Dalam risalah-risalah kaum sufi, kata “samudera” ini selalu disebutkan. Demikian juga ia dihadirkan melalui referensi simbolik atas “akhir” yang menjadi tujuan mereka. Karena itu, atas dasar simbol ini, mari kita mulai menjawab pertanyaan “Apa Tasawuf itu?”: Dari waktu ke waktu wahyu ‘mengalir’ seperti gelombang pasang yang muncul dari samudera tak bertepi dan bergerak menuju pantai-pantai dunia kita yang terbatas, dan tasawuf merupakan bidang, disiplin, dan ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salah satu gelombang tersebut dan bergerak bersamanya kembali pada sumbernya yang abadi dan tak terbatas.
Istilah ‘dari waktu ke waktu’ ini merupakan simplifikasi yang memerlukan komentar. Karena tidak ada ukuran umum (common measure) antara asal gelombang tersebut dengan tujuannya, maka kesementaraannya harus, secara tidak kasat mata, menyiratkan ketakterbatasan. Karena merupakan sesuatu yang bersifat sementara, maka pertama sekali ia harus sampai ke dunia pada momen tertentu dalam sejarah.
Tetapi momen itu dalam makna tertentu akan keluar dari waktu. “Lebih baik dari seribu bulan” adalah ungkapan bagaimana wahyu Islam menggambarkan malam turunnya. Demikian juga mesti ada ‘akhir’ yang terkait dengan permulaan, tetapi ‘akhir’ tersebut terlalu jauh bagi kemampuan ramalan manusiawi. Institusi-institusi Ilahi dirancang untuk “selama-lamanya ”. Kesan lain dari karunia abadi kepadanya adalah bahwa ia selalu mengalir dan selalu surut, dalam arti benar-benar memiliki gerak-pasang dan gerak-surut bagi setiap individu yang masuk dalam cakupannya.
Hanya ada satu air, tetapi bukan merupakan dua wahyu yang sama secara lahir. Setiap gelombang memiliki karakteristiknya sendiri sesuai dengan tujuannya, yaitu kebutuhan-kebutuhan khusus dari waktu dan tempat serta dalam rangka memberikan tanggapan sebagaimana ia ditetapkan oleh Tuhan. Kebutuhan-kebutuhan ini, yang mencakup daya terima dan bakat etnik yang berbeda-beda dari masyarakat ke masyarakat, bisa disamakan dengan rongga dan lubang-lubang yang terdapat di jalan gelombang. Sebagian besar orang-orang yang beriman berhubungan eksklusif dengan air yang dikandung gelombang dalam wadah ini dan yang membentuk aspek formal agama.
Di sisi lain, mistik dan Tasawuf adalah sejenis mistisisme terutama berbicara tentang “misteri-misteri kerajaan langit-surgawi”. Karena itu, tidak salah jika dikatakan, menurut bayangan kita, bahwa seorang mistikus adalah seseorang yang jauh lebih terpikat dengan gelombang surut daripada air yang meninggalkan. Dia tidak memiliki sedikit pun kebutuhan terhadap sisa (yang meninggalkan) ini seperti masyarakatnya yang lain - yaitu kebutuhan terhadap bentuk-bentuk lahir agamanya yang hanya memperhatikan individu manusiawi.
Karena, jika dipertanyakan apa yang ada dalam diri mistikus yang bisa ikut dalam gelombang surut, maka bagian dari jawabannya adalah bukan tubuhnya dan bukan jiwanya. Tubuh tidak bisa ikut dalam arus surut sampai terjadinya kebangkitan kembali, yang merupakan tahap pertama penggabungan kembali tubuh dan bersama dengannya seluruh keadaan material - pada tingkat wujud yang lebih tinggi.
Sementara jiwa, ia harus menunggu sampai kematian tubuh. Sampai di situ, sekalipun abadi, ia tetap terpenjara dalam dunia fana. Pada kematian Al-Ghazali, Sufi besar abad ke-12 M, sebuah puisi yang pernah ia tulis pada masa sakitnya ditemukan di bawah kepalanya. Disitu terdapat tulisan:
“Aku adalah seekor burung: tubuh ini adalah sangkarku. Tetapi aku telah terbang meniggalkannya sebagai sebuah kenangan.”
