Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Kisah Guru Sekumpul Mencari Jodoh

Jangankan di Kalimantan, nama Guru Sekumpul cukup populer di Nusantara. Bahkan, ulama bernama asli Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani ini kerap muncul di media sosial. Baik berupa foto dan kutipan kata mutiaranya, maupun potongan-potongan video kala berselawat atawa berceramah. Padahal, beliau wafat hampir sewindu silam. Tepatnya pada 9 Agustus 2005, di saat dakwah di media sosial belum sepopuler saat ini.

Kepopuleran Guru Sekumpul di dunia nyata maupun di media sosial, tentu bukan hasil dari sebuah pencitraan ataupun media branding. Namun, efek dari kedalaman ilmunya, keluhuran budi pekertinya serta gigihnya perjuangan dalam berdakwah.

Sejak belia, putra pasangan H. Abdul Ghani dan Hj. Masliah tersebut telah menunjukkan sebagai sosok yang luar biasa. Sejak usia 7 tahun, pria kelahiran 11 Februari 1942 tersebut, telah nyantri di Pesantren Darussalam Martapura. Bakat dan kecerdasannya begitu menonjol. 12 tahun lamanya ia menuntut ilmu di kampung halamannya tersebut.

Sekitar 1965, saat usianya menginjak 22 tahun, ia mulai menekuni ilmu tasawuf. Bersama pamannya, Syekh Muhammad Semman Mulia, Guru Sekumpul muda berlayar ke tanah Jawa. Ia hendak menemui pembimbing (mursyid) untuk menjadi penuntunnya dalam mengarungi jalan spiritual. Mula-mula yang dituju adalah Syekh Muhammad Syarwani Abdan di Bangil.

Setelah menguaraikan maksud kedatangannya, Guru Sekumpul disarankan oleh ulama yang masih memiliki hubungan kerabat itu, untuk datang kepada KH. Abdul Hamid di Pasuruan.

Tak menunggu waktu lama, saat itu pula Guru Sekumpul bersama paman dan Syekh Syarwani berangkat ke Pasuruan. Meski waktu telah larut malam, hal tersebut tak menghalangi para ulama itu untuk bersilaturahmi.

Seakan telah disambut, sesampainya di Pasuruan, Kiai Hamid masih terjaga. Dini hari itu juga Guru Sekumpul diterimanya dengan sambutan hangat. Sembari ditepuk-tepuk bahunya, Kiai Hamid berucap kepada Zaini muda, “Gubernur Kalimantan, Gubernur Kalimantan..” berulang-ulang.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (2): Ulama Aswaja di Lombok Abad ke-18

Baca juga:

Perjalanan spiritual Zaini muda seolah mendapatkan restu. Sesai Kiai Hamid meberikan isyarah dalam percakapannya, ia lantas dibiat dengan sejumlah tarekat oleh Syekh Syarwani. Setelah itu, ia berbait tarekat kembali kepada Kiai Falak Bogor. Kemudian, ia menunaikan ibadah haji seraya belajar kepada Sayyid Muhammad Amin al-Kutby di Mekkah.

Olah rohani yang demikian ketat dan sejak muda dilakukan oleh Zaini tersebut, tentu saja tak mengherankan jika kelak membuat dirinya terlahir sebagai ulama besar.

Dalam salah satu riwayat, tokoh yang masih memiliki hubungan darah dengan ulama besar asal Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary itu, pernah dinubuat oleh gurunya, Sayyid Amin al-Kuthbi. “Zaini, kamu nanti lebih hebat dari aku,” seraya berbisik.

Akan tetapi, kehidupan spiritual yang dilakoni oleh Zaini sejak muda tak membuatnya teraleanasi dari kehidupan dunia. Tarekat yang ditempuhnya menyublim dalam setiap laku hidupnya selayaknya manusia biasa. Tak ada jarak tertentu yang membuatnya menjadi tokoh sufi yang asosial. Zaini muda bekerja, pun ingin menikah. Untuk yang terakhir inilah sebenarnya tulisan ini disusun.

Zaini muda atau Guru Sekumpul memiliki kisah yang unik dalam hal mencari jodoh. Bisa dikatakan rumit, namun juga bisa disebut sederhana. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anshari el-Kariem dalam bukunya “Figur Kharismatik Abah Guru Sekumpul (Tapin: Darul Muhibbin, 2015)”.

Ketika usianya menginjak 33 tahun, ada kegundahan di hati Guru Zaini. Ada hasrat untuk menikah guna membangun biduk rumah tangga dan melahirkan keturunan. Di tengah situasi demikian, ia mengalami kebingungan. Pada siapa ia akan mencurahkan rasa hatinya?

