Di antara kitab karya ulama Nusantara yang masyhur diajarkan sebagai pedoman untuk memahami ilmu qiraat sab’ah adalah kitab Faidhul Barakat karya Romo Kiai Arwani Amin, pendiri pondok Yanbu’ Qur’an di kota Kudus.
Saya teringat dahulu ketika Kiai Maftuh Basthul Birri mengajarkan kitab Faidhul Barakat kepada kami dengan sangat terperinci. Di bawah asuhan Kiai Maftuh inilah saya merasakan khazanah ilmu yang luar biasa dalam ilmu qiraat.
Di antara resep pengajaran yang selalu Kiai Maftuh tekankan adalah selalu memakai banyak kitab rujukan sebagai pelengkap dari kitab yang diajarkan. Tak jarang, dalam mengajarkan kitab Faidhul Barakat, beliau banyak pengutip pendapat para ulama qiraat sebagai catatan penting. Di antara kitab-kitab rujukan beliau adalah kitab Ghaits an-Naf’I karya syeikh Abu Hasan Ali An-Nuri, kitab Budur az-Zahirah karya Syeikh Abdul Fattah al-Qadhi, kitab Siraj Al-Qari’ karya Syeikh Ali d-Dhobba’, dan masih banyak lagi.
Dari sederet kitab-kitab tebal nan rumit yang beliau jadi rujukan tersebutlah satu kitab yang aduhai sekali bagi saya. Kitab tersebut bernama “Ushul An-Nayyirat fi al-Qiraat” yang secara sengaja saya pinjam dari perpustakan Kiai Maftuh untuk bekal belajar pribadi saya.
Saking semangatnya kala itu, kitab milik Kiai Maftuh yang satu ini menjadi korban tangan jahil saya yang suka corat-coret banyak halaman di dalamnya. Bagi saya, kitab ini sangat istimewa karena dua hal:
Pertama, kitab “Ushul An-Nayyirat fi al-Qiraat” ini adalah kitab kontemporer yang memiliki konsep berbeda dengan kitab-kitab ilmu qiraat kebanyakan. Kitab ini adalah kitab pertama di bidang ilmu qiraat yang disusun secara sistematis dengan model tabel dan bagan pada setiap bab pembahasannya. Tentu ini menjadi kelebihan tersendiri dibandingkan kitab-kitab qiraat lainnya yang kebanyakan susah dipahami dan dipraktikkan karena hanya sebatas teori tertulis tanpa adanya tabel yang memudahkan pembaca untuk memahami konsep ilmu qiraat. Misal, penulis memberikan tabel untuk perbedaan cara baca di antara riwayat bacaan Qalun dan riwayat Warsy dari qiroah imam Nafi’. Begitu juga, penulis memberikan bagan untuk menerangkan pembagian hukum panjang pendek bacaan mad dalam qiraat Abu ‘Amr al-Bashri dan sejenisnya.
Selain itu, kitab ini memiliki tebal keseluruhan hanya 484 halaman. Tentu untuk sebuah kitab yang menjelaskan sepuluh qiraat kitab ini adalah kitab yang sangat ringkas. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan kitab ilmu qiraat lainnya yang berjilid-jilid tebalnya. Tak jarang, tebalnya kitab-kitab rujukan ilmu qiraat dan tingkat kesulitannya menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagi banyak santri. Menurut saya, dengan ringkasnya kitab ini membuat spembaca merasa semangat untuk menekuni ilmu qiraat, setidaknya pengalaman saya.
Kedua, kitab “Ushul An-Nayyirat fi al-Qiraat” ini adalah kitab yang ditulis oleh seorang perempuan bernama Dr. Amani binti Muhammad ‘Asyur yang memiliki kepakaran dalam ilmu qiraat. Bagi saya, hal ini adalah suatu hal yang luar biasa karena sangat sedikit sekali ulama perempuan yang membidangi ilmu qiraat. Dan lebih hebatnya lagi karya tulis luar biasa ini adalah sebuah terobosan besar dalam sistemisasi ilmu qiraat yang belum sedikitpun terfikirkan oleh para ulama sebelumnya. Kitab ini menjadi bukti bahwa perempuan dapat berkarya sangat hebat sebagaimana laki-laki asalkan memiliki ketekunan dan pemikiran yang cemerlang.
Di antara sekian sambutan dalam kitab ini, terdapat sebuah halaman ungkapan rasa terima kasih yang penulis persembahkan untuk suaminya yang ia sebut dengan Abu Walid. Dari tulisan dalam halaman ini, saya menjadi sangat kagum kepada sang penulis. Di balik kesuksesannya dalam menulis beberapa buah karya tak lupa sang penulis menyampaikan ungkapan terima kasihnya kepada pasangan hidup yang telah menemani kesuksesannya. Saya sebagai jomblo saat itu merasa begitu iri kepada suami dari sang penulis, “Ah, alangkah indahnya memiliki istri yang cerdas, produktif menulis, sholihah dan membuat bangga suami.”
Sebagaimana banyak kitab qiraat, pada bab pertama penulis menjelaskan istilah-istilah dalam ilmu qiraat serta sejarah ilmu qiraat secara terperinci. Kemudian, di bab-bab selanjutnya penulis memasukkan setiap qiraat ke dalam bab-bab tersendiri. Dalam penyusunan setiap babnya, penulis menyertakan catatan-catatan khusus agar para pembaca lebih mudah memahami rumus-rumus qiraat. Selain itu, penulis juga menyebutkan bait-bait syair Hirzul Amani wa Wajh at-Tihani dan syair Thayyibah an-Nasyr fi Qiraat al-‘Asyr sebagai sumber rujukan terpenting dalam ilmu qiraat.
Dari kitab ini, saya belajar bahwa sebuah terobosan harus selalu ada agar ilmu qiraat memiliki hal baru yang dapat ditawarkan kepada para pembaca. Hal ini saya rasakan betul karena ilmu qiraat bukanlah seperti ilmu fikih yang dapat berkembang permasalahan hukumnya mengikuti tantangan zaman. Justru, ilmu qiraat adalah ilmu yang berdasarkan pengajaran guru ke guru hingga Rasulullah. Di sisi lain, semakin lama peminat ilmu qiraat semakin sedikit karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi dan waktu belajar yang tidak sedikit.
Tentu, solusi yang dapat ditawarkan adalah mengubah sistem pembelajaran dan sistem gaya penulisan buku-buku dalam bidang ilmu qiraat agar lebih mudah dipahami dan lebih menarik dihadapan para santri. Dan hal ini saya menemukan dalam kitab “Ushul An-Nayyirat fi al-Qiraat” ini.