Nama sekaliber Abu Hamid Al-Ghazali tak ayal merupakan ulama multidisipliner yang jenius dan sangat produktif. Nyata saja, karya beliau berserak menghiasi peradaban intelektual muslim bahkan mampu menarik perhatian para cerdik cendekia seluruh dunia dalam berbagai bidang keilmuan.
Sebut saja salah satunya Philip K Hitti—orientalis yang menyebut Al-Ghazali sebagai pemikir Muslim paling agung dan orisinal dalam sejarah intelektual Islam. Bahkan digadang-gadang penyempurna paham Asy’ariah yang menjadi ajaran Sunni kemudian hingga saat ini.
Keagungannya juga bias dilihat dari karya Al-Ghazali yang bertebaran. Sebut saja bidang filsafat, karya Al-Ghazali yang masyhur diantaranya Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah; pada ranah akhlak dan tasawuf beberapa karyanya yang sering dipelajari dari mulai kitab ‘tipis’ Ayyuhal Walad, Bidayat al-Hidayah, Mizan al-‘Amal, hingga kitab monumental berjilid Ihya Ulumuddin dan masih banyak judul lain di bidang ini.
Bidang tata negara dan politik Al-Ghazali pun tak luput menuangkan gagasannya seperti pada kitab Nashihat al-Muluk, Mustazhiri, maupun Suluk al-Sulthan. Bahkan fiqh dan ushul fiqh dikenal pula buah tangannya dianaranya Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul dan Al-Wajiz al-Furu’; hingga bidang tafsir seperti Dzhawahir al-Quran dan Misykat al-Anwar—serta masih banyak yang lain, sebut saja Kimiyai Sa’adah, juga Faishal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah.
Namun, biasanya ‘sebagian’ sarjana muslim, bahkan kalangan kaum santri ‘tidak’ atau ‘kurang’ utuh mengkualifikasikan sosok Al-Ghazali terhadap karya intelektualnya dari dua posisi yang berbeda. Sebab, perjalanan Al-Ghazali menghadirkan sosok yang berjalan dari seorang intelektual filsuf menjadi seorang sufi.
Sebut saja selama di Baghdad, Al-Ghazali banyak menulis karya-karya ntelektual di bidang fiqh, filsafat dan ilmu kalam. Salah satu karya monumentalnya adalah tahafut al-falasifah (kerancuan para filsuf) yang mengkritik para filsuf muslim dahulu, seperti al-Kindi, Al-Farabi, ibn Sina,
Juga kitab Ihya Ulumuddin yang berbeda drastis dengan Misykat al-Anwar. Sebab kitab Ihya Ulumuddin ditulis Al-Ghazali sebelum ia melakukan uzlah, dan kajiannya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat umum untuk petunjuk praktis kehidupan beragama. Sementara Misykat al-Anwar dikarang Al-Ghazali pasca uzlah dan bernuansa sangat sufistik dan filosofis sehingga kitab Misykat al-Anwar diperuntukkan bagi mereka yang hendak meraih hakikat kebenaran (ma’rifatullah).
Cahaya di Atas Cahaya
Karya Misykat al-Anwar Al-Ghazali selain memang fenomenal juga radikal dibanding karya apik Al-Ghazali lainnya—walaupun memang tidak sepopuler Ihya ‘Ulumuddin. Misykat al-Anwar selain menjadi kitab tafsir tematik Al-Ghazali atas ayat 35 surat Al-Nur yang dikenal “Ayat Cahaya,” kitab ini diyakini sebagai satu-satunya karya Al-Ghazali yang memperlihatkan sisi esoterik sekaligus muara lahirnya epistemologi Islam: ilmu yang mengajarkan metode mencapai kebenaran pengetahuan.
Misykat bermakna ceruk atau relung, sedangkan al-Anwar adalah bentuk plural dari cahaya (nur). Kitab ini merujuk pada penafsiran atas ayat al-Quran yang berbicara tentang Nur (Cahaya) seperti Allah Nuur al-Samaawaati wa al-Ardh (Allah merupakan cahaya langit dan bumi), juga hadis yang menyatakan bahwa ada 70 tirai, yang masing-masing tirai memiliki cahaya dan kegelapan. Jika seluruh tirai itu tersingkap, keagungan Tuhan akan tampak jelas terlihat.
