Tidak ada terminologi paling kontroversial selain wahdat al-wujud sepanjang sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Kecaman demi kecaman oleh para ulama yang menentang doktrin ini, datang bertubi-tubi ditujukan langsung kepada mereka para sufi, maupun kepada karya-karyanya. Sementara bagi yang pro, mencoba untuk menelusuri, klarifikasi seraya hendak membuktikan, benarkah konsep wahdat al-wujud seburuk citra yang dibangun oleh sebagian ulama?
Sungguh tidaklah mudah memahami, apalagi mengimplementasikan konsep yang umumnya dikenal dalam kajian tasawuf tersebut. Alih-alih mempelajari, sekadar berniat membuka lembaran-lembaran “kumel” dan lapuk pada kitab klasik ajaran kaum sufi yang membahas konsep wahdat al-wujud secara eksplisit maupun implisit saja, banyak para ulama, fuqaha’, termasuk juga teolog, telah lebih dulu memasang peringatan keras: “ini daerah atau kawasan berbahaya!”.
Ada semacam kekhawatiran—untuk tidak mengatakan “ketakutan”—sebagian agamawan kita dalam memperkenalkan paham wahdat al-wujud kepada masyarakat, baik di lingkungan pendidikan agama, seperti pesantren, maupuan di halaqah atau pertemuan-pertemuan keagamaan yang lazim terselenggara atas jalinan baik seorang kiai/ustadz dengan jema’ahnya. Kalaupun tersampaikan, yang terjadi malah pendistorsian besar-besaran terhadap paham itu. Tidak ada sedikitpun kebaikan, yang ada sebaliknya, wahdat al-wujud sepenuhnya buruk, bahaya, maka perlu dihindari. Benarkah demikian? Bagaimana sebenarnya konsep wahdat al-wujud?
Banyak orang beranggapan kalau doktrin wahdat al-wujud berasal dari atau diciptakan oleh tokoh sufi kontroversial dari Andalusia, Ibn ‘Arabi. Pendapat ini terus bertahan lama, bahkan mungkin hingga saat sekarang. Namun belakangan tersiar kabar, bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, seperti William C. Chittick, peneliti yang sangat intens mengkaji karya-karya Ibn ‘Arabi, ternyata tidak pernah ditemukan istilah teknis wahdat al-wujud dalam karya sufi yang dijuluki syaikh akbar itu. Lalu siapakah dan dari manakah istilah tersebut berasal?
Menurut Kautsar Azhari Noer (1995), meskipun doktrin wahdat al-wujud dihubungakan dengan Ibn ‘Arabi, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengannya telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn ‘Arabi. Ma’ruf al-Karkhi (200/815), seorang sufi terkenal di Banghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn ‘Arabi, dianggap pertama kali mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Abu Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10) mengungkapkan kata-kata senada: “Tiada sesuatu pun dalam dua dunia kecuali Tuhaku. Segala sesuatu yang ada (maujudat), segala sesuatu selain wujud-Nya, adalah tiada (ma’dum)”.
Khwaja ‘Abdallah Ansari (481/1089) menyatakan bahwa “tawhid orang-orang terpilih” adalah doktrin “Tiada sesuatu pun selain Dia (laysa ghayrahu ahad)”. Jika ia diajukan pertanyaan: “Apa tawhid itu?”, ia menjawab: “Tuhan, dan tidak ada yang lain: Yang lain adalah kebodohan (hawas)”. Selain itu, lanjut Kautsar, sufi lain sebelum Ibn ‘Arabi yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdat al-wujud ialah Abu Hamid al-Ghazali (505/1111) dalam Misykat al-Anwar dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, termasuk juga saudaranya Ahmad al-Ghazali (520/1126) dan ‘Ayn al-Qudat Hamadani (526/1132).
Dari sana, tampaklah jelas kalau Ibn ‘Arabi bukan pencetus pertama atas penggunaan istilah wahdat al-wujud. Ia mungkin dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-wujud lantaran ajaran-ajarannya memang mengandung ide dan konsep wahdat al-wujud. Misalnya, di dalam lembaran karya monumentalnya, Futuhat al-Makkiyah dikatakan: “Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq, dan Dia adalah satu”; “Wujud bukan lain dari al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia”; “Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka”.
Dalam tulisannya yang lain, Risalah fi al-Walayah, Ibn ‘Arabi menurut Claude Addas (1989), menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan sejumlah ungkapan yang rentan disalahpahami pembaca, seperti “qala li al-haqq” (Allah berkata kepadaku), “qultu lahu” (aku berkata kepada-Nya), atau “asyhadani al-haqq” (Allah menjadi saksi atasku). Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan memadai, bahwa dalam mengungkapkan dirinya dengan cara ini, ia hanya mengikuti para pendahulunya seperti penulis Kitab al-Mawaqif, al-Niffari (354/965).
Membaca risalah al-Niffari itu sungguh membuat jantung berdetak kencang, karena dalam setiap bait tulisannya diikuti oleh ungkapan-ungkapan tersebut di atas, layaknya hadis qudsi, firman Tuhan yang dilembagakan dalam sebuah hadis shahih. Di samping itu, dengan mengikuti para pendahulunya, semakin menguatkan anggapan bahwa Ibn ‘Arabi memang bukan peletak dasar ide wahdat al-wujud.
