Sedang Membaca
“Manzhûmah al-‘Athâriyyah”: Terjemah Sunda Pegon atas Karya Grand Syaikh al-Azhar ke-XVI

Dosen di UNU Jakarta. Selain itu, menulis buku dan menerjemah

“Manzhûmah al-‘Athâriyyah”: Terjemah Sunda Pegon atas Karya Grand Syaikh al-Azhar ke-XVI

Fb Img 1580260418150

Berikut ini adalah kitab berjudul “Manzhûmah al-‘Athâriyyah” karya KH. Asep Muhammad Ma’mun bin KH. Hidayatullah Syathibi dari Pesantren Picung, Cianjur, Jawa Barat.

Kitab ini merupakan terjemahan versi bahasa Sunda Pegon atas teks nazham (puisi) ilmu tata bahasa Arab (nahwu) yang berjudul “Manzhûmah al-Syaikh Hasan al-‘Athâr fî al-Nahw” karya seorang ulama besar Mesir yang hidup di abad ke-XIX sekaligus Grand Syaikh al-Azhar Mesir yang ke-XVI, yaitu Syaikh Hasan b. Muhammad al-‘Athâr (w. 1250 H/ 1835 M).

Tidak ada informasi kapan versi terjemah Sunda Pegon ini diselesaikan. Jumlah keseluruhan naskah versi terjemah ini adalah 10 (sepuluh) halaman ditambah sampul. Saya mendapatkan naskah kitab ini saat menziarahi makam KH. Syathibi Gentur bersama rombongan anjangsana dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta ke psantren-pesantren Sunda pertengahan Januari lalu.

Keberadaan versi terjemah bahasa Sunda Pegon karya KH. Asep Muhammad Ma’mun Picung Cianjur ini memiliki nilai penting tersendiri. Hal ini karena dalam kajian ilmu tata bahasa Arab klasikal di Nusantara, keberadaan teks puisi Syaikh Hasan al-‘Athâr ini terbilang langka dipergunakan sebagai bahan ajar, termasuk langka disyarah dan diterjemahkan oleh para ulama Nusantara. Di Nusantara, kitab-kitab yang populer dijadikan referensi utama kajian tata bahasa Arab klasikal adalah “al-Âjurûmiyyah”, “al-‘Imrîthî”, “Mutammimah”, ‘Awâmil al-Jurjânî”, hingga “Alfiyyah Ibn Mâlik”.

Selain itu, tidak seperti kebanyakan para ulama tata bahasa Arab yang ketika mengarang karya puisi mereka dengan menggunakan metrum (bahr) “rajaz”, jenis metrum yang lazim dipakai, Syaikh Hasan al-‘Athâr ini justru menggunakan jenis metrum “thawil”.

Syaikh Hasan al-‘Athâr menulis dalam tiga bait pertama, yang kemudian diterjemahkan oleh KH. Asep Muhammad Ma’mun sebagai berikut:

Baca juga:  Kisah dari Masjid Syekh Hasan Sulaiman

بحمدك يا مولاي أبدأ في أمري # ومنك أروم العون في كل ذي عسر
(عبدي موجي كا الله تكوة فامقصدان # سرغ ندا فتولوغ دي سبن كريفوتن)
ومنك صلاة وسلام على النبي # وآل وصحب ما شدا في ربا قمري
(كاولس كستي سغ دوام كجغجونن # سلاكي دسرادا منوك دفكونوغن)
وبعد فعلم النجو لا شك واجب # لطالب علم الشرع يقفوه ذو حجر)
واجب غاجي علم نحو بوات غايهوكن # أتوران علم شرع كا اوراغ دواجبكن)

(Abdi muji ka Alloh ti kawit pamaksadan # sareng neda pitulung di saban karepotan
Kawelas Gusti mugi sing dawam ka jungjunan # salagi disarada manuk di pagunungan
Wajib ngaji elmu nahwu buat nganyahokeun # aturan elmu syara’ ka urang diwajibkeun)

[Saya memuji kepada Allah dari sebermula niatan # seraya meminta pertolongan dalam setiap keseusahan
Kasih Allah semoga senantiasa teruntuk jungjungan # selagi burung-burung berkicauan di pegunungan
Wajib mempelajari ilmu nahwu untuk mengetahui # aturan syari’at yang kepada kita Allah amanati]

Dikisahkan, bahwa Syaikh Hasan al-‘Athâr berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya, Muhammad al-‘Athâr, berasal dari Maroko yang kemudian mengadu nasib berhijrah ke kota Kairo di Mesir dengan berjualan minyak wangi. Saat datang ke Kairo, Muhammad al-‘Athâr datang dengan membawa anaknya yang masih kecil, yaitu Hasan. Hasan pulalah yang setia menemani sang ayah berjualan minyak wangi. Karena itu jugalah di belakang namanya tersemat julukan “al-‘Athâr”, yang berarti “tukang minyak wangi”.

