Perdebatan tentang mengucapkan natal selalu menjadi rutinitas teologis warga Indonesia setiap tahun. Meskipun sudah banyak refleksi kritis yang ditulis oleh tokoh dan pemikir Islam tentang mengapa mengucap natal diperbolehkan, dari Buya Hamka hingga Buya Husein sama-sama membolehkan ucapan natal sebagai bentuk kebaikan. Tak sedikit pula Muslim yang terlibat dalam perayaan natal, bukan semata didorong oleh pencampuradukkan iman yang berbeda, tetapi justru sebab perbedaan keyakinan tak menjadi batasan untuk merayakan kegembiraan bersama.
Di luar perayaan natal dan lanskap keragaman teologi, tiap kali memperdebatkan isu kebolehan mengucapkan natal kepada kawan Kristiani kita kerap lupa pada refleksi spiritual yang membentang tentang kisah kelahiran Yesus atau Isa di muka bumi. Nama Yesus dalam teologi Kristen boleh jadi berbeda dengan Isa dalam teologi Islam, tetapi Yesus dan Isa sama-sama diagungkan dan menempati posisi luhur dan mulia, meski dengan kadar yang berbeda.
Ketimbang terus menerus meributkan perbedaan teologi antara Islam dan Kristen dalam menempatkan posisi Yesus dan Isa, akan lebih indah bila kita memandang Yesus dalam lanskap spiritual yang sejatinya menghadirkan pesan moral tentang kehidupan. Sebab bukankan inti ajaran agama, apapun itu, adalah mengajarkan kita arti menjadi manusia?
Rumi dalam salah satu karya agungnya yang berjudul Fihi ma Fihi menuliskan renungannya yang menggugah tentang kisah kelahiran Isa dari rahim Maryam, perempuan suci yang nama dan kisahnya diabadikan oleh Allah dalam salah satu surah, yakni surah Maryam yang berisi 98 ayat.
Melalui metafora penderitaan Maryam dan kelahiran Isa, Rumi menulis:
إن الألم هو الذي يوجه الإنسان في أي عمل,وما لم يظهر في داخله ألم ذلك الشيء وهوسه وعشقه, فلن يقصد إليه, الجسم مثل مريم. وكل منا لديه عيسى في داخله. فإذا حدث لنا الألم ولد عيسانا. وإذا لم يحدث الألم فإن عيسى سينضم ثانية إلى أصله بذلك الطريق الخفي الذي أتى به
فنبقى محرومين، ولا نصيب لنا منه. الروح في الداخل في باقة، والجسد في الخارج في ثراء
Adalah penderitaan dan luka yang membimbing kita pada kegigihan. Tanpa melalui rasa sakit di dalamnya, keinginan dan harapan takkan muncul dalam diri kita. Kita akan selalu gagal meraihnya. Tubuh ini bagaikan Maryam, setiap diri kita mengandung Isa di dalamnya. Tanpa penderitaan yang mengiringinya, Isa kita tak mungkin lahir ke dunia, dan tanpa penderitaan yang datang, Isa kita mungkin hanya akan kembali ke rahim sang Maryam; meninggalkan kita di jalan yang demikian hampa, tanpa kelahiran akan diri kita yang sesungguhnya. Jiwa akan terus lapar, sementara jasad terlalu penuh akan segala hal. (Fihi ma Fihi, hal. 53-55)
Dalam alegori dan metafora yang Rumi tuliskan, ia mengajak kita menyelami nilai-nilai perjuangan yang bisa kita renungkan dalam momen-momen bersejarah ketika Maryam mengandung dan melahirkan Isa, tak jauh berbeda dari penggambaran kisah Maria dalam melahirkan Yesus.
