Tak diragukan lagi, karena aspek universalitas inilah Al-Qur’an menyatakan kepada umat Islam seluruhnya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
“Kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan,” (Q.S. Al-Baqarah: 143). Dari bab-bab berikutnya, sepertinya akan terlihat, walaupun tanpa maksud memberikannya, bahwa tasawuf benar-benar merupakan sejenis jembatan antara Timur dan Barat.
Menurut ajaran Islam, kesempurnaan merupakan sintesis dari keagungan dan keindahan, dan tasawuf– sebagaimana banyak diekspresikan oleh para sufi–merupakan penyajian kualitas-kualitas Ilahiah ini, yang berarti pembebasan jiwa dari keterbatasan-keterbatasan manusia yang terjatuh pada kubangan dosa, kebiasaan dan prasangka yang telah menjadi watak kedua, serta menganugerahinya dengan karakteristik watak primordial manusia, yang tercipta dari citra Tuhan.
Karena itu, upacara inisiasi untuk memasuki suatu tarekat sufi sebenarnya mengambil bentuk pentahbisan: sebuah mantel (khirqah) diletakkan di atas pundak calon anggota oleh seorang syekh. Orang baru harus mengikuti pola hidup seorang ahli atau guru, karena bagian dari metode seluruh mistisisme–tak terkecuali mistisisme Islam–adalah untuk memenuhi tujuan akhir.
Seorang ahli meneruskan pola hidup yang ditempuhnya ketika masih sebagai orang baru. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa dalam kasus seorang ahli, pola hidup tersebut – yaitu pola hidup Tasawuf – telah menjadi tindakan spontan. Karena kewalian telah mampu melewati ’watak kedua’. Dalam kasus pendatang baru, pola hidup tersebut sebagian besar masih merupakan disiplin dalam rangka memulainya. Tetapi seni sakral merupakan Karunia Ilahi yang bisa membuat mudah sesuatu yang sulit.
Fungsinya-dan ini merupakan fungsi utama seni-adalah untuk mempercepat kemenangan bagi kewalian di dalam jiwa, yang karya agung dalam hal ini merupakan sebuah citra. Sebagai pelengkap disiplin-kita bisa menyebutnya kelonggaran-dia menghadirkan jalan itu sebagai kesibukan alamiah seseorang dalam pengertian harfiah, dengan mengumpulkan seluruh elemen jiwa secara bersama untuk sebuah amalan yang diyakini menuju Kesempurnaan yang dimanifestasikannya.
Orang-orang yang menyatakan bahwa tasawuf “bebas dari kungkungan agama”, sebagian disebabkan karena mereka membayangkan bahwa universalitas Tasawuf berada dalam bahaya. Tetapi, betapa pun simpati yang dapat kita rasakan terhadap keasyikan dengan aspek Tasawuf yang tidak diragukan ini, tetap tidak boleh dilupakan bahwa partikularitas atau kekhasan sepenuhnya cocok dengan universalitas. Untuk memahami kebenaran ini, kita harus memperhatikan seni sakral, yang merupakan partikular tak tertandingi dan universal tak tertandingi. Mengambil contoh terdekat dengan tema kita, seni Islam segera bisa dikenal lantaran kelainannya dengan seni sakral lainnya.
“Tak seorang pun akan mengingkari kesatuan seni Islam, baik dalam kerangka ruang maupun waktu. Ia begitu jelas, apakah seseorang merenungkan Masjid Kordoba atau madrasah agung di Samarkand, pusara seorang wali di Maghrib atau di Turkistan Cina. Semuanya seolah-olah satu, dan cahaya yang sama memancar dari seluruh karya seni ini.” Pada saat yang sama, yang demikian ini merupakan universalitas monumen-monumen agung Islam di mana dengan kehadiran salah satunya kita merasa seolah-olah berada di pusat dunia.
Jauh dari kesan menyimpang, persoalan seni sakral menggiring kita kembali pada tema sentral kita untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan “apakah Tasawuf itu?”, sebuah jawaban yang mungkin – dengan syarat jawaban-jawaban lain juga akan muncul – adalah dengan sekedar menunjuk Taj Mahal atau karya agung arsitektur Islam lainnya.
Tak seorang pun Sufi potensial yang gagal memahami jawaban ini, karena tujuan dan muara Tasawuf adalah kewalian, dan seluruh seni sakral dalam pengertian istilah yang benar dan utuh merupakan kristalisasi kesucian, seperti halnya seorang Wali merupakan inkarnasi suatu monumen suci. Keduanya merupakan manifestasi dari Kesempurnaan Ilahi.
Jika dipertanyakan: Bukankan berarti sama kita menunjuk Kuil Hampi atau Katedral Chartres dengan menunjuk Taj Mahal sebagai sebuah kristalisasi Tasawuf? Jawabannya bisa “ya”, tetapi lebih cenderung “tidak”. Masing-masing kuil Hindu atau katedral Kristen sama-sama memahaminya dan hanya menikmatinya saja akan merendahkan kualifikasinya, lantaran tidak memperhatikan tanda-tanda Tuhan dengan semestinya.
