Di antara reruntuhan rumah, pohon zaitun yang patah, dan arsip-arsip yang hilang, satu hal tetap abadi: keberanian untuk mengingat.
Tersimpan peta usang berwarna hijau pucat dan garis hitam yang ditarik terburu-buru di sebuah ruang arsip Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdebu pada penghujung 1947. Garis itu dimaksudkan untuk membagi negeri menjadi dua, seolah-olah tanah bisa dipotong seperti kue pesta. Desa-desa Palestina pun menghilang satu demi satu di luar ruang itu. Nama-nama mereka tetap tertera di lembaran dokumen resmi, tetapi di tanah lapang yang nyata, hanya tersisa reruntuhan masjid, sumur kering, dan pohon zaitun yang kehilangan penjaganya.
Sejak saat itu, dunia internasional belajar satu pelajaran ganjil: terkadang, tinta di atas kertas lebih kuat tinimbang suara ribuan manusia.
Sejarah Palestina adalah sejarah akta-akta yang menghapus berupa dokumen-dokumen yang ditulis atas nama kemajuan, perdamaian, atau hukum internasional, namun justru menuliskan penghapusan. Deklarasi Balfour 1917, UN Partition Plan 1947, resolusi-resolusi yang gagal, hingga Oslo Accords yang dijanjikan sebagai fajar perdamaian tetapi berubah menjadi senja ilusi. Semuanya mengajarkan satu hal: bahwa bahasa hukum dan diplomasi bisa menjadi mesin pencuci sejarah, menyulap tragedi menjadi statistik, pengusiran menjadi “relokasi,” dan pendudukan menjadi “status sementara.”
Akan tetapi sejarah tidak bisa dicuci bersih begitu saja. Ia mengendap di tubuh manusia, di suara-suara anak-anak yang tumbuh di kamp pengungsi, di dinding-dinding rumah yang retak karena peluru, dan di arsip alternatif yang diciptakan seniman, penulis, dan para pengungsi sendiri. Sebab di balik setiap akta yang menghapus, selalu ada ingatan yang melawan penghapusan.
Deklarasi yang Menghapus
Semuanya bermula titimangsa 2 November 1917, ketika sebuah surat pendek dari Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, dialamatkan kepada Lord Rothschild. Surat itu, yang kelak disebut “Deklarasi Balfour”, hanya terdiri dari 67 kata. Namun, ia adalah ledakan yang mengguncang berabad-abad kehidupan Palestina. Dengan kalimat ambigu tentang “the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people,” Inggris menandatangani nasib sebuah bangsa yang bahkan tidak disebut dalam surat itu, yaitu penduduk asli Palestina, yang kala itu berjumlah lebih dari 90 persen populasi, hanya dilukiskan sebagai “non-Jewish communities” dengan hak-hak sipil dan agama, tanpa menyebut hak politik mereka.
Balfour bukan sekadar dokumen diplomatik. Ia adalah akta penghapusan pertama yang modern, lahir di tengah logika kolonial Inggris yang melihat tanah sebagai papan catur geopolitik. Di balik kata-kata yang tampak semenjana, terselubung ideologi Zionisme yang kala itu sedang mencari legitimasi internasional. Tamar Amar-Dahl menulis bahwa Zionisme sejak awal merupakan proyek yang mendefinisikan dirinya dengan menegasikan diaspora Yahudi dan sekaligus meniadakan kehadiran orang Palestina di tanah yang mereka huni turun-temurun (Amar-Dahl, 2016, hlm. 2-3).
Deklarasi itu juga membuka jalan bagi mandat Inggris atas Palestina (1920-1948). Selama periode ini, arsip kolonial dipenuhi laporan, resolusi, dan kebijakan yang semakin mempersempit ruang gerak Palestina. Administrasi Inggris mengatur tanah, migrasi, dan keamanan, tetapi dengan bias sistematis: memberikan ruang besar bagi imigrasi Yahudi, sembari menekan tuntutan politik orang Palestina (Dumper & Badran, 2025, hlm. 100-105). Akta-akta mandat ini menjadi bentuk legalitas yang menutupi ketidakadilan.
