Suatu ketika Sri Kresna mendatangi Kerajaan Hastinapura sebagai duta dari Pandawa untuk menuntut keadilan kepada para Kurawa, khususnya kepada Prabu Duryodana, agar menyerahkan kembali Kerajaan Amarta dan separuh Kerajaan Hastinapura yang menjadi hak dari Pandawa.
Namun bukannya disambut dengan baik, kedatangan Sri Kresna justru diterima dengan hinaan dan sikap arogan dari para Kurawa, mereka merasa dirinya lebih baik dari Pandawa, mereka menganggap dirinya lebih berhak mengatur negara dibandingkan Pandawa, dan dengan congkaknya mereka juga merasa lebih unggul, lebih mulia dan lebih berkuasa dibandingkan dengan Pandawa, sehingga apa yang seharusnya menjadi hak Pandawa tidak hanya tidak diberikan namun juga mereka menganggap Pandawa tidak memiliki hak apa pun atas negeri Amarta dan Hastinapura, bahkan Sri Kresna diserang secara licik oleh Kurawa, di balairung istana Sri Kresna dikeroyok dengan curang oleh para Kurawa.
Merasa terdesak dan didorong oleh kemarahan yang memuncak atas sikap Kurawa yang ingkar janji, kurang ajar dan pengecut, juga dalam rangka melindungi dirinya, Sri Kresna pun menunjukkan kekuatannya, ia mengubah badannya menjadi raksasa dengan kekuatan yang maha dahsyat, sehingga Kurawa yang mengeroyoknya menjadi kocar-kacir, bahkan tembok dan bangunan istana pun jebol tak sanggup menahan luapan amarah dari Sri Kresna.
Dalam dunia pewayangan perubahan bentuk dan kekuatan seseorang menjadi besar atau raksasa disebut dengan “Tiwikrama”, dan hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang dapat melakukan transformasi bentuk semacam itu, selain Sri Kresna adalah Arjuna Sasrabahu yang pernah mengalami perubahan bentuk dua kali kala berhadapan dengan Bambang Sumantri dan saat berhadapan dengan Rahwana, Raja Alengka, ada pula Puntadewa (Yudistira) yang pernah juga bertiwikrama saat mengamuk di kayangan karena adik-adiknya dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka oleh Batara Guru, Hanoman juga pernah melakukan tiwikrama saat bertarung menghadapi raksasa Wilkataksani.
Tiwikrama, atau transformasi bentuk dari kecil menjadi besar, atau dari lemah menjadi kuat, tidak dapat terjadi sewaktu-waktu, namun hanya dalam kondisi tertentu saja yakni saat keadaan sudah sangat terjepit dan emosi atau amarah sudah tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga secara filosofis tiwikrama dapat dimaknai sebagai kekuatan tersembunyi yang dapat muncul saat seseorang merasa tidak berdaya menghadapi kekuatan besar yang menghimpitnya.
Dalam konteks kemasyarakatan, bisa saja filosofi tiwikrama itu terjadi, terutama saat masyarakat sebagai pihak yang lemah mendapatkan penindasan dari kekuatan besar penguasa, maka ketika penindasan itu dilakukan secara terus-menerus dan masyarakat tidak mempunyai kekuatan dan kuasa untuk melawan sama sekali, masyarakat hanya digunakan sebagai objek atas kebijakan-kebijakan eksperimental oleh penguasa, saat suaranya tidak pernah didengar, aspirasinya tidak pernah diperhatikan dan kebutuhannya tidak pernah dicukupi oleh penguasa, sehingga saat ketidakberdayaan itu mencapai puncaknya bisa saja masyarakat bertiwikrama, bertransformasi menjadi kekuatan maha dahsyat, yang amarahnya sanggup menjebol dinding-dinding istana kekuasaan.
Namun perlu dipahami, bahwa perubahan kekuatan yang bersifat instan semacam itu, bersifat sangat destruktif, apalagi muncul dari rasa ketidakpuasan yang akut dan amarah yang memuncak, maka akan sulit sekali untuk dikendalikan, kemarahan kolektif yang muncul sebagai respons atas ketidakadilan dan keterdesakan yang mereka rasakan selama ini hanya dapat reda saat apa yang menjadi sumber amuk mereka diselesaikan.
Sebagaimana proses tiwikrama tokoh pewayangan yang berhenti saat kemarahannya telah terlampiaskan, maka tiwikrama sosial juga dapat berakhir ketika apa yang menjadi tuntutan mereka telah terpenuhi, maka tidak akan ada gunanya memberi nasihat kepada seseorang atau kelompok yang sedang bertiwikrama, karena saat kondisi itu terjadi nasihat sebagus apa pun dan dari siapa pun, jangankan dari tokoh ormas dan agama, bahkan jika para dewata turun ke bumi untuk menasihati niscaya tidak akan ada gunanya.
Hal itu pernah terjadi saat Prabu Arjuna Sasrabahu melakukan tiwikrama dan hendak menghadapi Rahwana, Raja Alengka, mengingat kesaktian dan kekuatan Prabu Arjuna Sasrabahu yang sangat menakutkan saat dalam mode tiwikrama, maka Batara Guru melalui Batara Narada dan Batara Mahadewa berusaha membujuk dan menenangkan Arjuna Sasrabahu agar kembali ke wujudnya semula, namun karena Rahwana telah banyak membunuh para prajuritnya, juga telah berlaku licik memengaruhi permaisuri agar bunuh diri, ditambah lagi dengan tewasnya sang patih, maka dalam kemarahan yang telah memuncak tersebut, Arjuna Sasrabahu tetap dalam pendiriannya untuk mengalahkan Rahwana, dan saat Raja dari Alengka tersebut berhasil ia kalahkan, barulah kemarahannya mereda dan ia kembali kepada bentuk sebelumnya.
Kembali kepada soal tiwikrama sosial yang terjadi beberapa hari terakhir ini, saya rasa pemerintah sebagai penguasa perlu bersikap arif dan bijaksana, dengan mendengar serta memenuhi tuntutan dari masyarakat yang bersifat substansial, agar kemarahan kolektif yang terjadi dapat mereda, dan kehidupan masyarakat dapat berjalan normal kembali seperti sedia kala.
Saya berkeyakinan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat yang cinta kedamaian, penuh dengan toleransi, nrimo ing pandum, sabar dalam menerima takdir dan nasibnya sepanjang bukan terjadi karena ketidakadilan, mereka juga mudah memaafkan atas kesalahan yang telah orang lain atau pemerintah lakukan.
Jadi, tidak ada salahnya bagi pemerintah saat ini untuk meminta maaf kepada masyarakat atas kondisi yang ada selama ini, dan pemerintah harus berani mengakui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat yang telah banyak membuat masyarakat menderita dan sengsara, dan berjanji secara konkret untuk berubah menjadi lebih baik dan menjalankan roda pemerintahan dengan lebih adil dan bijaksana, dan jika hal itu dilakukan secara tulus, bukan sekadar gimmick semata, saya yakin kemarahan masyarakat akan terhenti dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan normal kembali.