Tetapi mesti diingat bahwa seni suci diperuntukkan bagi semua anggota masyarakat tempat di mana seni suci itu berbunga. Dia juga tidak hanya merepresentasikan tujuan, tetapi juga perangkat dan sudut pandang atau, dengan kata lain, jalan terbuka menuju muara. Kuil dan katedral memang sama-sama tidak dimaksudkan untuk menampilkan ideal-ideal Islam serta menampakkannya sebagai sarana mencapai muara seperti masjid Agung dan, dalam bentuk lain, Sufi terkemuka. Tetapi tentu saja tidak mustahil menunjukkan pertalian antara model-model khusus Keagungan dan Keindahan yang termanifestasi dalam contoh-contoh seni Islam tersebut, yaitu: dalam kesempurnaan batu yang statis (masjid) atau pasangannya yang hidup dan dinamis (Sufi).
Tetapi, analisis terhadap apa yang disebut wangi spiritualitas Islam akan berada di luar lingkup buku dengan watak seperti ini. Cukup dikatakan bahwa Kesatuan Sang Kebenaran terefleksi dalam semua wahyu, tidak hanya melalui kualitas keunikan tetapi juga kualitas kebersamaannya. Maka, setiap peradaban teokratis yang agung merupakan keseluruhan yang unik dan serba sama (homogen), yang berbeda dari segala yang lain, seperti halnya buah yang memiliki perbedaan dengan yang lain tetapi memiliki rasa yang sama dalam seluruh aspeknya yang berbeda. Seorang mistikus Muslim bisa menyerahkan diri sepenuhnya, tanpa keberatan sedikitpun, terhadap karya agung seni Islam.
Jika ia merupakan sebuah tempat suci, maka dengan memasukinya dia bisa menjadikannya sebagai pakaian dan mengenakannya sebagai perpanjangan Tasawuf yang paling organik yang telah membantunya mewujudkan kemenangan dalam jiwa. Kemenangan serupa dapat dicapai melalui kuil atau katedral. Tetapi dia tidak bisa menjadikan salah satu keduanya sebagai “pakaian”, setidaknya, sampai dia telah benar-benar melampaui seluruh bentuk realisasi spiritual yang sangat berbeda dari pengertian teoretik semata.
Seni suci disebutkan di sini karena dia menyajikan contoh kecocokan yang langsung jelas antara yang universal dan yang partikular. Kecocokan yang sama juga ditampilkan oleh simbolisme lingkaran dengan titik pusat, jari-jari dan kelilingnya. Kata ‘simbolisme’ digunakan di sini untuk menunjukkan bahwa lingkaran tidak dilihat sebagai citra yang berubah-ubah, tetapi sebagai bentuk yang berakar di dalam realitas yang diilustrasikannya, dalam arti bahwa dia memberikan eksistensinya pada realitas tersebut, di mana dia merupakan sebuah perpanjangan eksistensial.
Jika Kebenaran bukan merupakan Pancaran, yang tidak memancarkan sinar gemerlap, maka tidak akan ada sesuatu yang menjadi jari-jari, bahkan yang berupa geometrik sekalipun, kendatipun sebuah jalan spiritual sendiri yang merupakan contoh tertinggi. Semua jari-jari akan lenyap dari eksistensi, bersamaan dengan proses kelenyapan ini jagad raya sendiri akan lenyap. Sebab, jari-jari merupakan salah satu yang terbesar dari seluruh simbol, lantaran dia menyimbolkan sesuatu yang menjadi tempat bergantung segala sesuatu, yaitu koneksi antara Prinsip Ilahi dengan manifestasi atau ciptaannya.
Setiap orang sadar akan ‘berada dalam sebuah titik’ atau ‘telah mencapai sebuah titik’, walaupun ini tidak lebih dari kesadaran bahwa dia telah mencapai usia tertentu. Mistisisme berawal dengan kesadaran bahwa titik ini berada dalam sebuah jari-jari. Pada saat itu, dia terus bergerak maju dengan apa yang bisa digambarkan sebagai eksplorasi fakta ini.
Di sini jari-jari merupakan cahaya rahmat ilahi yang memancar dari pusat tertinggi dan bergerak kembali pada pusat tersebut. Maka titik ini harus menjadi sebuah titik Rahmat. Dengan kata lain, harus ada realisasi atau aktualisasi yang disengaja dari Rahmat yang inheren di dalam titik, yang hanya merupakan satu-satunya bagian dari jari-jari yang masih bisa dikuasai. Ini berarti, pemanfaatan atas kemungkinan-kemungkinan rahmat yang langsung tersedia, yaitu aspek formal lahiriah agama yang, walaupun selalu dicapai, mungkin diabaikan sama sekali atau hanya digunakan secara eksoterik, yaitu dengan meletakkan titik tersebut secara terasing tanpa rujukan pada jari-jari sebagai sebuah keutuhan.
