Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ponorogo

Kaum Santri dan Kesadaran Ekonomi

Dahulu, saya pernah merasakan enam tahun menjadi santri di sebuah kota kecil di Jawa Timur, lalu sekitar dua tahun mondok di sebuah ma’had Aly di Timur Tengah, dan empat tahun di sebuah pesantren di Yogyakarta. Ada hal musykil di benak penulis bahwa selama itu pula tidak penulis temui pelajaran yang spesifik mengajarkan tentang urgensi ekonomi. Selama ini yang diketengahkan adalah tema-tema tauhid, fiqh, akhlak, sastra-balaghah, mantiq/ ilmu logika, ilmu alat/ nahwu-sorof dan juga tasawuf.

Mungkin jika ada, adalah ketika kita membaca Shirah Nabawy atau kisah hidup Baginda Nabi Muhammad Saw. yang pada usia relatif muda sudah berdagang ke Negeri Syam, namun hanya berhenti di situ saja. Selebihnya, penulis tidak menemui pelajaran yang mengupas lebih dalam dan menjadi satu disiplin ilmu yang khusus mengulik tentang: misalnya tema ahammiyatul iqtisody wat tijaroh fil Islam (Urgensi Ekonomi dan Perdagangan dalam Islam).

Terkecuali jika pesantrennya memang ada pendidikan formal sekolah paginya semisal madrasah tsanawiyah atau setingkat sekolah menengah pertama, juga di tingkat madrasah aliyah atau sejajar dengan sekolah menengah atas; barulah di sana diajarkan pelajaran ilmu ekonomi dasar. Namun ketika masuk di sistem madrasah diniyahnya, atau pesantren yang murni mengkaji khazanah Islam klasik, atau yang dikenal luas di Jawa sebagai pesantren salaf, maka kesulitan sekali kita mendapatkan gemblengan pelajaran ekonomi dan pentingnya menumbuhkan kesadaran ekonomi di era industri 4.0 ini.

Baca juga:  Saya Bermaksiat, Apakah Kehendak Allah?

Ada semacam doktrin yang terbangun selama ini, “Tenang saja, Gusti Allah sudah mengatur, dunia hanya sementara, akhirat selamanya.” Memang benar, tetapi kita sekarang masih hidup di dunia, maka selain mengupayakan amal akhirat tentuya ya harus mengupayakan dunia.

Padahal jika bekerja diniati sebagai tholabul halal atau tholabul ar-rizq untuk menafkahi keluarga, maka amalan yang kelihatannya identik dengan dunia itu sejatinya bernilai akhirat. Kesadaran tentang etos kerja ini penting sekali, tentang umat Islam dengan tingkat kesejahteraan yang layak, hidup yang makmur sehingga ibadah bisa lebih fokus dan tidak lagi memikirkan besok pagi mau makan apa.

Pada akhirnya, sebuah harapan besar bahwa tidak ada yang terbelakang terkait kemampuan ekonomi ummat. Karena jika ada yang tertinggal secara ekonomi, apabila kurang qonaah,atau tidak dapat menerima keadaan secara lapang dada, maka yang muncul adalah kekufuran atas nikmat Tuhan, ia akan bisa masuk ke perangkap kekufuran. Kata Nabi yang masyhur, “kaada al faqru an yakuuna kufran”, bahwa hampir-hampir karena miskin, karena melarat, karena faqir, orang bisa kufur lalu na’udzubillah juga bisa kafir.

Kita tentu pernah mendengar, ada kaum muslim yang kekurangan secara ekonomi lantas masuk ke tempat ibadah lain atau menerima bantuan dari rumah ibadah lain, atau bahkan berpindah ke agama lain. Seandainya ekonomi keummatan diperkuat, insya-Allah hal-hal yang demikian bisa diminimalisir atau bahkan syukur-syukur tidak ada lagi.

Baca juga:  Melepaskan NU dari Konteksnya: Problematik Metodologis Mietzner dan Muhtadi

Kita butuh ummat Islam yang mandiri secara ekonomi, mampu bersaing di industri global. Kita ummat Islam idealnya tidak hanya menikmati teknologi dan sekedar menjadi penonton penggembira. Maka, urgensi penguatan kesadaran ekonomi di lingkup pesantren ini alangkah baik jika dipikirkan kembali. Penulis harus mengakui, bahwa penulis sendiri merasa terlambat menyadari apa itu etos kerja, apa itu menjadi individu yang mandiri secara ekonomi. Mumpung kita kaum santri belum lebih jauh terlambat.

Kita mungkin harus melihat ke masa lalu, bahwa Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, Ustman bin Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Muadz bin Jabbal, Khalid bin Walid, Abu Ubaidillah bin Jarrah dan masih banyak tokoh yang lain. Mereka semua adalah pebisnis handal yang banyak mendapatkan kesuksesan dari bisnis yang digeluti. Diantara mereka, ada yang berprofesi sebagai saudagar, ada yang tuan tanah, memiliki banyak hewan ternak dan kebun-kebun yang terhampar luas.

Abdurrahman bin ‘Auf misalnya, ia dikenal sebagai Sahabat Nabi Muhammad Saw yang pandai berdagang dan sangat ulet. Dikenal sebagai seorang saudagar besar yang memiliki kecerdasan dan kejujuran yang luar biasa. Setiap kali memulai usaha menjual ataupun membeli barang dagangan, dapat dipastikan ia berhasil memperoleh keuntungan. Abdurrahman bin ‘Auf bahkan sering disebut “bertangan emas”

Baca juga:  Islam Moderat Harus Berbenah

Tidak cukupkah sepenggal kisah Nabi dan Sahabatnya tersebut kita jadikan ibrah dan kita ikuti-teladani? Mari berbenah.

Ponorogo, 28 Agustus 2021

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top