Baru saja berlangsung rutinan pembacaan maulid Simtuddurror di Musholla Ar-Raudhah tiap Ahad malam Senin dan pada kali ini rutinan tersebut bertepatan dengan peringatan Haul Guru Sekumpul. Sosok Guru Sekumpul yang memiliki nama asli K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani bin Abdu Manaf Al-Banjari sudah lama memiliki daya tarik tersendiri sejak tahun 90 an tatkala beliau masih hidup. Baik Presiden RI (kala itu Gus Dur), aktris (Inneke Koesherawati dan Nike Ardila), budayawan (Emha Ainun Najib / Cak Nun), dan para ulama serta habaib yang tak terhitung banyaknya tentu pernah bertandang sowan ke kediaman Guru Sekumpul yang terletak di kompleks kelurahan Dalam Pagar.
Melihat antusiasme jama’ah yang hadir dari berbagai daerah di penjuru Nusantara dan mancanegara mengingatkan akan memori pribadi penulis akan antusiasme jama’ah tatkala Guru Sekumpul membuka ijazah mushofahah pada awal tahun 2003 sampai ditutup pada pertengahan tahun karena kesehatan pribadi Guru Sekumpul. Mungkin bagi para pecinta Guru Sekumpul dadakan karena testimonial dari pendakwah milenial seperti Lora Ismail Al-Kholili dan Habib Jafar Husein Al Haddar, kisah ini belum popular.
Namun jika kita tanyakan kepada masyarakat Banua yang pernah berkesempatan mengambil sanad Ijazah Mushofahah ini, tentu ada kenangan dan kisah tersendiri di benak hati mereka. Karena kesempatan ini merupakan momen istimewa dimana para jama’ah dapat bertatap muka langsung dengan Guru Sekumpul atau dapat berfoto langsung dengan beliau.
Seperti yang telah penulis kutip dalam buku biografi beliau berjudul “Figur Karismatik Abah Guru Sekumpul” yang ditulis oleh K.H. M. Anshary El Karim bin K.H. Muhammad Ideram Al-Banjari, bahwa Ijazah Mushofahah ini merupakan bentuk interaksi spiritual (rabithah) antara seorang murid dengan gurunya melalui berjabat tangan yang mana sanad ini bersambung (muttasil) kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Salman Al-Farisi, bahwa Rasulullah bersabda :
من صافحني او صافح من صافحني او صافح من صافح من صافحني إلى يوم القيامة دخل الجنّة
“Barangsiapa yang berjabat tangan denganku atau berjabat tangan dengan seseorang yang pernah berjabat tangan denganku atau berjabat tangan dengan seseorang yang pernah berjabat tangan dengan seseorang yang pernah berjabat tangan denganku sampai hari kiamat, maka ia akan masuk ke dalam surga”.
Tentu dengan dibukanya momen ijazah mushofahah tersebut yang meliputi ijazah tasbih dan ilbas (pemakaian) imamah/sorban, masyarakat Banjar pun kala itu tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengantri dari subuh sampai sore hari guna berjumpa secara langsung dengan sosok Guru Sekumpul yang telah mengajarkan berbagai ilmu agama.
Tentu tradisi ini sudah lama sekali dilakukan oleh kalangan ahli tasawuf atau ahli tarekat yang memiliki tujuan tersendiri sebagai bentuk penguatan hubungan (taalluq) spiritual antara murid dan guru yang dalam ranah tarekat biasa disebut rabithah. Hal ini didasarkan kepada pendapat Syaikh Muhammad Ali bin Husein Al – Maliki Al – Makki dalam kitabnya yang berjudul “Ain Al – Haqiqat” demikian :
وربما كان قصدهم منها الإشارة إلى نجاح المريد و بلوغه رتبة الخلافة عن شيخه
“Terkadang maksud dan tujuan dari ilbas tersebut memiliki isyarat sebagai bentuk kesuksesan seorang murid dan tercapainya tingkatan hubungan spiritual yang ada dari gurunya”. (hal. 25)
Momen ini juga digunakan oleh para jama’ah kala itu untuk memberikan hadiah kepada Guru Sekumpul berupa salam tempel dimana dalam kurun waktu setengah tahun sebagaimana penuturan dari petugas musholla Ar-Raudhah bahwa uang yang terkumpul kala itu mencapai 7,5 M dan kemudian uang tersebut oleh Abah Guru Sekumpul dibagi-bagikan kepada fakir miskir yang ada di sekitar dan kemaslahatan umat.
Inilah salah satu bentuk korelasi interaksi spiritual dan interaksi sosial yang dibina oleh Guru Sekumpul semasa hidupnya. Bahkan pasca wafatnya di tiap momen haul beliau, pola interaksi yang bersifat mutualisme ini masih berlangsung dengan tergeraknya roda ekonomi dan UMKM sekitar. Sebagaimana yang dituturkan oleh Habib Luthfi tatkala ikut hadir dalam momen haul Sekumpul ini, “Seharusnya kita malu dengan Guru Ijai / Guru Sekumpul. Beliau yang telah lama wafat masih mampu menggerakan roda ekonomi serta menghidupi UMKM-UMKM sekitar dari pada kita yang belum tentu mampu bisa seperti beliau qaddasallahu sirrahu”.
Waba’du, dari kisah Ijazah Mushofahah ini kita bisa mengambil pelajaran tentang sosok Abah Guru Sekumpul yang terus memberi manfaat kepada ummat atas terjaganya interaksi spiritual dan sosial yang telah dibangun oleh beliau rahimahumullah ta’alaa dan patutlah kita untuk meniru pola ajaran tersebut. Wallahu a’lam.