Sufi-sufi besar lain juga pernah mengukapkannya dengan maksud serupa. Tetapi mereka juga telah membuatnya jelas dalam tulisan, pernyataan, atau kehidupan - dan bagi kita, ini merupakan ukuran kebesaran mereka - sehingga sesuatu yang ada dalam diri mereka telah mengikuti gerak surut sebelum kematian, meskipun ‘sangkar’ merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada yang lain sehingga harus menunggu kematian untuk membuatnya bebas.
Sesuatu yang terseret oleh perwujudan spiritual menuju Asal bisa disebut pusat kesadaran. Samudera berada di dalam dan di luar, dan jalan para mistikus merupakan kebangkitan bertahap sehingga ia merupakan ‘jalan balik’ (backward ) menuju akar wujud seseorang, sebuah kenangan atas Diri Tertinggi (Supreme Self ) yang begitu jauh melintasi ego manusiawi dan yang tak lain merupakan Kedalaman sebagai tujuan gelombang surut.
Untuk menggunakan gambaran lain yang akan membantu menyempurnakan gambaran pertama, kita bisa mengibaratkan dunia ini dengan sebuah kebun - atau lebih tepatnya, kebun persemaian benih. Karena semua yang ditanam di sana pada akhirnya dimaksudkan untuk ditanam di tempat lain. Bagian tengah dari kebun ini disediakan khusus untuk pohon-pohon jenis unggul (noble kind ).
Walaupun relatif kecil dan tumbuh di pot yang terbuat dari tembikar, tetapi ketika kita melihat pohon-pohon itu, seluruh perhatian kita tertuju pada sebuah pohon yang keindahannya sangat menonjol dari yang lain, sebuah pohon yang kesuburan dan kekuatan pertumbuhannya sangat unggul. Penyebabnya tidak bisa terlihat oleh mata telanjang. Tetapi kita akan mengetahui sekaligus apa yang telah terjadi, tanpa perlu melakukan investigasi, yakni bahwa pohon itu telah mampu menghujamkan ujung akarnya ke dalam bumi menembus dasar wadah tempat tumbuhnya.
Pohon-pohon itu adalah jiwa-jiwa, dan salah satu dari pohon-pohon itu adalah seseorang yang - dalam istilah Hindu - telah “terbebaskan dalam kehidupan”, orang yang telah mencapai “Maqam Tertinggi” dalam istilah kaum Sufi. Dalam hal ini, Tasawuf adalah sebuah jalan dan sarana menancapkan akar melalui ‘celah sempit’ dalam kedalaman jiwa menuju medan Ruh murni dan merdeka yang membuka diri pada Keilahian.
Seorang Sufi yang telah mencapai kematangan perkembangan (full-grown ) menyadari - seperti orang lain - akan dirinya sebagai tawanan dalam dunia bentuk-bentuk. Tetapi berbeda dengan orang lain, Sufi tersebut menyadari dirinya sebagai yang merdeka dengan kemerdekaan yang jauh melampaui keterpenjaraannya. Karena itu, dia bisa dikatakan memiliki dua pusat kesadaran, satu bersifat manusiawi dan satu lagi bersifat Ilahi. Dia bisa berbicara dalam satu dimensi kesadaran dan juga dari dimensi kesadaran yang lain, yang bisa melahirkan sejumlah kontradiksi nyata.
Mengikuti jalan para mistikus berarti menganggapnya sebagai sebuah dimensi tambahan. Karena jalan ini tak lain adalah dimensi kedalaman. Akibatnya, sebagaimana akan terlihat lebih rinci pada kesempatan berikutnya, ritus-ritus itu pun - yang dilaksanakan oleh seorang mistikus bersama masyarakatnya dan yang sangat mereka butuhkan untuk keseimbangan jiwa mereka - tidak dilaksanakan secara eksoterik sebagaimana orang lain melaksanakannya.
Tetapi, dia melaksanakannya dari sudut pandang esoterik yang sama dalamnya, yang memberikan ciri khusus terhadap seluruh ritusnya dan yang secara metodis dilarang mengabaikannya. Dengan kata lain, dia tidak boleh kehilangan pandangan kebenaran bahwa air yang ditinggalkan oleh gelombang adalah air yang sama dengan yang surut dan kembali lagi ke laut.
Secara analogis, dia tidak boleh lupa bahwa jiwanya - seperti air yang terpenjara dalam bentuk-bentuk - tidak berbeda secara esensial dengan Ruh yang transenden. Jiwa merupakan perpanjangannya, seperti tangan yang dijulurkan dan dimasukkan ke dalam sebuah wadah lalu, akhirnya, ditarik kembali.
