Moh. Rofqil Bazikh
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di Garawiksa Institute.

Al-Qur’an dan Kepentingan Manusia

Ada satu dimensi lain dari al-Qur’an yang barangkali tidak banyak disinggung. Setelah memasuki abad belakangan, hal tersebut mulai tampak ke permukaan. Yaitu, dimensi manusiawi dalam al-Qur’an itu sendiri. Di lain sisi doktrin yang sudah mengakar kuat ialah meletakkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab pegangan. Ia adalah pegangan bagi setiap orang yang mendaku muslim. Hal tersebut memang tidak bisa diingkari. Saya mengakui bahwa al-Qur’an tidak bisa diganggu-gugat posisinya sebagai sebuah pedoman. Hanya di posisi itu. Namun, pembahasan di sini akan mengarah ke hal lain yang masih minim disinggung ketika kita bergelut dengan al-Qur’an.

Pertama, pemahaman ihwal al-Qur’an masih didominasi oleh dinamika tafsir. Secara kasar, apa yang sampai ke hadapan kita kebanyakan adalah penafsiran para sarjana Islam baik awal sampai pertengahan. Hal tersebut pada dasarnya tidak ada persoalan, tetapi problem itu muncul ketika tanpa sadar sebagian kita menjadikan tafsir sebagai hal dogmatik. Pemahaman seperti ini akan banyak kita temui, itulah mengapa sebagian kita kadang gagal memisahkan domain tafsir dan teks al-Qur’an itu sendiri. Saya menganggap bahwa apa yang telah disampaikan oleh tafsir hanyalah sebuah produk yang bersumber dari al-Qur’an. Ia tetap tidak boleh memegang kebenaran sendiri, seolah-olah paling otoritatif. Apalagi, makna yang terkandung dalam al-Qur’an sering kali tidak singular.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Humazah dan Khasiatnya (Bagian 4)

Membahas tafsir barangkali kita akan sedikit disuguhkan dengan beragam kepentingan. Entitas bernama tafsir kemudian menjadi hal yang juga sarat akan kepentingan. Tafsir ini seringkali sarat dengan muatan ideologi seorang mufassir. Untuk itu saya mencoba membuka ruang pembacaan terhadap al-Qur’an—secara tersirat dengan kepentingan saya personal. Sebagaimana saya sebut di muka, bahwa al-Qur’an sejatinya punya dimensi manusiawi yang kerap dilupakan. Ketika kita membahas al-Qur’an, lebih-lebih ketika berbicara penegakan hukum sesuai al-Qur’an, seringkali melupakan dimensi manusiawi. Apa yang dikatakan al-Qur’an seolah-olah harus ditegakkan tanpa melihat bagaimana sosi-kultural di mana al-Qur’an itu berdiri. Di tengah-tengah manusia yang eksistensinya juga harus diperhatikan.

Sudut pandang tersebut tidak bisa dipandang remeh. Memang benar al-Qur’an memuat unsur ilahiat, tetapi bukan berarti harus menginjak kepentingan manusia. Hal-hal seperti itu akan sangat rawan dijadikan sebagai sebuah pembenar untuk tidak memerhatikan kepentingan manusia. Padahal, mau tidak mau, kebutuhan kita harus mendapat perhatian lebih dari al-Qur’an. Hanya dengan ia sebagai kitab suci bisa relavan di mana pun berpijak. Bukannya al-Qur’an diturunkan untuk merespon banyak persoalan di bumi?

Ketika problemnya semakin kompleks, kita tidak akan menggunakan pembacaan lama. Problem hari ini sudah jauh melampaui apa yang banyak dibahas oleh para sarjana Islam awal. Jika Anda memerhatikan pembacaan mereka cenderung kepada unsur ilahiah(teosentris), tentu  bisa dimaklumi karena Islam pada tahap penyebaran. Namun, untuk hari ini, problem melampaui teosentris-eskatologis. Problem kita adalah kemanusiaan, kesetaraad, kebebasan, dan semacamnya. Dengan demikian pembacaan terhadap al-Qur’an lebih ideal jika ditekankan kepada aspek manusiawi-antroposentris[Aksin Wijaya, 2011:212]

Baca juga:  Tafsir Surat Al-Hijr Ayat 9: Jaminan Allah atas Terjaganya Orisinalitas Al-Qur’an

Barangkali pembacaan seperti yang sudah saya jabarkan akan mendapat sedikit pertentangan. Pertentangan adalah hal yang sangat alamiah di sini. Sebagian akan menganggap bahwa al-Qur’an tidak harus sesuai kepentingan manusia. Lalu untuk kepentingan siapa? Tidak mungkin untuk kepentingan Tuhan yang jelas-jelas sudah Maha Kuasa. Lagi pula, kepentingan manusia di sini bukan berarti hendak membenarkan hal yang keliru dengan legitimasi al-Qur’an. Tidak seperti itu nalarnya. Melainkan pembacaan terhadap al-Qur’an yang diharuskan memerhatikan aspek manusia. Musabab manusia di sana sebagai sebuah objek dari implemntasi apa yang ada al-Qur’an. Kalau tidak membawa maslahat terhadap manusia, berarti ada yang keliru terhadap pembacaan tersebut.

Akhirnya, saya hanya berusaha mengulik kembali hal yang tak jarang terlupakan ketika melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an. Harusnya tidak ada sikap abai terhadap posisi manusia di situ. Eksistensi manusia jelas-jelas butuh diperhatikan dan kepentingannya patut dibela. Tuhan menjadikan agama dan menurunkan kitab pedoman tidak tidak hanya sebagai pijakan, tetapi juga terwujudnya keadilan. Barangkali ini adalah pembacaan yang sarat akan kepentingan—sebagaimana sebagai tafsir. Namun, kepentingan di sini saya kira sebagai kepentingan bersama. Dan menjadikan al-Qur’an sebagai kitab yang tidak pernah lekang oleh waktu dan adaptif terhadap realitas terbaru.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top