Baca juga:  Abu Nawas: dari Penyair Istana hingga Manusia Rohani

Biasanya, ketika mengalami kegundahan, Guru Zaini biasa curhat kepada Syekh Semman. Tapi, untuk urusan pernikahan ia tak berani mengadu ke pamannya tersebut. Karena, sang paman sendiri saat itu belum menikah. Baru pada dekade 90-an Syekh Semman menikah.

Isyarat kegundahan Guru Zaini ternyata ditangkap oleh seorang habib di Martapura yang disembunyikan namanya. Pada suatu malam sang habib mimpi bertemu dengan Rosulullah. Dalam mimpi itu Nabi Muhammad menyampaikan keinginan menikah dari Guru Zaini.

“Itu Zaini, dia mau kawin, dia rajin baca maulid-ku, memuji aku, mengajarkan ilmuku, bantu dia dan kamu harus turun tangan,” ujar Nabi dalam mimpi tersebut.

Usai bermimpi, sang habib lantas bergegas menemui kedua orang tua Guru Zaini. Orang tuanya yang menerima kabar tersebut bersuka cita. Mereka sebenarnya juga menginginkan sang buah hati untuk segera menikah.

Namun, keduanya tak berani memutuskan sendiri. Mereka perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada Syekh Semman yang selama ini senantiasa mendampingi Zaini.

Syekh Semman pun diajak berunding. Namun, lagi-lagi, ia tak berani memutuskan. Meskipun pada dasarnya ia setuju atas keinginan Zaini untuk menikah, tapi kewenangan tersebut tak ada padanya. Di tangan Syekh Syarwani Bangillah kewenangan itu ada. Karena beliaulah yang membaiat tarekat pada Zaini.

Singkat cerita, Zaini didampingi oleh Syekh Semman bertandang kembali ke Bangil, Jawa Timur. Tengah malam keduanya sampai di kediaman Syekh Syarwani. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, sang mursyid tersebut memerintahkan untuk menemui Kiai Hamid Pasuruan. Menurutnya, keputusan tersebut ada pada Kiai Hamid.

Dini hari itu pula, Zaini dan Syekh Semman berangkat ke Pasuruan. Menjelang Subuh, keduanya sampai. Mereka langsung ikut salat berjamaah di Masjid Agung Al-Anwar, Pasuruan. Lalu, melanjutkan ke kediamaan Kiai Hamid yang tak jauh dari masjid.

Saat itu bertepatan hari Jumat. Jadwalnya Kiai Hamid memimpin pembacaan Maulid Burdah seusai Salat Subuh. Keduanya pun ikut serta dalam rangkaian acara itu.

Baca juga:  Bung Hatta dan Islam

Pasca pembacaan Burdah, Zaini yang duduk agak jauh dipanggil oleh Kiai Hamid. Ia duduk di sebelahnya. Sembari disentuh pahanya, Kiai Hamid membisikkan ayat-ayat Alquran pada Zaini. Tak tercatat ayat keberapa yang diucapkan. Namun, yang pasti, ayat tersebut mengisyaratkan diperbolehkannya Zaini menikah.

Setelah berbisik, Kiai Hamid beranjak menuju kamarnya. Zaini pun pulang dengan gembira. Izin dan doa dari para mursyidnya telah ia dapatkan.

Guru Zaini pun pulang ke Martapura. Persoalan bakal menikah dengan siapa bukan menjadi soal. Urusan itu ia serahkan “ke dapur”, maksudnya diserahkan kepada kaum perempuan. Tak lain ibundanya sendiri, Hajah Masliah dan adik perempuannya, Rahmah. Bagi Guru Zaini, kalangan perempuan (bebinian) lebih menguasai soal perjodohan.

Akhirnya, dipilihlah Juwairiyah binti H. Sulaiman asal Martapura sebagai pendampingnya. Tanggal pernikahan pun ditentukan. Resepsi sederhana digelar. Berangkat dari kediaman orang tua angkatnya, Habib Zein bin Muhammad al-Habsy, Guru Zaini berangkat ke rumah mempelai. Mengenakan jubah, selendang dan kopiah pinjaman dari KH. Badruddin, ia melangsungkan akad nikah.

Guru Zaini alias Guru Sekumpul akhirnya membangun rumah tangga. Urusan asmara dan perjodohan bukan semata soal rasa. Namun, adalah bagian dari ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yang terutama bukan dengan siapa, tapi bagaimana doa dan izin para guru menyertai pernikahannya tersebut.

Di era yang memuja kebebasan dan kemandirian seperti saat ini, masih adakah yang hendak meneladani Guru Sekumpul dalam mencari jodoh? Bisa dicoba wahai jomblo sekalian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
7
Ingin Tahu
3
Senang
7
Terhibur
7
Terinspirasi
22
Terkejut
3
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top