Jika alasannya judul di atas belum jelas, hal ini di antaranya disebabkan karena kata ‘original’ ’ (asli) telah menjadi beku dengan makna-makna yang tidak menyentuh esensi keaslian, tetapi justru dibatasi pada salah satu konsekuensinya, yaitu perbedaan, sebuah kualitas yang tidak lumrah dan luar biasa. Kata original bahkan pernah digunakan sebagai padanan kata abnormal yang merupakan sebuah penyimpangan berlebihan, karena keaslian sejati selalu merupakan sebuah norma. Ia tidak dapat dicapai oleh kehendak manusia, sementara keajaiban begitu mudah diperoleh, tepatnya karena ia tak lebih dari kekacauan tanpa alasan.
Yang asli adalah yang memancar langsung dari asal atau sumber, seperti air murni dan belum tercampuri apa pun yang belum pernah melalui dampak-dampak sampingan. Maka keaslian terkait dengan inspirasi dan terutama dengan wahyu. Karena asal adalah transenden, di balik dunia, dalam wilayah Ruh. Akhirnya asal tak lain dari Sang Mutlak, Yang Tak Terhingga dan Abadi, yang merupakan asal nama suci Sang Awal, dalam bahasa Arab al-Badi’, yang juga bisa diterjemahkan Yang Maha Indah.
Dari samudera kemungkinan yang tak bertepi inilah gelombang pasang besar wahyu mengalir, secara mengagumkan masing-masing berbeda satu sama lain, karena masing-masing mengemban citra Yang Satu-dan-Hanya Satu tempat kemunculannya. Citra ini menjadi kualitas keunikan dan masing-masing begitu serupa, karena kandungan esensial pesannya adalah Yang Satu-dan-Hanya Kebenaran.
Dalam pandangan terhadap citra gelombang, kita melihat bahwa keaslian merupakan sebuah jaminan efektualitas dan otentisitas. Otentisitas, dengan ortodoksi yang seolah-olah menjadi wajah duniawinya, dibentuk oleh arus gelombang, yaitu sumber langsung wahyu dari Asal Ilahiahnya. Dalam setiap arus terdapat janji akan adanya gelombang surut yang merupakan tempat efektualitas, Rahmat Kebenaran yang memiliki daya tarik yang tidak bisa ditolak.
Tasawuf tidak lain adalah mistisisme Islam, yang berarti bahwa ia merupakan pusat dan arus paling kuat dari gelombang pasang yang memuat Wahyu Islam; dan akan menjadi jelas dari apa yang dikatakan bahwa usaha menegaskan ini bukan berarti sebuah perendahan, seperti terlintas dalam benak kita. Sebaliknya ini merupakan penegasan bahwa Tasawuf adalah otentik sekaligus efektual.
Tentang ribuan orang di dunia Barat modern yang - sambil mengaku diri sebagai Sufi - menyatakan bahwa Tasawuf tidak terkait dengan agama tertentu dan bahwa ia selamanya eksis, tanpa sadar mereka telah mereduksinya - jika kita boleh menggunakan citra dasar serupa - pada “jaringan saluran air pedalaman yang merupakan tiruan belaka”. Mereka tidak bisa melihat bahwa dengan mengambilnya dari partikularitasnya - dan karenanya juga orisinalitasnya - mereka juga mencabutnya dari seluruh pendorong.
Tidak perlu ditegaskan kembali bahwa saluran air itu ada. Misalnya, sejak Islam memapankan dirinya di anak benua India, telah terjadi pertukaran intelektual antara kaum Sufi dan kaum Brahma; dan pada akhirnya Tasawuf mengadopsi istilah dan gagasan tertentu dari Neoplatonisme. Tetapi, dasar-dasar Tasawuf berdiri kokoh jauh sebelum ia membuka kemungkinan bagi pengaruh asing dan sejalan untuk memperkenalkan unsur-unsur non-Islaminya. Ketika akhirnya pengaruh-pengaruh itu terasa, pengaruh-pengaruh itu hanya menyentuh permukaannya saja.
Dengan kata lain, karena terkait secara total dengan satu wahyu tertentu, Tasawuf sepenuhnya menjadi independen dari segala hal yang lain. Tetapi, sambil mencukupi kebutuhannya sendiri, jika waktu dan tempat memungkinkan, ia juga memetik bunga-bunga dari taman lain di luar tamannya sendiri. Nabi umat Islam bersabda: “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri China.” Toh pada kenyataannya Islam tertua di luar jazirah Arab adalah dataran China.