Sedang Membaca
Sabilus Salikin (56): Melanggengkan Zikir, Pikir, dan Wirid
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (56): Melanggengkan Zikir, Pikir, dan Wirid

Ilustrasi Dzikir

 

Tarekat Ghazâliyah memiliki perhatian besar terhadap zikir, fikir dan wirid. Dengan zikir terus-menerus akan melahirkan Rasa cinta (mahabbah), dan dengan fikir yang tidak terpurus akan mencapai ma’rifat.

Tarekat Ghazâliyah berusaha mengantarkan murid menuju ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT selama di dunia. Seorang hamba jika telah mencintai Allah SWT selama di dunia, dia akan meninggalkan dunia ini dengan kecintaannya kepada-Nya. Demikian pula jika telah mencapai ma’rifat  kepada Allah SWT di dunia, ia akan mati dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya.

Jika seorang hamba mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah SWT, jalan untuk menuju pertemuan dengan Allah SWT di akhirat akan terhampar di hadapannya. Jika telah bertemu Allah SWT di akhirat, maka ia telah selamat.

Al-Ghazâli berkata: “Tidak ada keberuntungan selain bertemu kepada Allah SWT Dan tidak ada jalan untuk bertemu dengan-Nya, kecuali mati dalam keadaan ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Mahabbah tidak akan tercapai tanpa membiasakan zikir kepada kekasih. Dan ma’rifat kepada-Nya tidak akan tercapai tanpa berfikir tentang sifat-sifat-Nya. Tidak ada eksistensi selain Allah SWT dan perbuatan-Nya.

Tidak mudah untuk dapat berzikir dan berfikir sebelum meninggalkan hal-hal keduniaan, kecuali sebatas keperluan dharuratnya. Semua itu tidak akan tercapai secara sempurna tanpa menyita waktu siang-malam dengan kegiatan zikir dan fikir.

Baca juga:  Serat Tuhfah: Tembang Manunggaling Kawula Gusti di Jawa

Dengan dasar ini al-Ghazâli menyusun wirid-wirid untuk siang dan malam yang bertujuan mensucikan hati, membersihkan dan menghiasinya dengan zikir kepada Allah SWT dan perasaan dekat kepada-Nya.

Di samping kumpulan wirid yang disusunnya,  al-Ghazâli juga membuat rincian untuk wirid-wirid siang maupun malam.

Wirid siang ia rinci menjadi tujuh dalam empat waktu:

  1. Satu wirid antara waktu shubuh hingga terbit matahari.
  2. Dua wirid antara waktu terbit hingga tengah hari.
  3. Dua wirid antara tengah hari dan waktu `ashar.
  4. Dua wirid antara `ashar dan maghrib.

Wirid malam, yang terinci menjadi lima dan terbagi dalam lima waktu:

  1. Satu wirid dari terbenam matahari sampai hilang mega merah.
  2. Satu wirid dari waktu `Isyâ’ sampai menjelang waktu tidur masyarakat.
  3. Satu wirid di waktu tidur.
  4. Satu wirid selepas tengah malam hingga menjelang seperenam akhir malam.
  5. Satu wirid dalam seperenam akhir malam (waktu sahur).

Selain wirid-wirid yang terbagi secara terperinci itu, al-Ghazâli memposisikan fikir sebagai ibadah yang harus dijalankan murid sebagaimana ibadah-ibadah lain. Jadi, dalam fikir terkandung makna zikir kepada Allah SWT dengan dua kelebihan: Pertama, kelebihan dalam ma’rifat, karena fikir merupakan kunci menuju ma’rifat dan pembuka al-kasyf. Kedua, kelebihan dalam mahabbah, di mana hati tidak akan merasa cinta sebelum meyakini kebesaran-Nya. Sementara keagungan-Nya tidak akan terbaca sebelum mengetahui sifat-sifat-Nya, kekuasaan-Nya dan keajaiban ciptaan-Nya. Jadi, dari fikir tercapai ma’rifat, dan ma’rifat muncul rasa kagum (pengagungan) dan dari rasa kagum tumbuh rasa cinta.

Baca juga:  Hilmar Farid: Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Belum Terbit

Dikatakan bahwa zikir juga dapat menumbahkan rasa senang (al-‘uns), yang merupakan bagian dari mahabbah. Akan tetapi, rasa cinta yang lahir melalui ma’rifat lebih kuat dan lebih agung.

Perbandingan mahabbah orang ‘ârif (ahli ma’rifat) dengan ahli zikir yang tidak melihat dengan sempurna, bagaikan kecintaan orang yang menyaksikan keindahan seseorang dan ketinggian budi pekerti serta tingkah lakunya dengan rasa cinta orang yang sekedar mendengar sifat-sifatnya tanpa pernah melihatnya secara langsung. Maka kecintaannya terhadap orang yang didengar kebaikannya tidak seperti kecintaan orang yang menyaksikan kebaikan itu secara langsung. Karena berita bukanlah sebagaimana penglihatan.

Dan alasan ini, sesungguhnya rasa cinta seorang ‘ârif berbeda dengan rasa cinta ahli zikir. Imam al-Ghazâli berkata:

“Hamba yang membiasakan zikir kepada Allah SWT dengan hati dan lisan, dan membenarkan risalah Nabi SAW dengan keimanan yang tulus, tiada ungkapan mereka akan keindahan sifat-sifat Allah SWT pada diri mereka selain sebagai anugerah paling indah yang mereka yakini dengan membenarkan dzat yang telah menghiaskannya pada diri mereka, Orang ‘ârif adalah mereka yang menyaksikan keagungan dan kebaikan dengan mata bathin yang lebih tajam daripada mata lahir, karena tidak ada seorang pun yang sanggup menyentuh substansi keagungan dan keindahan-Nya, Hal itu tidak terjangkau oleh siapapun. Orang hanya sanggup menyaksikan sebatas apa yang terbuka baginya. Keindahan Tuhan tiada bertepi, demikianpun hijab-Nya”.

Baca juga:  Sabilus Salikin (21): Pembahasan Tasawuf

Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan tertinggi dan urutan zikir dalam tarekat Ghazâliyah adalah zikir lisan, hati dan terakhir secara bersama, dan terakhir adalah zikir dengan lisan saja.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top