“Kalau ingin barokah, mondoklah ke Jawa Timur. Kalau ingin ilmu, mondoklah ke Jawa Tengah.”
Di kampung saya, ungkapan ini sudah lama saya dengar, ungkapan yang selalu diulang-ulang, diucapkan orang berbeda-beda, terlontar dari mulut ke mulut, entah siapa mencelotehkannya pertama kali, hingga seolah menjadi kaedah umum.
Lama-kelamaan, terutama setelah saya merantau ke Jawa, justru ada yang mempertegaskannya dengan opini begini: “Memang betul, NU lahir di Jawa Timur, tapi tradisi keilmuan NU berkembangnya di Jawa Tengah.” Lagi-lagi, tentang urusan santri Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Saya sendiri berasal dari Jawa Timur, tepatnya Madura. Ketika remaja, mula-mula saya menduga semua pesantren punya adat sama seperti umumnya pesantren di Madura. Misalnya, saat seorang calon santri Madura hendak mondok ke suatu pesantren, dia akan dihantarkan oleh rombongan besar yang dikoordinatori oleh kedua orang tuanya. Rombongan besar tersebut meliputi saudara-saudara kandungnya, tak lupa ipar-iparnya, keponakan-keponakannya, sepupu-sepupunya, dan tak hanya keluarga inti, para sanak kerabat, handai taulan, tetangga-tetangganya satu dusun juga ikut dalam rombongan itu.
Jadilah kirab atau pawai hingga berunit-unit mobil dalam rangka mengantarkan seorang putra dusun menimba ilmu agama. Mirip adat pernikahan, ada pawai mobil mengantarkan mempelai pengantin laki-laki ke rumah mempelai perempuan. Sehingga sempat ada teman yang nyeletuk: “Enaknya jadi kiai dan nyai (di Madura) kalau sedang momen tahun ajaran baru. Panen.” Betul, semua anggota rombongan besar membawa amplop untuk salam tempel, serta oleh-oleh makanan masak dan mentah di sejumlah keranjang dan karung untuk dihaturkan kepada keluarga pengasuh.
Laku ini sudah mendarah daging di Madura, sudah menjadi adat mereka. Sebelum acara keberangkatan pun, seolah sangat disakralkan oleh orang Madura. Orangtua calon santri akan mengundang calon rombongan untuk mengaji Yasin bersama, salawatan, bahkan kalau cukup biaya, orangtuanya mendatangkan grup hadrah dan pengajian di rumahnya.
Hampir di semua masyarakat Jawa Timur-an demikian, wabil khusus suku Madura, baik “Madura swasta” maupun “Madura negeri”. Bagi masyarakat santri Jawa Timur-an yang bersuku Jawa, calon santri biasanya dihantarkan oleh keluarga inti, setidaknya satu mobil. Setibanya di pondok pesantren yang dituju, rombongan kemudian sowan ke rumah pengasuh pesantren, kemudian mendaftarkan diri sebagai santri di kantor pesantren.
Selanjutnya adalah pengalaman saya sendiri ketika mondok di beberapa pesantren di Jawa Tengah. Saya sempat tercengang ketika pertama kali menemukan tradisi berbeda dengan adat saya di Madura, kendati seperti saya katakan tadi: sama-sama pesantren NU.
Tepatnya ketika saya nyantri di Sarang Rembang—ini pesantren Jawa Tengah pertama saya—saya menemukan calon-calon santri berdatangan ke Pondok Pesantren Sarang hanya diantarkan oleh ayahnya seorang, kadang ada juga ibunya. Sukur-sukur mereka sowan Mbah Kiai, malah ada yang lebih membuat saya tambah tak habis pikir: Banyak calon-calon santri datang sendirian ke pesantren, cukup ke kantor pengurus asrama saja, tidak sowan kiai. Cukup mengisi formulir dan membayar uang pendaftaran dan SPP seperlunya. Setelah itu, selesai.
Entah kemana orang tuanya? pikir saya kala itu. Namun semoga saya tidak bias, bahwa asumsi saya kala itu, menilai adat santri Jawa Tengah demikian, mirip-mirip calon siswa yang mau sekolah. Cukup datang mendaftarkan diri ke loket atau meja pendaftaran. Lalu ikut MOS, selesai.
Ini hanya dalam hal adat calon santri dimondokkan. Ada yang lebih mencolok perbedaan budayanya di pesantren kedua provinsi itu, yaitu dalam hal gestur dan sikap fisik dalam menghormati kiai. Hampir semua pesantren-pesantren Jawa Timur-an, santri-santri mencium tangan kiai atau nyai ketika bersalaman. Salaman menggunakan kedua tangan, bahu santri diturunkan seperti melakukan rukuk, membungkuk di hadapan sang pengasuh. Tak hanya pengasuh, tetapi juga pada gus atau lora dan ning yang masih balita, tangan putera kiainya dicium, juga membungkuk, meningkahi ketakziman kepada kiai atau nyai itu sendiri.
Kemudian kalau santri Jawa Timur-an sedang jalan kaki lewat depan rumah kiai, ngendak (Bahasa Madura), yaitu jalan membungkuk, tangannya nyaris menyentuh kaki. Bahkan kalau ada kucing piaraan kiai lewat di depan santri, santrinya berdiri segan, seolah kiainya yang sedang lewat di depannya. Kalau mereka naik sepeda atau motor di depan ndalem, santri turun dari kendaraan dan menuntunnya. Kalau bawa mobil, santri tidak akan ada yang berani lewat depan rumah kiai.