Jari-jari itu sendiri adalah dimensi mistisisme dalam agama. Jadi, dalam kasus Islam, dia adalah tasawuf, yang dilihat dari cahaya simbol ini dapat menjadi partikular ataupun universal. Partikular, karena dia berbeda dari semua jari-jari yang lain yang merepresentasikan mistisisme lain. Universal, karena, seperti jari-jari, dia bergerak kembali ke Satu Pusat.
Citra kita sebagai satu keseluruhan menyingkap kebenaran dengan jelas bahwa ketika setiap jalan mistik bergerak mendekati tujuan akhirnya, dia akan lebih dekat dari mistisisme lain daripada ketika dia masih dalam titik permulaannya. Tetapi, ada juga kebenaran pelengkap dan hampir bertentangan yang tidak bisa diungkap, tetapi dia tersirat dalam gagasan pemusatan (konsentrasi) yang diajukannya, yaitu meningkatnya kedekatan tidak berarti semakin berkurangnya perbedaan. Karena, ketika pusat semakin dekat, pemusatan semakin besar, dan jika pemusatan semakin besar, maka ‘takarannya’ semakin menguat.
Esensi yang terpusat dari Islam hanya terdapat pada seorang wali yang, dengan mencapai tujuan perjalanannya, telah membawa ideal-ideal partikular agamanya pada perkembangan yang paling tinggi dan paling sempurna, seperti halnya esensi terpusat dari Kristen hanya bisa ditemukan pada seorang Santo Francis, Santo Bernard, atau Santo Domini. Dengan kata lain, tidak hanya universalitas, tetapi juga orisinalitas setiap mistisisme partikular meningkat intensitasnya ketika semakin mendekati tujuan akhir. Tetapi tidak bisa sebaliknya. Karena orisinalitas tidak bisa dipisahkan dari keunikan, dan ini, seperti juga universalitas, perlu ditingkatkan dengan kedekatan pada Sang Kesatuan yang menganugerahkannya.
Walaupun kita sedang membicarakan tema ini, perlu disebutkan bahwa terdapat universalitas yang lebih sempit seperti juga terdapat universalitas yang lebih luas, yang sedang kita bicarakan. Semua mistisisme adalah sama-sama universal dalam pengertian yang lebih luas, karena semua mistisisme bergerak menuju Yang Maha Kebenaran. Tetapi, satu ciri orisinalitas Islam, dan karena itu ciri Tasawuf, adalah apa yang disebut universalitas sekunder, yang harus dijelaskan terutama oleh fakta bahwa sebagai Wahyu terakhir dari lingkup waktu ini, dia dengan sendirinya merupakan sesuatu rangkuman.
Kredo Islam dinyatakan oleh Al-Qur’an dengan iman “kepada Tuhan, para malaikat-Nya, semua kitab suci-Nya, dan para utusan-Nya”. Bagian berikutnya juga signifikan dalam konteks ini. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan dalam Agama Yahudi dan Kristen, misalnya firman Allah SWT: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Di samping itu - dan disinilah mengapa kita berbicara tentang ‘perputaran’ waktu - terdapat kaitan tertentu antara yang terakhir dan yang pertama. Dengan Islam, ‘roda itu telah berputar sempurna’, atau nyaris sempurna, dan karena itu mengapa fenomena itu dinilai sebagai sebuah proses kembali ke agama primordial, yang lagi-lagi memberikannya aspek lain dari universalitas.
Salah satu karakteristik Al-Qur’an sebagai Wahyu terakhir adalah bahwa kadang-kadang dia menjadi ‘transparan’ sehingga Wahyu pertama bisa menampakkan cahayanya pada setiap ayat Al-Qur’an. Sedangkan Wahyu pertama, yaitu Kitab Penciptaan, menjadi milik semua orang. Untuk menghormati Kitab ini, mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad - tidak seperti mukjizat-mukjizat Nabi Musa dan Nabi ‘Isa - tidak pernah dibiarkan berkuasa di atas panggung.
Mukjizat itu-dalam perspektif Islam-harus disediakan untuk mukjizat agung penciptaan yang, dengan perjalanan waktu, semakin dan semakin diterima dan yang perlu dipulihkan pada status aslinya. Dalam hubungan ini, merupakan hal yang relevan untuk disebutkan bahwa salah satu sabda Nabi Muhammad yang paling sering dikutip oleh para Sufi adalah Hadist Qudsi - disebut demikian karena Allah berbicara langsung - sebagai berikut: “Aku adalah kekayaan yang tersembunyi dan Aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan dunia ini”.