Ketika mendengar konsep yang ditawarkan oleh Al-Hallaj (wahdat al-Adyan) kira-kira apa yang ada di benak para pembaca? Memang konsep ini sangat menuai kontroversi, terutama pada kalangan fuqoha atau para ulama-ulama fiqih. Mereka beranggapan kalau konsep dari Al-Hallaj ini adalah suatu penyimpangan terhadapat agama. Ya, mereka beranggapan kalau konsep ini adalah doktrin sesat yang keluar dari satohatnya seorang sufi yang bernama Al-Hallaj. Sehingga di zaman itu Al-Hallaj menerima konsekuensinya yakni menerima hukuman mati dari khalifah.
Pertanyaannya adalah apakah konsep yang ditawarkan Al-Hallaj sang penggaruk rahasia ini sepenuhnya salah atau sesat. Penulis sendiri beranggapan tidak demikian. Sebab sebelum orang menjatuhkan vonis sesat, seseorang alangkah baiknya memahami apa sebenarnya arti dari sebuah Din atau agama. Agama sejatinya dapat dilihat dari dua dimensi yang berbeda. Pertama agama sebagai dimensi institusi. Ketika berbicara agama sebagai institusi maka kita akan dihadapkan dengan sekat-sekat yang bernama syariat. Kristen tidak akan sama cara peribadatannya dengan Islam, Hindu, Budha, Konghuchu, atau agama lainya.
Ada dogma-dogma yang memang sangat sulit sekali kita langgar, bahkan ketika kita langgar, maka kita akan dicap sebagai garis kiri, liberal, atau sekuler. Hal ini pernah dicoba oleh bapak pluralisme kita, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di mana sudah dapat kita pastikan banyak sekali orang-orang yang membenci beliau, bahkan sampai memfitnah beliau.
Namun, ketika kita melihat agama dari dimensi yang kedua, yaitu agama sebagai spiritual, maka kita akan depertemukan dengan hal yang sama, sebab semua agama berorientasi pada hal yang sama pula, yaitu Tuhan. Terlepas Tuhan itu bernama Yesus, Siwa, Wisnu, Brahma, Atau Allah SWT.
Spirit seperti ini sebenarnya sangat termaktub di dalam bangsa kita yang luar biasa dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Maka dari itu melihat keadaan bangsa kita sekarang terasa sedikit aneh. Sebab dengan mudahnya agama sekarang malah dijadikan alasan untuk saling bertengkar, saling bermusuhan.
Perayaan Natal yang dalam waktu dekat ini akan dirayakan, pasti masih ada saja opini yang dibangun di kalangan masyarakat bahwa umat Islam tidak boleh mengucapkan selamat Natal pada saudaranya yang Kristen, atau malah sebaliknya. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidaklah harus lagi terjadi. Semangat kebersamaan harus kita bangun atas dasar spirit kebinekaan, pluralisme, atau wahdah al-Adyan seperti yang diucapkan Al-Hallaj. Sebab ketika kita hanya berbicara kebenaran dari perspektif personal agama saja, maka kedamaian sejati tidak akan pernah dipertemukan.
Orang-orang malah akan hidup lewat dasar saling mencurigai satu-sama lain. Seperti teori Huntington tentang benturan peradaban. Bukankah ketika Huntington mencetuskan teori ini, seluruh umat beragama tidak setuju dengannya. Lalu mengapa sekarang kita semua seolah-olah mempraktikkan perkataan Huntington tersebut. Al-Qur’an sendiri sudah menerangkan kepada kita semua bahwa “Bagimu agamu, bagiku agamaku.” Al-Qur’an sendiri menghimbau kita untuk memisahkan kedua dimensi tersebut (agama sebagai institusi dan spritualitas). Ketika berbicara agama sebagai institusi, maka menjadi harga mati untuk meyakini agama kita masing-masing. Tapi ketika melihat dimensi spiritual, maka kita pula yang harus berpikir bahwa seluruh agama di muka bumi ingin mengajarkan kita jalan kebaikan.
Bukankah fungsi agama yang sejati adalah demikian? Seandainya khalifah saat itu berpikir demikian, Al-Hallaj tidak akan mati dengan tragis. Seandainya rakyat Indonesia berpikir dengan jernih? mereka tidak akan menghina Gus Dur, bahkan memfitnahnya, dan seandainya seluruh dunia menerapkan konsep ini? Israel tidak akan membantai Palestina, sekali lagi seandainya hal ini dapat diterapkan, maka dunia sekarang akan damai sentosa. Wallahu a’lam bissawab.