Dalam perspektif Palestina, Balfour adalah akta awal yang menghapus eksistensi mereka dari bahasa resmi diplomasi internasional. Ia menulis ulang sejarah dengan mengabaikan kehadiran sebuah bangsa. Sejak itu, setiap dokumen yang lahir di meja birokrat kolonial atau diplomasi internasional selalu membawa sisa logika yang sama: menghapus dengan kata-kata.
Resolusi & Partisi
Di akhir 1947, dunia berkumpul di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Di sana, lahir “Resolusi Majelis Umum PBB 181”, sebuah dokumen yang akan menjadi salah satu akta paling menentukan abad ke-20. Peta kecil yang dipajang di ruang sidang membagi tanah Palestina menjadi dua: satu untuk negara Yahudi, satu untuk negara Arab, dengan Yerusalem ditempatkan di bawah rezim internasional. Garis-garis di peta itu tampak rapi, geometris, seolah-olah konflik berabad-abad bisa diselesaikan dengan penggaris dan pena.
Namun, bagi orang Palestina, resolusi itu adalah vonis. Bagaimana mungkin sebuah organisasi internasional memberi lebih dari separuh tanah Palestina kepada sebuah komunitas imigran yang saat itu baru sekitar sepertiga populasi? Resolusi 181 dengan mudah menyalin logika Balfour: Palestina tetap tak bernama, hanya “non-Jewish Arabs” yang tersisih dari kalimat resmi.
Ketika resolusi itu dijalankan, yang menyusul bukanlah negara merdeka Palestina, melainkan Nakba. Antara 1947-1949, lebih dari 700 ribu orang Palestina terusir dari rumah mereka, ratusan desa dihancurkan, dan sebuah bangsa diubah menjadi pengungsi permanen (Pappé dalam Dumper & Badran, 2025, hlm. 119-120). Akta internasional yang dijanjikan sebagai jalan menuju perdamaian justru menjadi catatan resmi penghapusan massal.
Dokumen partisi adalah contoh paling gamblang dari “pencucian sejarah” dengan tinta legalitas. Ia menawarkan legitimasi untuk pengusiran dengan balutan hukum internasional. Kata-kata tentang “two states” menutupi kenyataan bahwa yang lahir hanyalah satu negara yang semakin meluas, sementara Palestina tercerai-berai ke dalam diaspora, kamp-kamp pengungsi, dan wilayah-wilayah tanpa kedaulatan.
Akta Kamp & Koloni
Setelah Nakba, sejarah Palestina berubah menjadi sejarah kamp. Dari Jenin hingga Jabaliya, dari Dheisheh hingga Shatila, kamp pengungsi berdiri sebagai bukti hidup dari janji internasional yang tak pernah ditepati. Setiap tenda yang kemudian berubah menjadi rumah beton adalah arsip yang menuduh dunia: bahwa resolusi demi resolusi tak pernah mengembalikan hak kembali pulang.
Nasser Abourahme (2025) mendedah bahwa kamp bukan sekadar tempat tinggal sementara, melainkan sebuah “rezim teknomoral” yang dibentuk dari dokumen-dokumen sementara yang berubah menjadi permanen (hlm. 33-35). Mandat-mandat PBB, kartu pengungsi United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), senarai administratif: semuanya mengurung Palestina dalam status “sementara” yang tak pernah berakhir. Dalam bahasa birokrasi, pengungsi didefinisikan, dihitung, dan didaftarkan; tetapi sebagai manusia, mereka tetap tidak diakui.
Kamp, dalam arti paling telanjang, adalah arsip tubuh. Dinding retak menyimpan kisah yang tidak tercatat dalam resolusi Dewan Keamanan. Anak-anak yang lahir di dalam kamp menjadi catatan hidup tentang keabadian penghapusan. Abourahme menyebutnya sebagai paradoks: dokumen-dokumen internasional menciptakan ruang yang dimaksudkan sebagai perantara, tetapi justru berubah menjadi lanskap permanen kolonialisme, sebuah colony of the displaced(Abourahme, 2025, hlm. 63-65).
Di sisi lain, koloni permukiman Yahudi di tanah Palestina bertumbuh dengan legalitas yang sama sekali berbeda. Setiap izin, setiap akta tanah, setiap undang-undang Israel yang disahkan di Knesset menuliskan keabadian kolonialisme. Di sini terlihat simetri terbalik: kamp pengungsi dibekukan dalam “sementara,” sementara koloni dipermanenkan dalam hukum negara.
