Peradaban Timur Tengah dan Mediterania Kuno sangat antusias pada konsep makan makanan enak. Baik orang Yunani maupun Romawi mengembangkan penghargaan yang tajam untuk masakan lezat dan bertungkus lumus dalam memperoleh bahan-bahan berkualitas tinggi dan menghasilkan hidangan maknyus.
Dalam Alkitab Ibrani, orang Israel diminta untuk ”makan apa yang baik, dan jiwamu akan senang dalam kegemukan” (Yesaya 55: 2), sementara Paulus mengingatkan para pengikutnya bahwa “segala sesuatu yang diciptakan Alah adalah baik, dan tidak ada yang harus ditolak jika diterima dengan ucapan syukur” (1 Timotius 4: 4).
Tinimbang dengan tradisi-tradisi Ibrahim lainnya, Al-Qur’an membuat kasus yang paling tegas untuk makan makanan yang baik, dan untuk menghubungkan kewajiban itu dengan aturan berpuasa. Al-Quran memberikan perintah untuk “makan” (kulu) duapuluh delapan kali; istilah yang berkelindan dengan akar kata ini (akl) muncul 108 kali, dan mereka sering dikaitkan dengan al-tayyibat (hal-hal baik).
Kata sifat tayyib muncul tigabelas kali dalam teks suci, dan tayyibat (kata nominal jamak) muncul duapuluh satu kali. Akan tetapi, walaupun tayyib sering diterjemahkan hanya sebagai “baik” dan “berfaedah,” penggunaannya dalam Al-Qur’an menggabungkan pelbagai makna.
Dalam bukunya tentang konsep-konsep seperti itu dalam Al-Qur’an, sarjana Toshihiko Izutsu mendefinisikan tayyib sebagai “sangat menyenangkan, menyenangkan, dan manis.” Istilah ini biasanya diterapkan pada wewangian, minuman, dan makanan, tetapi juga dapat digunakan untuk melukiskan angin sebagai “menguntungkan” atau tanah sebagai “subur.”
Di berbagai bagian tulisan suci, istilah itu dan turunannya dapat mengambil tambahan konotasi, termasuk saleh dan suci (bila digunakan untuk manusia), bersih, adil, menguntungkan, menerima, sehat, dan dewasa (Izutsu 2002: 235).
Meskipun tayyib bukan semata-mata kategori hukum, tradisi eksegetis Islam berulang kali menekankan hubungannya dengan aturan makanan halal dan haram. Dalam mengevaluasi ayat-ayat yang menyebutkan tayyib, seperti QS. 2: 57, 2: 168, 2: 172-173, 5: 4-5, 87-88, 7: 157, 16: 72, dan 16: 114, para ulama abad pertengahan mendefinisikan istilah itu sebagai apa yang mubah (diizinkan) dan/atau halal (lihat Riaz & Chaudry 2003).
Dalam beberapa diskusi, tayyibat juga merupakan hal-hal yang Arab pra-Islam, serta orang-orang Yahudi dan Kristen mungkin telah melarang tapi bahwa Tuhan membuat halal untuk umat muslim, dengan demikian menunjukkan kebaikan Ilahi dari makhluk-Nya terhadap orang-orang beriman.
Para ahli fikih juga meneroka, bahwa makanan tayyib harus dibeli dengan tayyib atau penghasilan/uang halal. Dalam sumber-sumber lain, tayyib didefinisikan sebagai kebalikan dari khabith (busuk, buruk, durjana, tidak murni, menjijikkan) dan najis (tidak murni, kotor), yang harus dihindari umat muslim.
Makanan Khaba’ith adalah makanan yang dilarang secara eksplisit, seperti babi, darah, dan bangkai. Tayyib juga adalah apa yang tahir, atau murni, terhadap apa yang najis. Dalam Al-Qur’an, istilah tahir dan najis biasanya muncul dalam konteks kemurnian ritual, dan kosakata luas ini laksana doa, setidaknya dalam bacaan modern, bahwa mengkonsumsi makanan tayyib-halal baik untuk tubuh dan agama.
Kalakian, perdebatan klasik hal ihwal ini masih kabur dan tiada juntrungnya. Istilah-istilah penting didefinisikan melalui referensi satu sama liyan: tayyib adalah halal, dan halal adalah tayyib; dan tayyib dan tahir adalah kebalikan dari khabith atau najis.
Akan tetapi para ahli fikih ragu-ragu untuk mengikat istilah tayyib dengan makanan tertentu (dalam batas kanonik), dan karena mereka tidak mencantumkan dengan tepat barang makanan apa yang dapat dianggap tayyib, dan tampaknya umat muslim dapat mengisi bagian yang kosong dengan piring, resep, puasa, dan praktik makan yang mereka sukai (selama mereka menggunakan zat halal yang terdefinisi dengan baik).
Faktanya, para ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tidak membatasi diri mereka sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi, pendeta Kristen, dan pertapa, dari makan semua tayyibat yang Allah Swt sediakan untuk mereka (5:87-88). Puasa dan pantangan yang tak ditentukan dari makanan tayyib tidaklah disukai.
Akhirnya, beberapa ulama abad pertengahan hanya mendefinisikan tayyib sebagai “enak,” tanpa menyebutkan tolok ukur rasa. Ulama abad pertengahan Ibnu Jarir al-Tabari menyarankan dalam komentarnya pada QS. 5: 87-88, bahwa tayyibat adalah “hal-hal lezat yang didambakan khalayak dan di hati nan semaput.” Juga, dalam menafsirkan QS. 16:114, dia menggambarkan makanan yang Allah ciptakan “halalan tayyiban” sebagai lezat (mudhakatan) (lihat Armanios & Erge 2018).
Terminologi ini digunakan secara praktis dalam teks-teks kuliner abad pertengahan, seperti dalam buku resep masakan abad ke-10 dari Abbasid Bagdad, di mana rujukannya melimpah ke “milh tayyib” (“rasa garam yang mengempenak”) atau “duhn tayyib” (“lemak berkualitas adiluhung”), bahan-bahan penting untuk memastikan resep bercita rasa.
Pelancong Ibnu Battuta menganggit bahwa buah aprikot dan pir yang makannya di kota Basra, Irak, sebagai “tayyibat al mat’am” (makanan lezat). Dan dokumen yang diambil dari sumbangan amal di Mamluk Kairo menabalkan kepedulian untuk menyajikan makanan tayyib, bahkan kepada kelas sosial terendah sekalipun; jatah harian untuk orang miskin, dalam beberapa teks dinyatakan, bahwa harus mencakup “roti gandum berkualitas tinggi” (khubz burr tayyib). Setiap orang, tampaknya, harus memiliki akses yang sama ke bahan makanan tayyib, terlepas dari kasta sosial mereka.
Fleksibilitas leksikologis tayyib, sebagaimana digariskan dalam diskusi historis dan eksegetis, telah memungkinkan banyak muslim kiwari, khususnya di Barat, untuk menggunakannya dalam advokasi mereka untuk hak-hak hewan, etika lingkungan, dan gaya hidup sehat (lihat Bergeaud-Blackler, Fischer, & Lever 2016).