Seorang muslim diperintahkan untuk berlaku adil kepada sesama manusia dan hewan sekalipun. Jika mengamalkannya, sifat adil ini menjadi modal berharga untuk membantu menimbang dan meletakkan masa lalu sesuai proporsinya. Allah berfirman:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan.” (QS. Al Maa’idah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsirnya mengomentari ayat di atas, “Tegakkan itu kepada kerabat, orang jauh, kawan maupun musuh… sebagaimana kamu bersaksi untuk membela temanmu maka kamu pun harus mau bersaksi untuk melawannya, sebagaimana kamu bersaksi melawan musuhmu, maka kamu pun harus bersaksi membelanya.”
Jika kita seksamai, transisi kekhalifahan Umayyah menuju Abbasiyah telah merenggut nyawa kaum muslimin. Namun demikian, Kekhalifahan Abbasiyah akhirnya meneruskan estafet peradaban Islam dengan menjaga batas-batas negeri kaum muslimin, menggiatkan ilmu pengetahuan, menyuburkan aktivitas keagamaan, memuliakan ulama, dan juga melahirkan warisan pengetahuan yang imbasnya terasa hingga di barat sampai hari ini. Tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Begitu juga pendahulunya, Bani Umayyah, yang telah mengembangkan syiar Islam ke penjuru Asia hingga menembus Spanyol. Banyak khalifah shalih dan pejuang tangguh di zamannya. Sejumlah sahabat Nabi pun sempat hidup di zamannya. Islam menembus pesisir Afrika Utara hingga bersemayam di Spanyol. Di Spanyol, Islam tidak datang untuk mengeksploitasi, membajak sejarah negeri itu, atau memberangus kebudayaan dan kearifan lokal.
Sebaliknya, di Andalusia berdiri mercusuar ilmu dimana para pelajar Eropa datang ke universitas-universitas di Andalusa. Andalusia berkontribusi terhadap renaissance Eropa. Namun bukanlah ia tanpa cela; rentetan perang saudara yang melibatkan sejumlah sahabat Nabi, model kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf yang tidak mengundang simpati, serta segelintir khalifah yang condong pada dunia, sebab demikianlah dunia dimana tidak ada manusia tanpa cela kecuali para utusan. Jika kita membaca apa yang terjadi pada Husein bin Ali radhiallahuanhu, hati siapa yang tidak pilu?
Ada kebenaran dalam ucapan George Santanaya bahwa siapa yang tidak mempelajari sejarah maka ia akan mengulang kesalahan masa lalu. Namun demikian, menelisik sejarah tidak melulu tentang kelamnya sejarah, kemalangan para pendahulu, kepedihan perang saudara, sakitnya pengkhianatan, kejinya kefasikan, mencekamnya wabah, dan kepiluan saat raja-raja shalih wafat, melainkan juga bergembira dengan kejayaan mereka, tersentuh dengan kedermawanan mereka, terharu oleh ketakwaan dan kewaraan mereka, terinspirasi dengan tradisi ilmu mereka, serta terpecut oleh semangat mereka dalam menjaga agama dan wibawa kaum muslimin dimana saja berada.
John Lukacs dalam bukunya A Student’s Guide to the Study of History berkata bahwa manusia tidak dapat berfungsi tanpa ingatan, dan ingatan itu elemen penting dalam sejarah. Bahkan, tidak ada satupun fungsi dari otak melainkan ia berkaitan dengan memori. Segala sesuatu memiliki sejarah, bahkan sejarah itu sendiri pun memiliki sejarah (sejarah dari sejarah kerap disebut historiografi). Anda dan saya memiliki sejarah. Dengan ingatan masa lalu kita itulah yang membantu langkah ke depan.
Francis Bacon pernah berkata: History makes men wise. Namun bijak saja tidak cukup. Dekat dengan sejarah menyadarkan kita bahwa sejak dahulu hingga Hari Akhir nanti, tidak ada raja, tentara, ulama, dan jelata yang sempurna sebab manusia di dunia adalah tentang tarik-menarik antara baik dan buruk. Bukankah manusia terkadang di atas kebenaran dan di lain waktu ia khilaf?
Sejarah memungkinkan kita melihat apa yang dominan dari suatu kaum, dan alasan mengapa salafushalih begitu mulia adalah karena apa yang mendominasi mereka meski kekurangan itu mesti ada. Mengakrabi sejarah, Insya Allah, membantu kita menempatkan segala sesuatu sesuai tempat semestinya, bukan hanya terhadap sejarah namun juga dalam segala hal. Wallahu A’lam.