Di Mount of Olive, Yerussalem, Israel, ada masjid yang mengambil nama Salman, masjid Salman al-Farisi. Namun, jangan salah sangka, meski ada makamnya, masjid yang di Israel ini bukan lokasi jasadnya bermakam, melainkan tempat di mana ia pernah menghabiskan banyak waktu berzikir dan tafakur. Lokasinya dekat dengan makam Rabi’ah al-Adawiyah dan Gereja Ascension.
Makam Salman sang Persia, disebutkan terletak di desa yang mengusung namanya, desa Salman Pak. Pak artinya Suci. Di areal tempat ia bersemayam ini dibangun masjid megah yang punya empat bangunan. Kenapa empat?
Rupanya di areal masjid tersebut bersemayam pula jasad orang saleh lain, yakni Hudzaifah al-Yamani, Jabir ibnu Abdullah, dan Tahir ibnu Muhammad Baqir. Masjid tersebut dikenal dengan sebutan sama: Masjid Salman al-Farisi. Tempatnya terletak di Madain, Irak, kekira 32 Km ke tenggara Baghdad.
Makam Salman rupanya bukan hanya ada di Madain. Konon, makamnya ada juga di Isfahan, Jordania, dan di tempat-tempat lain. Mengapa bisa banyak dan manakah yang betul? Wallahu a’lam, sukar dipastikan.
Masjid dan makam di mana Salman al-Farisi bersemayam di Madain secara historis milik Sunni. Namun, menurut Adam L. Silverman, (2009) dalam artikel “Religion and Politics in Iraq: What Type of Sectarianism Really Exists?” belakangan makam itu dipindahtangankan ke Syi’ah. Pada warsa 2006 bulan Februari hari keduapuluh tujuh tepat setelah matahari terbenam, masjid itu diroket.
Nama kecil Salman disebutkan Ruzbih, dengan ayahandanya bernama Khosnodan. Dalam bahasa Persi, Ruzbih bermakna “hari yang baik”. Ruzbih memiliki gelar “Tukang Cukur” (dalam bahasa Persi, gelarnya Salmani), sebab dalam kapasitas itu beliau melayani Nabi Muhammad saw.
Karamah Salman dalam dunia pertukangcukuran cukup dikenal di Turki di masa-masa lampau. Annemarie Schimmell mencatat dalam And Muhammad is His Messenger (1985) bahwa di lapak-lapak tukang cukur Turki di masa lalu orang gampang menemukan piring yang berhiaskan bait syair:
Saban subuh lapak kami dibuka dengan basmalah
Hazrat Salman Pak adalah pir (mursyid) dan majikan kami
Dwight Donaldson dalam artikelnya “Salman the Persian” (1929) di The Muslim World, melihat peran Salman bukan hanya sebagai tukang cukur. Lebih dari itu, Salman tak hanya mencukur rambut dan merapikan jenggot nabi, tapi juga menguatkan persahabatan dan kepercayaan nabi kepadanya.
Dalam semesta ortodoksi Sunni, posisi Salman diceritakan dengan elok meski juga bukannya tak berliku-liku. Ada aura misterius dalam kehidupan Salman. Aura yang sukar dijelaskan dengan kata-kata. Misalkan tradisi yang menyinggung bahwa otoritasnya dalam keilmuan sukar dibantah. Hadis terkait Salman berikut dimuat dalam Shahih Bukhari.
Dari Abu Juhaifah disebutkan bahwa Rasulullah saw menjalinkan ikatan persaudaraan antara Salman dan Abu Darda’. Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’ dan berjumpa dengan istri Abu Darda’ yang berpakaian lusuh. Salman bertanya mengapa pakaiannya demikian lusuh. Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ tak tertarik (kemewahan) dunia ini.”
Lantas, Abu Darda’ datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Salman meminta Abu Darda’ makan bersamanya, tapi Abu Darda’ menukas, “Saya berpuasa.” Salman berujar, “Saya tak akan makan kecuali Anda juga makan.”
Maka, Abu al-Darda’ pun makan bersama Salman. Ketika tengah malam, Abu al-Darda’ bangun (untuk salat malam), tapi Salman bilang agar tidur, maka Abu al-Darda’ pun tidur. Setelah beberapa waktu, Abu al-Darda’ bangun lagi, tapi Salman kembali mengajaknya tidur. Ketika jam malam hampir berakhir, Salman mengajak Abu al-Darda’ bangun dan keduanya pun shalat malam. Salman berkata kepada Abu al-Darda’:
“Tuhanmu punya hak atasmu, Jiwamu punya hak atasmu, dan keluargamu juga punya hak atasmu. Maka berikanlah hak semua yang memilikinya atasmu.” Abu al-Darda’ pergi menjumpai Nabi dan mengisahkan kejadiannya. Nabi berkata, “Salman berkata benar.”
