisi bersih desa—seperti lakon wayang Semar Mbangun Desa. Kedua, Jembulan dilaksanakan untuk memperingati suksesi panen para petani di penghujung musim kemarau (mangsa ketigo). Ketiga, Jembulan diadakan buat memperingati hari kelahiran (weton) sang pembabat alas (danyang/leluhur) desa Mantingan, yang bernama Bangun Pranoto.
Adapun makna lain dari Jembulan itu untuk mensyukuri hasil panen yang jembul-jembul (yaitu: hasil bumi berupa buah-buahan, sayuran, maupun jajanan tradisional pasar) itu kemudian dipajang di pelepah pisang guna disedekahkan dengan diambil ramai-ramai oleh masyarakat yang hadir ketika acara itu dilaksanakan. Konon, jembul-jembul itu akan mendapatkan berkah bagi kehidupan.
Di penuturan lain, penulis sowan lurah Desa Mantingan, Bapak Samsu, Jembulan dilaksanakan pada Jumat Pon pada bulan sebelum dan sesudah bulan Agustus. Lurah yang akrab disapa Mbah Lurah itu, menyatakan hari tersebut adalah hari di mana Desa Mantingan lahir atau mulai dibabat alas.
Mbah Lurah menambahkan bahwa ada tiga aspek dalam tradisi Jembulan ini. Pertama, Jembulan itu adalah wujud rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang melimpah-ruah. Selain itu, Jembulan adalah untuk menolak balak (sengkolo) dan berharap agar panen lebih baik. Yang kedua adalah untuk sedekah bumi. Masyarakat merasa berterima kasih kepada alam akan penghidupannya, sehingga Jembulan ini adalah ungkapan terima kasih kepada ibu pertiwi. Ketiga, Jembulan sebagai panggung silaturahmi yang dengan itu masyarakat bisa mempertahankan etika, sopan santun, dan gotong royong.
“Juga, perlu diketahui. sebelum dilaksanakan Jembulan, ada Nyadran yang dilaksanakan sehari sebelumnya di punden, maupun kuburan. Nah, dalam Nyadran itu kita memanjatkan doa teruntuk ahli kubur dan leluhur desa. Setelah doa selesai, masyarakat memberikan guwakan. Guwakan itu wujudnya nasi berkat yang menunya ada ayam Jawa, sayur kentang, dan lainnya yang dalam artian untuk memberikan rasa syukur dan rasa terima kasih kepada bumi pertiwi. Setelah Jembulan selesai, dilanjutkan dengan pentas Reog. Jadi itu sudah paket. Kamis Pahing Nyadran, lalu Jumat Ponnya Jembulan sekaligus Reog-an,” imbuh Mbah Lurah.
Dari kedua penuturan di atas, kita mengerti dan kiranya sangat menarik mengulik tradisi Jembulan ini. Jembulan sebagai representasi masyarakat Islam Jawa yang gemar bersyukur dan tasyakuran—makan-makan, juga mendoakan kerabat dan leluhur yang sudah meninggal. Begitulah tradisi di negeri ini. Sangat kaya dan majemuk tradisinya.
Dengan tradisi, masyarakat akan tumbuh ideal dengan mengidealisasi nilai-nilai tradisi itu. Karenanya, kita membaca esai gubahan Gus Dur, yang bertajuk Nilai-Nilai Indonesia Apakah Keberadaannya Kini? dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 2010) yang mengajak kita untuk mengidealisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Bahwa, mengidealisasi nilai-nilai luhur bangsa dan diagungkan oleh seluruh manusia Indonesia dapat membimbing bangsa ini kepada kejayaan kemerdekaan, dan mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip hidup semacam sepi ing pamrih rame ing gawe menjadikan bangsa Indonesia pencinta damai, sopan kepada orang lain tanpa menyerahkan diri kepada akibat koruptif dari modernitas, dan sabar tetapi tekun membangun masyarakat yang adil bagi masa depan.
Agenda tadi membutuhkan proses yang berurutan dan dinamis. Membangun jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama. Dengan demikian, tercipta gugusan nilai-nilai Indonesia berupa rasa solidaritas yang didasarkan pada nasionalisme; menampilkan nilai-nilai kosmopolit yang diimbangi rasa keagamaan yang kuat, dan mempertahankan keutuhan diri di masa perubahan yang cepat dan sangat dramatis. Itulah praktik moderasi beragama warga nusantara yang lahir dari tradisi.
Prof. Nurcholis Madjid dalam Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Paramadina dan Dian Rakyat, 2008), menyebutkan bahwa kemajuan dan kemunduran suatu bangsa ditentukan oleh kejiwaan masyarakat. Sikap kejiwaan itu berada dalam bingkai budaya yang tampil secara nyata melalui masyarakat dalam bentuk etos kerja dan cara berpikir mereka.
Berjalannya tradisi di masyarakat amat penting, karena ketulusan dan kesungguhan masyarakat memerlukan rasa keabsahan dan keotentikan. Rasa itu bisa kita dapat dari adanya jalinan hubungan dengan sakralitas tradisi leluhur di masa lalu sebagai pemantapan jati diri bangsa.
Dalam buku Moderasi Beragama (2019) dijelaskan, bahwa Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat istiadat lokal. Sebab itu, warga Indonesia memiliki karakter yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia.
Karenanya, modernitas masyarakat tetap berjalan tanpa memalingkan tradisi-tradisi luhur yang sudah terbelakang. Ihwal ini senada dengan rumus Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Dari tradisi Jembulan yang sederhana tadi, kita jadi mengerti nguri-nguri dan guyub rukun melu handarbeni kebudayaan itu amat penting. Tradisi-tradisi seperti itulah yang harus kita rawat dan kita jaga bersama.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.