Maka, kamp dan koloni menjadi dua wajah dari akta-akta yang menghapus. Kamp menghapus masa depan dengan memenjarakan Palestina dalam status “sementara,” koloni menghapus masa silam dengan menutupi jejak desa-desa yang dihancurkan. Dan di tengah-tengahnya, dokumen-dokumen internasional, dari resolusi PBB hingga perjanjian gencatan senjata, berfungsi sebagai catatan administrasi penghapusan yang berlangsung diam-diam, tanpa tinta merah darah di halaman, tetapi dengan darah yang terus mengalir di tanah.
Oslo & Fiksi Perdamaian
Pada musim gugur 1993, kamera televisi di seluruh dunia menangkap momen ikonik: Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan di halaman Gedung Putih, dengan Bill Clinton tersenyum di antara mereka. Itu adalah gambar yang dimaksudkan sebagai ikon perdamaian, sebuah akta baru yang disebut “Oslo Accords”. Dunia menyambutnya sebagai fajar baru, tetapi bagi Palestina, itu adalah fiksi yang membungkus kegelapan lama dengan kata-kata manis diplomasi.
Oslo, yang dibagi dalam berbagai lampiran administratif, mengatur pembagian wilayah Tepi Barat menjadi Area A, B, dan C. Seolah-olah dengan membagi tanah ke dalam tabel teknokratis, sejarah pengusiran bisa dihapus. Palestina di atas kertas diberi otonomi terbatas; dalam kenyataan, pendudukan semakin mengakar. Oslo menciptakan ilusi negara di atas dokumen, tetapi di lapangan hanya memperluas rezim kontrol Israel.
Bahasa Oslo yaitu “mutual recognition,” “confidence-building measures,” dan “final status negotiations” seperti mantra diplomatik yang meninabobokan dunia. Namun, di baliknya tersembunyi logika lama: menunda pengakuan penuh atas Palestina, sambil memberikan Israel ruang untuk terus membangun koloni. Dalam istilah Nathan Brown dan Iman Elbanna, Oslo justru menginsinuasikan “one-state reality” ke dalam kehidupan politik Palestina: satu negara yang berkuasa penuh, dengan dua sistem hukum yang timpang (Barnett dkk., 2023, hlm. 117-118).
Oslo adalah akta pencucian sejarah dalam bentuk paling canggih. Jika Balfour menghapus Palestina dengan satu kalimat singkat, maka Oslo melakukannya dengan berlembar-lembar klausul, peta administrasi, dan perjanjian teknis. Ia tidak lagi berbicara tentang pengusiran atau hak kembali, tetapi tentang “mekanisme keamanan,” “koordinasi sipil,” dan “aturan perdagangan.” Di situlah penghapusan menemukan bentuk paling subtil: bukan lagi dengan kekerasan terang-terangan, tetapi dengan bahasa birokrasi internasional.
Arsip yang Terselubung
Namun, arsip resmi bukanlah satu-satunya yang berbicara. Di balik dokumen-dokumen yang menghapus, lahir arsip tandingan yang terselubung: seni, film, puisi, dan ingatan kolektif. Gil Z. Hochberg (2021) menulis tentang archive fatigue, sebuah kelelahan kolektif terhadap temuan arsip resmi. Semua fakta tentang Nakba sudah terbuka: peta desa yang dihancurkan, dokumen pengusiran, catatan militer. Walakin pengungkapan fakta tidak mengubah apa-apa, karena masalah bukan pada ketidaktahuan, melainkan pada penyangkalan moral dan politik.
Sejak 1980-an, arsip negara Israel dibuka sebagian dan “New Historians” seperti Ilan Pappé membongkar rincian pengusiran. Namun, kebenaran itu segera ditelan ulang oleh narasi dominan yang menjustifikasi “pembersihan etnis” sebagai kebutuhan sejarah. Hochberg menegaskan: rahasia arsip sering kali hanyalah “open secrets,” rahasia yang semua orang tahu tetapi pura-pura dilupakan (Hochberg, 2021).
