Di tengah pusaran sejarah Indonesia yang kian kompleks—saat arus politik nasional bersinggungan dengan turbulensi geopolitik global—muncul sosok KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya sebagai salah satu figur paling menentukan arah NU abad kedua. Lahir dari keluarga ulama Rembang tahun 1966, ia membawa perpaduan unik antara kedalaman tradisi pesantren dan disiplin ilmu sosial modern yang ditempanya di UGM. Pengalaman menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid memberi perspektif tambahan tentang politik kenegaraan yang plural, inklusif, dan menempatkan kemanusiaan sebagai poros moral.
Terpilih dengan dukungan kuat pada Muktamar 2021, Gus Yahya langsung memosisikan NU bukan sebagai alat politik praktis, melainkan sebagai gerakan khidmah sosial bernapas fiqih. Di sinilah pendekatan fiqih siyasah bekerja: politik dipahami bukan sebagai arena perebutan kursi, tetapi ladang maslahah untuk menjaga agama dan menjaga negara—dua poros maqāshid syarī‘ah yang saling menguatkan dalam sejarah panjang Islam Nusantara. Dengan cara pandang itu, NU diarahkan menjadi jangkar peradaban, bukan sekadar pemain di gelanggang politik musiman.
Jangkar Stabilitas Nasional–Global
Pada skala nasional, Gus Yahya berupaya merawat stabilitas kebangsaan melalui pendekatan rasional dan anti-politisasi identitas. Posisinya sebagai anggota Wantimpres di era Jokowi memperlihatkan bagaimana ia mendorong sinergi antara negara dan masyarakat sipil tanpa mereduksi independensi moral NU. Di tengah iklim politik post-reformasi yang kerap retak oleh polarisasi, NU hadir sebagai peneduh dengan pesan: lebih baik merawat kemaslahatan umum daripada mengejar kemenangan kelompok.
Pada level global, langkah Gus Yahya jelas tidak biasa: ia membawa NU ke pentas internasional sebagai duta Islam moderat melalui forum seperti R20, ISOMIL, dan berbagai inisiatif dialog lintas iman. Masuknya ia dalam daftar 20 tokoh Muslim paling berpengaruh dunia 2024 bukan sekadar prestise, tetapi cermin dari kerja diplomasi peradaban yang mulai diakui dunia. Inilah strategi fiqh al-hadharah—fiqih peradaban—yang memandang Islam bukan hanya doktrin hukum, tetapi etika hidup bersama dalam dunia yang saling terhubung.
Kontroversial tetapi visioner, Gus Yahya mengambil pendekatan pragmatis dalam isu Palestina–Israel: membuka kanal dialog ke semua pihak, termasuk yang dianggap berseberangan. Baginya, rekontekstualisasi fiqih diperlukan agar umat Islam mampu merespons dinamika global secara konstruktif, bukan reaksioner. Secara filosofis, ia ingin membawa NU menjadi model perdamaian dunia; secara politik, langkah ini menjadikan NU benteng Pancasila di tengah ancaman disintegrasi.
Gelombang Kritik
Namun perjalanan tak selalu mulus. NU era Gus Yahya juga menghadapi badai kritik. Undangan terhadap pemikir pro-Zionis Peter Berkowitz pada forum AKN NU Agustus 2025 memicu reaksi keras internal. Sebagian menilai langkah itu menyalahi prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dan melukai solidaritas terhadap Palestina yang mengalami tragedi kemanusiaan massif tahun itu. Reaksi berlanjut pada rapat Syuriyah 20 November yang menuntut Gus Yahya mundur dalam tiga hari, dibarengi tuduhan soal deviasi tata kelola dan relasi dengan pihak tertentu.
Dari sudut fiqih, kritik itu menyoroti ijtihad yang dianggap mengabaikan situasi darurat umat. Dari perspektif filosofis, sebagian menilai pendekatan Gus Yahya terlalu pragmatis hingga berpotensi mengaburkan prinsip. Secara politik, kedekatannya dengan lingkar kekuasaan—termasuk relasi keluarga dengan mantan Menteri Agama—dipahami sebagian pihak sebagai ancaman independensi NU.
Gus Yahya membalas bahwa tuduhan itu sepihak dan tidak berdasar. Sejumlah PWNU kemudian menyatakan dukungan melalui rapat konsolidasi 22 November. Polemik ini bukan sekadar soal figur, tetapi ujian kedewasaan NU sebagai organisasi berusia satu abad: apakah sanggup menavigasi perbedaan ijtihad di internal, atau justru terjebak pada turbulensi politik yang repetitif?
Kontribusi Monumental dan Jalan Keluar
Terlepas dari kontroversi, kontribusi Gus Yahya tetap signifikan. Pada level nasional, ia ikut mengokohkan masyarakat sipil dalam era pascareformasi yang penuh gejolak. Pada tataran global, ia memperkenalkan Islam Nusantara sebagai model mengatasi Islamofobia, radikalisme, dan konflik agama. Di tingkat kelembagaan, PBNU memperkuat tata kelola modern yang menuntut akuntabilitas—suatu langkah besar bagi organisasi sosial-keagamaan sebesar NU.
Agar dinamika internal tidak berubah menjadi disintegrasi, beberapa solusi penting layak ditempuh. Pertama, rekonsolidasi berbasis musyawarah dengan pendekatan bayani, ma‘nawi, dan qiyasi ala Lirboyo—menggabungkan teks, konteks, dan logika hukum. Kedua, audit tata kelola secara transparan, agar polemik tidak berubah menjadi fitnah berkepanjangan. Ketiga, penguatan fiqih peradaban untuk menghindari ekstremisme internal dan polarisasi geopolitik. Keempat, menjaga NU tetap non-partai, sehingga khidmah kebangsaan tidak terkooptasi kepentingan sesaat.
NU di era Gus Yahya adalah NU yang bergerak, NU yang berani bereksperimen, dan NU yang masih mencari titik seimbang antara tradisi dan globalitas. Kontroversi yang datang bukan sekadar beban, melainkan peluang bagi NU untuk melakukan introspeksi kolektif. Jika berhasil melewati fase kritis ini, NU berpotensi menjadi model Islam Nusantara yang matang—tangguh di dalam negeri, disegani di dunia.