Di Jawa Tengah rupanya berbeda cara. Boleh dikata tampak lebih “egaliter”—kendati saya belum paham betul makna egaliter dalam konteks pesantren—bersalaman biasa sebagaimana umumnya, menjulurkan tangan kanannya, tanpa cium tangan, dan tanpa membungkukkan badan. Melewati halaman rumah kiai tidak perlu ngendek. Tradisi santri Jawa Tengah-an tampak khas dengan gaya ragawi atau sikap tubuh ini. Namun berbeda halnya ketika sowan kepada kiai atau nyai yang sudah sepuh, mereka tetap cium tangan sebagaimana santri Jawa Timur-an.
Saya merenungkan perilaku berbeda ini, bahwa sikap tubuh manusia santri akan bergantung kepada makna yang dipahami oleh masing-masing lingkungan asalnya, laba-laba yang telah terperangkap dalam jaring-jaringnya sendiri. Jaring-jaring itu pula yang dibawanya ke mana pun laba-laba pergi.
Di luar sikap-sikap itu, adalah tradisi dalam aktivitas dan program. Di Jawa Timur, kiai dan nyai lebih sering memprogramkan santri-santrinya melakukan tirakat, berzikir, bangun malam dan puasa-puasa.
Di Jawa Tengah tidak demikian, kiai dan nyai sering meminta santri tekun belajar, urusan adab belakangan. Sedangkan Jawa Timur adalah sebaliknya: Adab lebih utama ketimbang ilmu. Ketika di Jawa Tengah, zikir tidak lebih 5 menit, tetapi tradisi baca kitabnya bisa sampai 20 jam, bahkan kitabnya dipeluk kayak guling saat santri tidur.
Beberapa kawan kamar saya di pondok Jawa Tengah, ada yang setiap harinya cuma tidur 4 atau 2 jam saja dalam sehari-semalam. Tak pernah ke mana-mana, hanya di kamar saja. Kecuali jadwal sekolah, bandongan, sorogan, makan, dan lari pagi. Selalu begitu setiap hari, duduk di lantai kamar dan menghadap bacaan di meja belajar. Kitab-kitabnya sampai kusam karena selalu dibaca. Tradisi ngungseng semacam ini tidak saya temukan ketika nyantri di Madura.
Demikian pula dengan kiai-kiai di Jawa Tengah, contohnya Kiai Said Abdurrohim, Pengasuh PP MUS Sarang Rembang, yang dalam pengamatan saya selama menjadi santrinya, aktivitas beliau hanya ada di empat tempat.
Satu, meja belajar di rumahnya. Dua, meja belajar musala. Tiga, mengecek kondisi restoran miliknya, atau yang keempat, di perpustakaan, dan berbaur dengan santri-santrinya.
Suatu saat saya ingin tulis catatan mengenai kiai unik yang satu ini, antara lain, beliau sempat hilang beberapa hari di rumah. Banyak santri mencarinya, hingga kemudian beliau ditemukan menyepi seorang diri di sebuah kamar hotel, sedang khusyuk mengarang kitab. Kemudian, beliau lebih memilih hidup ‘sendirian’ di rumahnya, tanpa keluarga.
Penampilan kiai dan nyai Jawa Timur-an rata-rata necis. Lihat saja, sorban-sorban mereka, jubah dan gamisnya, bahkan merk baju dan sarungnya, amboi, high-class.
Tak lupa, tasbihnya di bawa ke mana-mana. Ibu nyai Jawa Timur-an juga hampir setara dengan style selebriti ibukota, nyaris glamour. Sering ke salon misalnya. Kalau ke acara atau undangan, perhiasan yang dikenakan banyak sekali. Busana-busananya juga bermerk.
Di Jawa Tengah tidak demikian. Penampilan kiai dan nyai di Jawa Tengah jauh dari kata mewah, dan bagi saya tampak bersahaja. Di Sarang misalnya, hanya dua kiai yang bersorban dan keduanya sudah sepuh. Itupun sorban dikenakannya bila ada acara seperti halfah atau ada tamu penting. Bahkan Kiai Maimun Zubair, sehari-harinya sering tanpa sorban. Sedangkan kiai-kiai lain di Sarang, rata-rata tanpa sorban—kecuali Kiai Najih sih—bajunya rata-rata hem dan sarung. Bahkan untuk Kiai Said, sering lupa pasang kancing lengan hemnya. Atau mungkin allahuyarham Kiai Sahal Mahfud di Kajen, sudah banyak yang hafal dengan hem lengan pendeknya.
Sebagai orang Jawa Timur yang kala itu masih remaja, kali pertama nyantri di Jawa Tengah, saya sempat bingung. Kendati sama-sama NU ternyata beda budaya. Kebingungan saya terletak pada cara bersikap hormat kepada keluarga para pengasuh; apakah saya harus cium tangan atau tidak? Apakah saya harus membungkuk dan ngendek atau tidak? Sehingga, bagaimana sebenarnya nilai ketakziman santri kepada kiai/nyai dapat diekspresikan dalam media tubuh.
Adakah cerita pesantren di Jabar, Banten, Sumatra atau daerah lain?
ini bisa menjadi salah satu rujukan studi etnografi. Memang yang dipaparkan lebih menekankan pada pengamatan, tanpa mengungkap apa maksud yang ada dibaliknya. Pembaca diberi kebebasan memaknai sendiri.