Yang mengherankan, jikalau banyak orang beranggapan wahdat al-wujud sebagai puncak pengalaman mistik bagi seorang sufi, tapi dalam pandangan Farghani, adalah taraf terendah di antara tiga taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh salik (pejalan spiritual). Kontemplasi tentang katsar al-‘ilm adalah taraf kedua. Pemaduan wahdat al-wujud dan katsar al-‘ilm adalah taraf tertinggi (Noer, 1995).
Penggunaan konsep atau istilah wahdat al-wujud secara teknis sebenarnya dipopulerkan oleh murid dan generasi setelah Ibn ‘Arabi. Sadr al-Din al-Qunawi (673/1274), Mu’ayyid al-Din Jandi (690/1291), Said al-Din Farghani (700/1301), Ibn Sabi’in, Awhad al-Din Balyani (686/1288) adalah tokoh-tokoh penting yang menyebarkan pemikiran Ibn ‘Arabi dan menyebarkan paham wahdat al-wujud-nya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Wahdatul Wujud malah dipopulerkan oleh pengecamnya yang paling keras, Taqiuddin Ibni Taimiyah (728/1328). Ibnu Tamiyah menerapkan Wahdatul Wujud untuk menujukkan istilah lain terhadap kedudukan kaum penganut ittihad (penyatuan). Bahkan, dua karyanya diberi judul yang langsung “tunjung hidung”: Ibtal wahdat al-wujud dan Risalah ila man sa’alahu ‘an haqiqat madzhab al-ittihadiyyah ay al-qa’ilin bi-wahdat al-wujud. Ibn Taymiyyah menyamakan wahdat al-wujud dengan istilah ittihad, hulul (inkarnasionisme), dan dianggap bid’ah (kesesatan yang mengada-ada dalam agama).
Di salah satu karyanya yang banyak dibaca orang, Majmu’at al-Rasa’il wa al-Masa’il, Ibn Taymiyyah menarik kesimpulan tegas kalau wahdat al-wujud adalah penyamaan antara Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “panteisme”. Kata Ibn Taymiyyah: “Orang-orang yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Sang Pencipta adalah sama dengan wujud kemungkinan yang dimiliki makhluk”.
Menurut penilaian Kautsar, pandangan Ibn Taymiyyah tersebut sebenarnya jauh dari apa yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi sebagai penganut ajaran wahdat al-wujud. Ibn Taymiyyah melihat hanya aspek tasybih (ketakdapatdibandingkan) dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Ia tidak melihat pada aspek tanzih (kemiripan) dalam ajaran yang sama. Padahal kedua aspek ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn ‘Arabi, sebagaimana konsep al-batin (Yang Tak Tampak) dan al-dzahir (Yang Tampak).
Karena itu, Ibn Taymiyyah-lah yang menjadi “biang keladi” rusaknya konsep wahdat al-wujud. Tidak hanya terhadap bangunan struktur pemikiran Ibn ‘Arabi, Ibn Taymiyyah juga menyerang kaum sufi lain yang gagasan-gagasannya sejalan dengan Ibn ‘Arabi, seperti al-Hallaj dengan ungkapannya yang terkenal “Ana al-Haqq”. Entah suatu kebetulan atau memang merupakan “karma”, Ibn Taymiyyah menurut sumber tertentu dikatakan, saat sekarat menjemputnya, ia sempat mengungkapkan kata-kata yang sama dengan ungkapan al-Hallaj, Ana al-Haqq (Yunasril Ali, 2002). Mungkin hanya Tuhanlah yang tahu maksud yang sebenarnya.
Ibn ‘Arabi berulangkali mengatakan dan meyakinkan bahwa satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara logis dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (ma siwa Allah), alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun demikian, Ibn ‘Arabi memakai pula kata wujud untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia menggunakannya dalam pengertian metaforis (majaz) agar tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya (selain diri-Nya).
Maka tak heran, doktrin yang begitu memukau tersebut bila salah dipahami oleh masyarakat awam akan menimbulkan gejolak dan keresahan, seperti yang terjadi pada Syekh Siti Jenar. Sebagaimna jamak diketahui, Jenar pada masanya sempat menggerkan kerajaan Islam Demak lewat ungkapannya yang terkenal: “Manuggaling kaula lan Gusti”, yang pada akhirnya dihukum pancung oleh Wali Sanga.
Jadi, sampai di sini, wahdatul wujud dapat dikatakan sebagai bentuk pendekatan kaum sufi dalam mengekspresikan tauhid kepada Sang Khaliq. Belajar dari pandangan Ibn ‘Arabi, kita semua dalam istilahnya merupakan “Huwa la Huwa” (Dia tapi bukan Dia). Tuhan memanifestasikan Dirinya dalam bentuk-bentuk yang berupa Dia dan sekaligus berbeda dengan Dia, karena Dia terbatasi namun tanpa batas, kasat mata yang tak terlihat.
Dari sanalah, mestinya kita berbangga hati, karena lewat ajaran itu, sungguh mengangkat sekaligus memuliakan derajat manusia sebagai “titisan-Nya”. Ya, makna Huwa la Huwa adalah kita adalah Tuhan, tapi bukan yang sebenarnya Tuhan. Segala kemuliaan-Nya ada dalam diri setiap manusia. Pikirkanlah!