Raden Ali Rahmatullah, itulah nama yang disematkan pada salah satu anggota Walisongo tersohor, Sunan Ampel. Di masa kecilnya, Sunan Ampel dipanggil dengan nama Raden Rahmat. Beliau lahir di Champa pada tahun 1401 M dan wafat di Demak pada tahun 1481 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Dalam diri Sunan Ampel megalir darah ulama yang santun dan bijaksana serta darah bangsawan yang senantiasa peduli dengan nasib rakyatnya. Ayahnya, Syaikh Ibrahim as-Samarkandi yang dalam naskah Nagarakretabhumi sarga IV disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar dan bergelar Syaikh Jatiswara merupakan seorang ulama dari negeri Samarkand (Uzbekistan), sementara Ibunya, Dewi Candrawulan merupakan puteri Negeri Champa.
Masa kecil Sunan Ampel dihabiskan untuk belajar agama dari ayahnya langsung di negeri Champa bahkan hingga ke negeri Pasai (Aceh). Setelah beranjak dewasa (sebagian sumber menyebutkan saat genap berusia 20 tahun), Sunan Ampel diajak oleh sang ayah untuk berkelana ke tanah Jawa bersama kakaknya, Raden Ali Murtadho (Raden Santri). Tujuan pengembaraan ini selain untuk berdakwah adalah untuk mengunjungi uwaknya dari negeri Champa, Dewi Andarawati (Handarawati) yang juga dikenal dengan nama Dewi Murtaningrum, Istri Brawijaya V, Bhre Kertabhumi.
Setelah melewati Palembang dan berhasil mengislamkan Arya Damar, Adipati Palembang, rombongan Sunan Ampel melanjutkan perjalanan ke Jawa melalui pelabuhan Jepara hingga akhirnya sampai di Tuban. Dalam perjalanannya di Tuban inilah ayah Sunan Ampel meninggal dunia dan dikuburkan di Tuban tepatnya di desa Gresikharjo. Sepeninggalan ayahnya, Sayyid Ali Murtadho melanjutkan perjalanan untuk berdakwah ke Timur (Madura, Nusa Tenggara dan Bima), sementara Sunan Ampel melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Majapahit sesuai dengan niat awal untuk menengok uwaknya, Dewi Andarawati.
Menyemaikan Moderasi di Bumi Majapahit
Majapahit sejak lama digambarkan sebagai negeri yang mampu memahami pluralitas sebagai sebuah realitas yang perlu dijaga. Adagium Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, namun tetap satu jua) yang digagas Mpu Tantular mampu mengayomi masyarakat yang plural dan multikultural. Hal ini semakin tampak jelas saat Gadjah Mada menyatukan nusantara di bawah panji-panji Majapahit.
Saat Sunan Ampel datang ke Majapahit, kondisi politik kerajaan sudah sangat melemah bahkan sudah diambang kehancuran, ditambah lagi dengan adanya degradasi atau kemerosotan moral dari beberapa pejabat kerajaan dan sebagain besar rakyat Majapahit. Meskipun demikian, penghormatan terhadap Imigran Asing seperti Sunan Ampel dan rombongan dari Champa ini tidaklah berkurang sedikitpun. Selain karena masih ada hubungan kekerabatan dengan Dewi Andarawati, Istri Brawijaya V, rombongan dari Champa ini juga diyakini sebagai kaum intelektual yang juga diharapkan mampu memperbaiki kondisi moral rakyat Majapahit meskipun kepercayaan mereka berbeda dengan rakyat Majapahit.
Di kerajaan Majapahit, Sunan Ampel berdakwah dengan sangat moderat. Sunan Ampel mengawali dakwahnya dengan spirit cinta untuk memperbaiki moral sesama manusia. Menurut Sunan Ampel, orang yang moralnya baik selain akan lebih mudah menerima kebenaran Islam juga saat mereka sudah masuk Islam nantinya, mereka yang akan mampu menampilkan kebaikan Islam itu sendiri.
Dalam konteks dakwah cinta di Majapahit ini, Sunan Ampel lebih menekankan pada spirit keberagamaan yang esoteris dibanding menampilkan aspek keberagamaan yang eksoteris. Aspek esoteris di sini dimaksudkan sebagai prioritas untuk menemukan persamaan-persamaan hakiki. Menemukan persamaan antar agama-agama pada fase ini menurut Sunan Ampel jauh lebih penting daripada mengorek perbedaan eksoteris di antara agama-agama. Pola dakwah moderat inilah yang secara cepat menarik simpati rakyat Majapahit untuk memperbaiki moral dan tidak sedikit yang kemudian ikut dalam agama yang dibawa oleh Sunan Ampel.
Spirit dakwah cinta Sunan Ampel bermuara dalam sikap moderatnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam secara bertahap (tadarruj/tadriji). Kemoderatan Sunan Ampel ini pulalah yang menjadikannya memiliki kepekaan adaptasi dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Metode ini terus dipegang oleh Sunan Ampel bahkan saat beliau sudah dihadiahi tanah Ampeldentha (sekarang masuk wilayah Kota Surabaya) dan mendirikan pesantren di sana. Konsistensi Sunan Ampel dalam menampilkan aspek moderasi ini misalnya sangat tampak saat beliau menggunakan beberapa diksi yang sudah menjadi istilah paten dalam Islam untuk kemudian diganti dengan diksi yang lebih lokal. Sunan ampel mengubah istilah “shalat” dengan “sembahyang”. Hal yang sama juga dalam tempat shalat yang dikenal dengan musholla, oleh Sunan Ampel diganti dengan istilah “langgar”, yang lebih dekat dengan “sanggar”, tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa.
Dengan spirit moderasi ini, Sunan Ampel telah berhasil menampilkan manifestasi dari ajaran tauhid yang bermuara pada sikap memanusiakan manusia untuk hidup berdampingan (al-ta’ayusy al-musrtarak/coexistence) tanpa hegemoni sedikitpun. Selain itu, Sunan Ampel juga telah meletakkan dasar-dasar moderasi beragama yang pada gilirannya akan dikembangkan oleh para Walisongo sepeninggal beliau dan para penerus mereka hingga hari ini. Tradisi dakwah cinta ini sejatinya merupakan tradisi para wali, tidak hanya di Nusantara tapi di seluruh belahan dunia. Bahkan seorang sufi besar Ibnu ‘Arabi pernah bersyair:
أَدِيْـنُ بِدِيْنِ الْـحُـبِّ أَنَّى تَوَجَّـهَـتْ # رَكَائِبُهُ، فَالْـحُبُّ دِيْنِـي وَإِيْـمَاني
Jalanku adalah jalan cinta yang senantiasa kuturuti kemana pun langkahnya. Itulah agamaku dan keyakinanku.
Wallahu A’lam!!