Dosen di UNU Jakarta. Selain itu, menulis buku dan menerjemah

Kitab Astronomi Beraksara Pegon Berbahasa Sunda

84521552 10157884817069696 2715546519469031424 N

Berikut ini adalah kitab berjudul “Tahqîq al-Hilâl” karya KH. Umar Basri Fauzan (1345 H/ 1927 M), pendiri Pesantren al-Fauzan yang terletak di lereng Gunung Papandayan, Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan berisi kajian ilmu astronomi, khususnya terkait keharusan metode “ru’yatul hilal” untuk menentukan awal mula bulan hijriyah.

Dalam keterangan, disebutkan jika kitab “Tahqîq al-Hilâl” ini diselesaikan di Pesantren al-Fauzan, pada malam purnama bulan Sya’ban tahun 1345 Hijri (bertepatan dengan Februari 1927 Masehi). Tertulis di bagian akhir karya:

جمعه الفقير محمد عمر بصري بن محمد أذرعي ليلة البدر من شعبان المعظم عام 1345 هجرية على صاحبها أزكى الصلاة والسلام

(Dihimpun oleh al-Faqir Muhammad Umar Basri b. Muhammad Adzro’i pada malam purnama bulan Sya’ban tahun 1345 Hijriah, semoga shalawat dan salam terbaik senantiasa tercurah untuk sang pemiliknya [Nabi Muhammad]).

Saya mendapatkan kitab ini sebagai hadiah berharga dari al-Mukarrom KH. Aceng Hilman b. Muhammad b. Umar Basri, ajengan-intelektual muda dari keluarga pengasuh Pesantren al-Fauzan Garut saat anjangsana ke pesantren tersebut bersama rombongan dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta, pertengahan bulan Januari yang lalu.

Selain memuat karya KH. Umar Basri Fauzan, naskah kitab ini juga dilengkapi oleh sejumlah karya lain yang penting, yang dihimpun oleh KH. Manshur Mu’min dari Pesantren Cimasuk, Garut. Di antara karya-karya pelengkap itu adalah ulasan dan penjelasan atas karya “Tahqîq al-Hilâl” karya KH. Umar Bashri Fauzan, polemik antara ulama “ahli ru’yah vis a vis ahli hisab” di Garut sejak tahun 50-an hingga 90-an, termasuk manaqib sejumlah ulama Sunda yang hidup di peralihan abad XIX dan XX.

Baca juga:  Secara Astronomis, Tidak Tampak Hilal Awal Syawal pada 11 Mei

Karya yang dihimpun oleh KH. Manshur Mu’min Cimasuk ini ditulis dalam bahasa Arab dan Sunda aksara Arab (Sunda Pegon). KH. Manshur Mu’min Cimasuk Garut sendiri adalah putra dari KH. Eumed Ahmad Cimasuk (w. 1979), yang masih terhitung sebagai murid dari KH. Umar Basri Fauzan.

Selain itu, dalam kitab ini juga disinggung sosok tiga ulama Sunda yang hidup sezaman dan memiliki hubungan dekat. Ketiganya adalah KH. Umar Basri Fauzan (Garut), KH. Ahmad Syathibi Gentur (Cianjur), dan KH. Muhammad Rusdi Haurkoneng (Garut). Tiga ulama tersebut terbilang sebagai ulama sentral Sunda pada zamannya, yaitu paruh pertama abad ke-XX.

Disebutkan pula jaringan intelektual ulama Sunda yang bersumber dari ketiga tokoh di atas. Di antara guru-guru mereka adalah KH. Shoheh Bunikasih (Cianjur) dan KH. Muhammad Adzro’i Bojong (Garut), yang masih terbilang sebagai orang tua KH. Umar Basri b. Muhammad Adzro’i (Fauzan, Garut). Dua ulama tersebut disebut sebagai murid dari Syaikh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860), Grand Syaikh al-Azhar Kairo, Mesir, ketika keduanya belajar di Timur Tengah.

Disebutkan juga beberapa guru KH. Umar Basri Fauzan dan KH. Ahmad Syathibi Gentur lainnya, termasuk ulama-ulama besar Sunda yang berpengaruh pada peralihan abad XIX dan XX. Di antara mereka adalah KH. Nahrowi b. Thobari dari Pesantren Keresek (Garut), KH. Syuja’i dari Pesantren Kudang (Tasikmalaya), KH. Utsman dari Pesantren Haurkoneng (Garut, kakek dari KH. Muhammad Rusdi), juga Syaikh Muhammad Garut di Makkah yang dikenal dengan julukan “Ajengan Jabal Qubais” dan “Wali Jawa di Makkah”. Syaikh Muhammad Garut-Makkah ini diidentifikasi berasal dari Cibunut, Suci, Garut.

Baca juga:  Awal Ramadan 2019, NU, Muhammadiyah dan Pemerintah Kompak. Mengapa?

Selain menyebutkan ulama-ulama di atas yang terhitung sebagai generasi guru dari KH. Umar Basri Fauzan, KH. Ahmad Syathibi Gentur, dan KH. Muhammad Rusydi Haurkoneng, dalam kitab ini juga disebutkan ulama-ulama Sunda lainnya yang menjadi generasi murid dari ketiganya. Di antara mereka adalah KH. Eumed Ahmad Cimasuk, KH. Muhammad Yusuf Galumpit, KH. Syarifuddin Tasikmalaya, KH. Mukhtar Cianjur, KH. Badruddin Kudang (putra KH. Syuja’i Kudang), KH. Syadzili Cikole (Ciamis), KH. Kholil Ciherang, dan lain-lain.

Sayangnya, dalam kitab ini tidak banyak disebutkan data tarikh terkait ulama-ulama di atas, baik tarikh lahir dan wafat, atau pun tarikh pengembaraan intelektual mereka.

Hal menarik lainnya yang disinggung dalam kitab ini adalah sosok KH. Muhammad Rusdi Haurkoneng yang dikatakan sebagai ulama muda dari Sunda yang kapasitas keilmuannya mengungguli ulama-ulama Sunda lainnya di zamannya, bahkan menjadi guru para ulama sepuh Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Hatta, ketika KH. Muhammad Rusdi Haurkoneng berada di Makkah, justru banyak ulama Makkah yang datang untuk belajar kepadanya, di antaranya adalah Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920) dan Syaikh Muhammad b. Ahmad b. Bakrî Syathâ al-Dimâthî (cucu Syaikh Bakrî Syathâ al-Dimyathî [w. 1890], pengarang kitab “I’ânah al-Thâlibîn” yang terkenal).

Wallahu A’lam
Bogor, Jumadil Awwal 1441 Hijri/ Januari 2020 Masehi. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top