Salman memiliki pengetahuan luas tentang kitab-kitab suci orang-orang Persi, Yunani, Kristen, dan Yahudi. Hadis berikut terdapat di dalam Sunan Abu Dawud. Salman berkata, “Aku membaca di Taurat bahwa keberkahan makanan terdapat dalam bersuci sebelum menyantapnya. Maka, aku menyebut tentang hal ini kepada Nabi. Beliau berkata: “Keberkahan makanan terdapat dalam bersuci sebelum menyantapnya dan bersuci sesudahnya.”
Dalam Sirah Ibnu Ishaq, di saat sebelum berjumpa Nabi, Salman diriwayatkan pernah bertemu sosok nabi lain, kemungkinan itu nabi Isa bin Maryam AS. Sirah Ibn Ishaq menguraikan cukup panjang ihwal Salman. Bukan tempatnya kita mengulangnya di sini.
Milad Milani dalam Sufism in the Secret History of Persia (2013) mendedahkan satu misteri terkait Salman. Pada abad kesebelas, Ibnu Sina (980-1037 M) menggubah karya naratif filsafat-mistis Fi Maqamat al-‘Arifin (Tentang Stasiun orang-orang Arif), yang mengutip fabel Persia terkenal Salaman dan Basal. Fabel tersebut besar kemungkinan dibikin oleh Ibnu Sina sendiri dan dianggap sebagai yang pertama mengemukakan majas sebagai teka-teki. Fabel tersebut dipopulerkan oleh penyair-penyair besar lain semisal Fakhruddin ar-Razi (w.1209 M), Nashiruddin Tusi (1274 M), dan Nurruddin ‘Abdurrahman Jami’ (1414-92 M). Razi menegaskan bahwa fabel Ibn Sina ini merupakan “teka-teki tak terpecahkan” dan mendukung pandangan dua kata “Salaman” dan “Basal” sebagai bikinan Ibnu Sina sendiri untuk tujuan yang hanya dia ketahui sendiri. Tusi menyanggah ar-Razi, namun tak dapat menuntaskan makna teka-teki Ibnu Sina.
Menariknya, ada karya yang diagungkan oleh Syiah Imami/Isma’ili bertajuk Umm al-Kitab, disusun kekira antara abad kedelapan dan kesepuluh yang kandungannya tampaknya bernisbah dengan teka-teki Ibni Sina. Ada teksnya yang berbunyi “bernuansa memberikan peran utama bagi kemunculan Islam kepada Salman al-Farisi yang nama batinnya adalah al-Salsal”.
Menarik untuk disebutkan bahwa dalam teks Umm al-Kitab ini Salman tampaknya terpaksa untuk menyembunyikan dengan rapi ihwal pengetahuan keagamaannya dari sahabat lain, suatu rahasia yang hanya diketahui Muhammad dan Ali (serta keturunannya). Bukan kebetulan bahwa Rasulullah sendiri pernah menepuk pundak Salman dan berkata, “Andaikata iman (hikmah dan pengetahuan) tergantung di salah satu bintang, lelaki semacam ini akan meraihnya.”
Hadis tersebut dimuat di Shahih Bukhari di bab yang memuat pujian khusus nabi saw kepada orang-orang Persi terkait ketulusan dan pembelajaran mereka. Cukup menyolok untuk disebutkan bahwa Imam Muslim menimbang secara berbeda dengan menganggap bahwa pujian ini khusus untuk Salman pribadi, tinimbang singgungan umum pada seluruh bangsa Persi.
Keluasan dan kedalaman pengetahuan Salman pernah diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib. “Dia adalah bagian dari kami, jalur rumah kenabian. Hubungannya dengan kalian laksana bijaksanawan Luqman al-Hakim. Dia sudah mempelajari pengetahuan awal dan akhir. Membaca kitab suci pertama dan terakhir. Dialah lautan yang dalam.”
Bukhari menuturkan dalam Shahihnya bahwa Salman punya guru dua sampai tiga lusin. Banyaknya guru Salman ini menjadi pertanyaan tentang usianya. Al-Dzahabi (1274-1348) menyebutkan tentang total usia Salman yang menjadi perdebatan. Semua mengisyaratkan usianya mencapai 250 tahun. Al-Dzahabi merevisi semuanya dan menegaskan bahwa Salman usianya tak melampaui 80 tahun. Namun, sayangnya dia tak menyertakan dasarnya.
Sebenarnya, bukan tidak mungkin Salman dari Persia berusia ratusan tahun. Sebagai pembanding umur panjang ini, New York Times dan Times Magazine pada 6 Mei 1933 pernah memberitakan kematian Li Ching Yuen. Li menyebut bahwa dia lahir pada 1736, namun seorang profesor Wu Chung Chieh dari Universitas Chengdu menemukan catatan dari kerajaan Tiongkok yang pernah menyebutkan ucapan selamat kepada Li di usianya yang ke-150. Dari catatan tersebut profesor Wu menaksir bahwa Li justru lahir pada 1677 dan bila dia meninggal pada 1933, berarti umurnya mencapai 256 tahun. Li adalah seorang ahli tanaman obat, praktisi Qi Gong, dan penasehat perang.