Meski demikian, Hasan kecil telah memiliki semangat belajar yang tinggi, kecenderungan yang besar terhadap ilmu pengetahuan, serta kecintaan kepada para ahli ilmu. Di sela-sela ia menemani ayahnya berjualan minyak wangi, Hasan rajin mengaji di Masjid al-Azhar dan belajar kepada para ulama besar di institusi legendaris itu. Sehingga, ketika masih berusia muda, Hasan sudah menunjukkan kecerdasan dan bakat ilmiahnya.

Baca juga:  Shulhul Jama'atain: Bantahan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau untuk Sayyid Utsman Batavia (1893)

Salah satu bakat ilmiah Syaikh Hasan al-‘Athâr muda itu tampak dalam kitabnya yang kita bicarakan ini, yaitu “Manzhûmah Hasan al-‘Athâr fî al-Nahw”, yang dibuatnya hanya dalam waktu dua hari, saat beliau masih berusia dua puluh tahun, serta dalam kondisi kehidupan yang terbilang sengsara.

Dalam titimangsa, Syaikh Hasan al-‘Athâr menginformasikan jika karyanya ini diselesaikan pada bulan Dzulqa’dah (KH. Asep Muhammad Ma’mun menerjemahkannya dengan bulan “Hapit”) tahun 1202 Hijri. Tertulis di sana:

وتم بحمد الله ما قد عنيتُه # بنظم يضاهي حسنه بهجة الزهر
(اي نظم كس اغكس بري موجي كا الله # نظمن انو سائي جرا كمبغ دهليه)
وألف في يومين عام الذي له # غرب جاء تاريخا بشهر أحد عشر
(دسوسن اي نظم د زمان دوا فووي # دينا بولن حفت تؤن غرب اغكس سلسي)

(Ieu nadom geus anggeus muji ka Alloh # nadoman anu sae cara kembang dahlia
Disusun ieu nadom di jaman dua poe # bulan Hapit taun Gh-R-B [1202 Hijri] anggeus salse)
#
Dengan memuji kepada Allah telah selesailah apa yang kuusahakan # dalam menazhomkan kitab yang keelokannya seumpama kembang zaman
Dikarang dalam tempo dua hari pada tahun # Gh-R-B [1202 Hijri] pada bulan ke-sebelas [Dzulqa’dah])

Atas berkah ilmu pengetahuan, ketekunan dalam “ngangsu kaweruh”, serta restu guru-gurunya para ulama besar al-Azhar itulah, di kemudian hari Syaikh Hasan al-‘Athâr pun dapat menjadi seorang ulama besar juga, bahkan ditahbiskan menjadi Grand Syaikh al-Azhar yang ke-XVI. Jabatan prestisius sekaligus sakral ini diemban oleh beliau selama empat tahun lamanya, yaitu sejak 1246 H hingga 1250 H (1831-1835 M).

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (6): Ulama Sumbawa dan Upaya Rekonstruksi Sejarah Kesultanan Islam Sumbawa

Syaikh Hasan al-‘Athâr meninggalkan banyak karangan, yang mayoritas berupa nazham dan hâsyiah (kitab ulasan panjang), di antaranya adalah Hâsyiah al-‘Athâr ‘alâ al-Samarqandiyyah (ilmu balaghah), Hâsyiah al-Athâr ‘alâ Syarh Îsâghûjî (ilmu logika), Hâsyiah al-‘Athâr ‘alâ Syarh al-Azhariyyah ‘alâ Matn al-Âjurûmiyyah (ilmu nahwu), al-Fawâ’id al-Jaliyyah fî Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, dan lain-lain.

Secara sanad keilmuan dan jaringan intelektual, sosok Syaikh Hasan al-‘Athâr tersambung dengan para ulama Nusantara yang hidup di kurun masa abad ke-XVIII-XIX M. Di antara guru beliau adalah Muhammad al-Amîr, Syaikh ‘Abdullâh al-Syarqâwî, Syaikh Murthadhâ al-Zabîdî, Syaikh Sulaimân al-Kurdî, dan lain-lain. Para ulama tersebut adalah guru utama dari para ulama Nusantara generasi Syaikh Abdul Shamad Palembang, Syaikh Arsyad Banjar, Syaikh Dawud Pattani, Syaikh Ismail Minangkabau, Syaikh Abdul Ghani Bima, dan lain-lain.

Syaikh Hasan al-‘Athâr juga satu masa dengan Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûrî, ulama besar Mesir sekaligus Grand Syaikh al-Azhar ke-XIX (w. 1276 H/ 1860 M) yang juga menulis banyak kitab. Al-Bâjûrî tercatat sebagai guru sebagian besar ulama Nusantara yang disebutkan di atas, sekaligus guru dari Syaikh Abdul Mannan Dipomenggolo Tremas (kakek Syaikh Mahfuzh Tremas), Syaikh Nawawi Banten, termasuk guru dari dua ulama besar Sunda yaitu KH. Shoheh Bunikasih (Cianjur) dan KH. Adzro’i Bojong (Garut). KH. Shoheh Bunikasih (Cianjur) adalah salah satu guru utama dari KH. Syathibi Gentur (Cianjur), yang tak lain adalah kakek dari KH. Asep Muhammad Ma’mun Picung (Cianjur). (RM)

Wallahu A’lam
Bogor Jumadil Akhir 1441 H/ Januari 2020 M
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top