Pada bahasan kitab Misykat al-Anwar proyeksi awal sesungguhnya Al-Ghazali adalah bertutur pada muridnya yang bertanya tentang hakikat Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi. Karena objek yang ingin dijelaskan bernuansa metafisika, akhirnya Al-Ghazali mengutip ayat 35 surat An-Nur. Untuk kemudian diterangkan dengan epik: ‘Filsafat Cahaya.’
Menurut Al-Ghazali, kebenaran sesungguhnya ‘hanya’ mampu diraih dalam Nur Ilahi. Atau dalam tafsirnya Al-Ghazali menjelaskan bahwa cahaya hakiki adalah Allah, dan cahaya selain-Nya hanya metafor (majazi) dan tidak hakiki.
Oleh karenanya Al-Ghazali menuturkan bahwa selain indera mata, keberadaan benda sangat ditentukan cahaya. Oleh karenanya tanpa cahaya maka benda tidak akan pernah ada. Cahaya—lah yang sebenarnya membuat semuanya tampak dan terjadi, dam cahaya yang memanifestasikan benda sekitar. Singkatnya Al-Dzhuhur hanya dimungkinkan karena adanya Al-Nuur.
Bagi Al-Ghazali, cahaya memiliki tingkatan sesuai persepsi orang yang memahaminya. Lebih lanjut dalam kitabnya dalam memaknai cahaya dikelompokkan dengan tiga tahapan—diantaranya pandangan cahaya menurut kaum awam (umum), khawas (khusus), dan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus), yang masing-masing tingkatannya dijelaskan Al-Ghazali secara rinci.
Selanjutnya Al-Ghazali mengklasifikasi dua jenis mata untuk melihat, Pertama: mata indrawi, Kedua: mata ruhani. Mata indrawi memiliki berbagai keterbatasan. Sedangkan, objek mata ruhani tak terbatas.
Sehingga cahaya yang dipantulkan mata ruhani bisa menjadi sumber cahaya. Dalam konteks ini, Al-Ghazali ingin menyatakan bahwa cahaya sejati adalah cahaya Ilahi. Semua cahaya ada karena cahaya mutlak. Allah adalah cahaya mutlak itu atau dengan bahasa lain: Nur fauqa Nur (cahaya di atas cahaya).
Tawaran Metode Epistemologi Islam
Setidaknya dari Misykat al-Anwar Al-Ghazali memberikan tawaran alternatif bagi para filsuf Yunani untuk meraih kebenaran. Pun bagi filsuf modern yang juga kebuntuan soal objek kebenaran pengetahuan. Paradigma berpikir filsuf biasanya sebatas upaya melihat objek sejauh didefinisikan oleh subjek. Salah satunya Imanuel Kant dengan konsep noumena atau das ding an sich (ada pada dirinya) yang tidak mampu menjangkau subjek.
Barulah Edmund Husserl dan Martin Heidegger muncul dan menganjurkan menyingkap tabir hakikat eksistensial—objek berbicara atas diri objek itu sendiri. Padahal, jauh sebelum keduanya, Al-Ghazali telah merumuskan konsep filsafat cahaya. Penampakan objek pada subjek berwujud sebab unsur lain, yakni ‘Cahaya.’ Seperti yang tertuang dalam Surat An-Nur ayat 35
Buah pikir Al-Ghazali tentang pengetahuan Nur Ilahi yang menjadi sumber pengetahuan hakiki dalam Misykat al-Anwar ini kemudian dijabarkan secara apik oleh Suhrawardi pencetus filsafat isyraqiyah (Illumination). Pemikiran Suhrawardi ini yang kemudian dikenal para cendekiawan muslim sebagai pencetus epistemologi islam. Sebuah upaya sintesa pendekatan epistemologi Islam yang out of the box.
Dengan kata lain Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar sebenarnya perintis teori filsafat illumination (filsafat cahaya) sebelum Suhrawardi menelurkan teori filsafat isyraqiyyah. Sehingga, sangat tidak benar jika ada yang beranggapan Al-Ghazali menjadi salah satu penghambat filsafat berkembang di dunia Islam. [ ]