Penderitaan Maryam adalah penderitaan seluruh manusia, kegigihan adalah tujuan utama kemanusiaan kita yang tanpanya kita tak mungkin dapat menempuh segala susah payah yang harus kita temui saban hari, kelahiran Isa adalah hadiah suci yang kita dapatkan manakala kita berhasil melalui naik-turun dan kelok-kelok kesengsaraan dalam kehidupan yang kita jalani sebagai manusia.
Dalam penggambaran kisah Maryam dan Yesus, Rumi juga menukil satu ayat dalam surah Maryam:
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ النَّخْلَةِ
Maka rasa sakit lantaran melahirkan anak memaksa ia (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma. (QS. Maryam: 23)
Lantaran sakit yang harus Maryam tanggung, juga cintanya untuk menjaga dan melahirkan Isa yang ia kandung, Maryam menempuh perjalanan demikian jauh yang mengantarnya pada serindang pohon kurma yang berbuah lebat, juga sungai yang mengalir di sekelilingnya, tempat Maryam lantas merebahkan diri dan menikmati buah kurma dan sumber mata air yang melimpah.
Tapi penderitaan Maryam terus berlanjut lantaran harus menghadapi tudingan dan fitnah dari orang-orang yang mempertanyakan keperawanannya, juga bayi suci yang baru dilahirkannya. Dalam konteks hari ini, penderitaan Maryam barangkali tak jauh berbeda dengan beban-beban stigma yang harus banyak perempuan tanggung tiap kali tubuh dan pilihan ketubuhannya dianggap ‘tak sesuai dengan norma’.
Tetapi kelahiran Yesus atau Isa adalah risalah cahaya bagi seluruh manusia. Dielukan sebagai Nabi dalam Islam, dipertuhankan dalam teologi Kristen, Isa atau Yesus membawa misi ilahiah tentang kompas kebaikan dan tujuan mulia umat manusia beserta kemanusiaannya.
Masih dalam kitab Fihi ma Fihi, Rumi menulis sebuah dialog antara Isa dan umatnya:
سئل عيسى عليه السلام: “يا روح الله، أي شيء أعظم وأصعب في الدنيا والآخرة؟”- قال “غضب الله”. قالوا:”وما ينجي من ذلك؟” – قال: “ان تكسر غضبك وتكظم غيظك… الشكاية من الخلق شكاية من الخالق”
Suatu ketika Isa ditanya, “Wahai Ruh Allah, apakah sesuatu yang paling berat di dunia dan akhirat?”. Isa menjawab, “Murka Allah”. Lalu mereka bertanya, “Apa yang bisa menyelamatkan kita darinya?”. Isa menjawab, “Kendalikan murka dan amarahmu sendiri terhadap orang lain… Ketika kau marah kepada manusia, maka kau marah kepada Sang Pencipta yang menciptakannya. (Fihi ma Fihi, hal. 332)
Pilihan alegori, metafora dan dialog yang Rumi kisahkan dalam penggambaran Isa atau Yesus dan Maryam adalah kritik terhadap semangat beragama yang kerap dibumbui kebencian terhadap yang berbeda, yang juga kerap dibungkus dalam dalih-dalih kesucian dan perintah Tuhan, sehingga semangat beragama yang sejatinya suci dan mulia justru berubah menjadi senjata-senjata keras yang dikokang untuk menyerang dan menindas orang lain.
Padahal, semangat natal adalah semangat menyambut kelahiran sosok suci yang memiliki posisi penting dalam ritus dan keyakinan ragam agama. Semangat natal adalah berkaca pada kesucian Maryam, yang dalam alegori Rumi adalah kesucian menuju diri sendiri: menemukan dan mengenal suara-suara yang paling sejati dalam diri kita yang paling sunyi, melalui susah payah perjuangan kehidupan ini.
Sementara Yesus atau Isa adalah sang pembawa pesan kasih atau rahmah, inti dari keimanan yang kerap kita lupakan. Maka merayakan natal, merayakan kelahiran Yesus, merayakan kelahiran Isa, adalah merayakan semangat cinta di tengah perbedaan.