Apa yang dilakukan seorang penempuh jalan Tuhan? Berzikir semalam suntuk? Sembahyang ratusan rakaat sehari semalam? Membimbing ribuan salik untuk menempuh jalan ilahi dalam sebuah tarekat? Semua hal yang ditujukan bagi penyucian jiwa mudah dinisbahkan bagi seorang guru mistik. Namun, bagaimana dengan memimpin lima ribu orang mengangkat senjata mencegah lahirnya sebuah kuasa yang tak adil?
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi’i membenamkan dirinya dalam semua usaha yang dapat mengantarkan diri pada pengenalan Tuhan (ma’rifatullah).
Pada usia 18 tahun di tahun 1644, dia berlayar ke barat untuk memperdalam ilmu dan berhaji, menjalani fase santri kelana. Dia berhenti di Yaman. Yusuf muda berbaiat kepada seorang mursyid tarekat Naqsyabandiah, Syekh Muhammad Abdul Baqi.
Sesampainya di kota Nabi, Madinah, dia berbaiat tarekat Syatariah kepada guru para ulama nusantara, Syekh Ibrahim al-Kurani. Pengembaraan ilmu yang teguh mengantarkannya ke Damaskus untuk berbaiat tarekat Khalwatiah. Selama sekira dua puluh lima tahun dia berkelana, menjadi santri di Jazirah Arab.
Pulang dari pengembaraan panjangnya, kita menemukan sang guru mumpuni pada 1672 menikah dengan putri dari Sultan Banten, Sultan Agung Tirtayasa. Dia juga diangkat menjadi mufti Kerajaan Banten. Dia berhasil menanamkan etika keislaman di kerajaan itu. Lebih dari itu, kehadiran seorang guru agung menjadikan Banten sebagai pusat pendidikan Islam pada masanya.
Semua keindahan kehidupan yang dianggap diidamkan manusia ada padanya. Alim agama. Beristri putri raja. Memiliki kedudukan yang mulia. Namun segera semua kenikmatan duniawi itu itu ditinggalkannya. Fase kehidupan selanjutnya menjadi bukti akan kesatuan kehidupan di dunia yang selama ini dia pelajari. Islam mengajarkan agar seorang menjadikan kehidupan politik (kerajaan, kekaisaran, ataupun demokrasi) berintegrasi dengan kehidupan moral spiritual. Tidak ada kehidupan duniawi tanpa kehidupan ukhrawi, begitu pula sebelumnya. Maka semua kemungkinan kehidupan manusiawi, termasuk perang, diatur dalam agama ini. Fase jihad mendatangi Syekh Yusuf.
Pada 1682, Syekh Yusuf yang telah berusia 56 tahun memilih menjadi pemimpin bagi ribuan pengikut setianya untuk melawan putra mahkota, Sultan Haji yang berkomplot dengan Kompeni Belanda. Kepala sang sufi itu dihargai 1.000 Rijksdaalders (koin Kompeni Belanda) dalam keadaan hidup maupun mati.
Tubuhnya cukup tua. Selama hampir dua tahun dia keluar masuk hutan, mendaki pegunungan, dan mengarungi sungai, dan bersembunyi di berbagai daerah. Sebuah usaha untuk menghindari kejaran pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Johan Ruijs van’s Gravenhage dan Sersan Johannes Maurits van Happel.
Catatan Residen Priangan menyebutkan dia memiliki 5.000 pengikut yang terjun dalam peperangan itu. Tentu itu belum termasuk para santrinya di berbagai daerah yang mendukungnya namun tidak terjun berperang secara aktif. Para simpatisan inilah yang berjuang menghadang penangkapan Syekh Yusuf. Mereka yang akhirnya mati dipenggal oleh para bupati di daerah masing-masing.
Pada paruh pertama bulan Desember 1683, Syekh Yusuf tertangkap. Catatan Raja Gowa menyebutkan bahwa dia ditangkap di sebuah sungai yang disebut Segaraanakan. Catatan Belanda menyebutkan penangkapan ini terjadi di Sungai Citanduy di Banjar. Ribuan pengikut yang berusaha membantunya menghambat tentara Belanda di Cikondang telah dibunuh.
Pada 23 Januari 1684, sisa-sisa pengikutnya yang berasal dari suku Melayu, Makassar, Bugis, dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Sedangkan sang sufi di bawa ke Batavia bersama dengan pengikut inti-nya yang berjumlah 12 santri, dan 37 wanita dan anak perempuan.
