Pengajian-pengajian di sekian stasiun televisi semakin wagu dan disesaki iklan-iklan. Penonton sulit merenung, kepikiran ingin membeli “ini” dan “itu”. Selama puluhan tahun, iklan malah jarang banget dijadikan tema penting bagi intelektual atau penceramah di televisi. Oh, sekian tokoh dianggap paham agama itu menjadi bintang iklan. Kita pamitan dulu dari pengajian-pengajian di televisi berpindah ke kertas-kertas berbau apek dan berdebu. Kita mau pengajian di majalah. Di depan mata, tulisan itu anggap saja seperti disuarakan seperti di pengajian. Kita pun mengandaikan setiap penceramah selama Ramadan di desa atau kota, membuat catatan 2 atau 3 halaman. Catatan-catatan itu membuktikan tema bakal disampaikan ke umat tak berulang dan bergerak ke tema-tema keseharian. Semua catatan dikumpulkan dan dijilid. Kita bakal memuji para penceramah telah sanggup merenung dan menulis, sebelum memberi renungan ke jemaah dengan tatanan kata mudah ditebak.
Tema pengajian adalah kurma. Pembahas bernama H Munawar Chalil. Di majalah Pesat edisi 13 Juni 151, H Munawar Chalil mengingatkan umat mengenai makanan. Duh, pengajian bertema makanan sering menggoda mulut dan perut. Tema serius dilambari argumentasi. Sekian masalah sering diperdebatkan umat Islam di Indonesia. “Dari beberapa hal–jang sesungguhnja perkara ketjil itu–ialah soal kurma, jang umumnja oleh kaum muslim di Indonesia masih dianggap suatu perbuatan jang utama apabila orang jang berpuasa itu berbuka dengan buah kurma,” ujar H Munawar Chalil. Wah, tema seru sambil kita mengingat iklan di televisi: selalu ada kurma di Indonesia. Oh, mbak manis di iklan bilang bahwa kurma dipanen di Arab dan dikemas di Indonesia. Mbak manis lupa melanjutkan: “dimakan orang Indonesia.” Sepanjang masa! Iklan dibuat sebelum mengikuti pengajian di majalah.
Kita demi kitab dipelajari untuk mendapat tafsir H Munawar Chalil. Kita sampai di kalimat: “Maka perlu kami ulangi lagi, bahwa jang mendjadi tudjuan berbuka dengan kurma itu ialah manisnja, bukan ‘kurma’-nja. Djadi, andai kata kita berbuka dengan memakan pisang-radja itu sudah dapat keutamaan seperti kita berbuka dengan kurma.” Beliau mengusulkan orang-orang berbuka puasa dengan pisang. Jangan berlebihan atau memiliki pemahaman kolot bahwa berpuasa wajib ada kurma. Gandrung kurma mengakibatkan pengusaha atau pedagang mendatangkan ratusan ton dari Arab. Pengajian di majalah belum membahas bisnis kurma tapi mengingatkan pisang. Kurma telanjur idaman setiap Ramadan. Bingkisan-bingkisan Ramadan dan Lebaran sering berisi kurma. Di pasar dan warung, kurma itu dagangan. Kurma terlalu menangan memberi kesan-kesan Ramadan di pelbagai negeri.
Pisang? Kita mengangguk tanda mufakat. Berbuka puasa dengan pisang saja. Kini, kita berpindah majalah untuk mengikuti pengajian kuliner bertema pisang. Di majalah Selera edisi April 1986, kita membaca keterangan: “Pisang yang biasanya dimakan langsung adalah pisang ambon putih, pisang ambon mulut, pisang raja sere, pisang susu, pisang emas dan lain-lain. Pisang yang harus dimasak lebih dulu bila akan dimakan yaitu pisang banghulu, pisang tanduk, pisang kijang, dan lain-lain. Sedangkan pisang yang dapat dimasak lebih dulu atau dimakan langsung adalah pisang kepok dan pisang raja bulu.” Pisang itu tema manis jarang disampaikan di mimbar-mimbar dalam masjid. Kita sudah terbiasa bersantap pisang saat berbuka puasa. Lihatlah, orang-orang ketagihan berbuka dengan kolak! Di situ, kita menemukan pisang. Di piring, kita kadang bertemu gorengan: tempe, tahu, bakwan. Pisang goreng pun ada: enak disantap sambil mengingat pesan H Munawar Chalil, puluhan tahun lalu.