12 September 1684, Kompeni Belanda memutuskan membawanya ke Sri Langka (Ceylon) karena orang-orang Batavia sangat memuja sang sufi. Mulai 9 Januari 1690, berkali-kali utusan dari Pangeran Kerajaan Gowa berusaha untuk membebaskannya. Ketakutan akan pengaruh yang masih besar di Sri Langka dari wali besar itu, pada 7 Juli 1693, Syekh Yusuf dibuang kembali di Tanjung Harapan (Cape Town) Afrika Selatan. Dalam catatan Raja Gowa tertulis bahwa Syekh Yusuf wafat pada Jumat, 22 Zulkaidah 1110, 22 Mei 1699.
Kematian tidak menyurutkan kekaguman pada Sufi ini. Setiap tahun keturunan dari orang-orang Nusantara yang dibuang di Afrika Selatan berziarah ke makamnya di pertanian Zandvliet, Tanjung Harapan. Pada 5 April 1705, atas permintaan Raja Gowa, jasad suci itu dipindahkan ke kampung Lakiyung di Gowa.
Dalam Syekh Yusuf Makasar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya, Tudjimah keliru menyebutkan tahun ini dengan 1795. Namun, makamnya yang berada di Tanjung Harapan tetap dimuliakan dan diziarahi oleh orang-orang hingga hari ini.
***
Atas perjuangannya itu, Syekh Yusuf ditetapkan sebagai pahlawan Indonesia. Namun justru penetapan itulah yang menyempitkan perjalanan panjangnya sebagai santri, sufi, selain dari pejuang politik. Seakan nama pahlawan memberikan gambaran yang identik satu sama lain. Pahlawan adalah para pejuang yang mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda, padahal perjalanan pengembaraan menemukan diri sebagai pejuang para pahlawan berbeda satu dengan yang lain.
Syekh Yusuf tetaplah seorang sufi. Sebuah manuskrip berkode “Or. 7025” yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda mengabadikan banyak karyanya, yang disebut-sebut mencapai 25 itu. Karya-karya yang tampaknya belum pernah secara serius dikaji. Kitab-kitab yang dia tulis ada di sana. Semuanya adalah penjabaran dari ajaran sufi yang dia pelajari. Terdapat di antaranya adalah Syarah Futuhat al-Makkiyah Syaikhul Akbar, Muhyiddin Ibnu Arabi, dari gurunya Syekh Ibrahim al-Kurani;
Dalam Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin ( Mahkota Rahasia dalam Penemuan Hakikat Tempat Minum Para Arif) Syekh Yusuf mengurai hadis Nabi saw:
أفضل إيمان المرء أن يعلم أن الله معه حيث كان
“Keimanan seorang hamba yang paling utama adalah (iman yang menjadikan) dia mengetahui bahwa sungguh Allah selalu bersamanya di manapun dia berada.”
Kebersamaan Allah itu bersifat menyeluruh (bil-kulli). Kebersamaan itu seperti kebersamaan ruh dengan dengan jasad.
Pada artikel setelah ini kita akan membahas lebih panjang beberapa karya dari Syekh Yusuf ini.
Kembali kepada pertanyaan di atas, jadi setelah mengetahui perjalanan hidupnya, mengapa Syekh Yusuf memilih untuk mengangkat senjata?
Mungkin jawabannya dapat kita samar-samar kenali dari keluhan catatan residen Priangan:
“Zoo werd na een jaar van ontbering, inspanning en strijd het doel bereikt, eene oplaaiing van het Mohammedaansch fanatisme te voorkomen, en wel vooral door de toewijding en den tact van den verdienstelijken Johan Maurits van Happel. In ballingschap aan de Kaap overleden, wordt Sheik Joesoef nog ten huidigen dage als een heilig man vereerd door de Slamajers, afstammelingen der Compagniesbandieten van Maleisch ras; zijn graf trekt op gezette tijden scharen bedevaartgangers — Van Iiappel’s zerk ligt vergeten op Tanahabang,”
“Jadi, setelah satu tahun kesulitan, usaha dan perjuangan, tujuan untuk mencegah kerusuhan fanatisme Mohammedanisme telah tercapai. Ini terutama karena jasa, dedikasi dan kebijaksanaan Johan Maurits van Happel. Syekh Yusuf meninggal di pengasingan di Cape Town, dan sampai hari ini dihormati sebagai orang suci yang oleh para Slamajers, yaitu keturunan orang-orang Melayu di sana; mereka berkumpul secara teratur di makamnya–sedangkan makam Van Happel di Tanahabang dilupakan.”
Atau tidak? Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama mencatat bahwa masyarakat di tanah kelahiran Syekh Yusuf mengenang beliau dengan sederhana. Tuanta Samalaka. Tuan kami yang penuh berkah. Itulah yang dicari para peziarah. Berkah seorang wali bernama Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi’i.