Maka lahirlah arsip alternatif. Film Kamal Aljafari mengolah kembali rekaman video Israel untuk menampilkan jejak kehidupan Palestina yang dihapus. Seniman seperti Larissa Sansour menciptakan “sci-fi archives” yang memproyeksikan masa depan Palestina yang belum ada, tetapi sangat mungkin. Arsip semacam ini tidak hanya merekam masa lalu, tetapi menolak penghapusan dengan cara membayangkan kemungkinan lain.
Di titik inilah arsip menjadi alat perlawanan. Ia tidak lagi sekadar bukti hukum untuk diperdebatkan di pengadilan internasional yang lumpuh, melainkan amunisi kultural yang menolak penghapusan total. Jika akta-akta resmi berusaha menghapus Palestina dengan bahasa hukum, maka arsip tandingan menuliskannya kembali dengan bahasa imajinasi.
Setelah Zionisme
Di setiap tikungan sejarah, para diplomat dunia selalu kembali pada mantra lama: two-state solution. Seperti doa yang diulang-ulang, seolah-olah kata-kata itu sendiri mampu menyembuhkan luka sejarah. Namun, kenyataannya, setiap kali dua negara dibicarakan di meja perundingan, di lapangan hanya ada satu kenyataan: sebuah negara dengan kuasa penuh atas tanah, udara, dan perbatasan, sementara Palestina terus direduksi menjadi kantong-kantong tanpa kedaulatan.
Antony Loewenstein dan Ahmed Moor (2024) meneroka bahwa gagasan dua negara adalah fiksi yang dipelihara dengan penuh kesetiaan, bahkan ketika kenyataannya sudah lama mati. Jumlah pemukim Israel di Tepi Barat melonjak dari setengah juta pada 2009 menjadi lebih dari 750 ribu pada 2023. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan segel mati untuk ilusi negara Palestina merdeka (Loewenstein & Moor, 2024).
Lebih dari itu, buku After Zionism menegaskan bahwa proyek Zionisme telah memproduksi mitos yang dibungkus dalam media, resolusi, dan perjanjian internasional. Oslo hanyalah salah satunya; Abraham Accords menambah daftar akta yang menyisihkan Palestina dari meja perundingan. Dalam narasi Loewenstein, apa yang disebut “normalisasi” hanyalah cara lain untuk mencuci bersih sejarah penghapusan dengan bahasa kerja sama regional (Loewenstein & Moor, 2024).
“Setelah Zionisme” bukan berarti dunia tanpa Yahudi, melainkan dunia tanpa ilusi negara etnoreligius yang berdiri di atas penghapusan bangsa lain. Omar Barghouti, salah satu suara dalam buku ini, mengusulkan jalan keluar melalui negara demokratis sekuler di seluruh tanah historis Palestina: sebuah ruang politik baru di mana hak tidak ditentukan oleh etnis atau agama, tetapi oleh martabat manusia (Loewenstein & Moor, 2024, hlm. 210-212).
Dalam kerangka itu, dokumen internasional harus ditulis ulang, bukan untuk menghapus, tetapi untuk mengakui keberadaan bersama. Sebuah kontrak sosial anyar yang lahir bukan dari meja perundingan elit, tetapi dari suara rakyat yang terus bertahan meski berkali-kali dihapus dari sejarah resmi.
Realitas Satu Negara & Politik Ingatan
Hari ini, antara Laut Tengah dan Sungai Yordan, tak ada lagi yang bisa disebut status sementara. Tidak ada lagi “masa transisi” atau “negosiasi final status” yang ditunda. Ada satu negara, dengan satu otoritas yang mengontrol perbatasan, udara, dan hukum; hanya saja, negara itu memberlakukan dua sistem berbeda: satu untuk warganya yang istimewa, satu untuk yang dikuasai. Inilah yang oleh Barnett, Brown, Lynch, dan Telhami (2023) disebut sebagai one-state reality (hlm. 1-2).
One-state reality bukan solusi, melainkan deskripsi jujur tentang apa yang sudah ada. Ia menyingkap kebohongan di balik resolusi PBB dan perjanjian damai yang selalu berbicara seolah-olah dua negara masih mungkin diwujudkan. Dengan mengakui kenyataan ini, para peneliti memaksa kita untuk melihat lebih dalam: bahwa konsep negara, kedaulatan, dan demokrasi harus dibaca ulang, karena Israel/Palestina bukan sekadar konflik, melainkan rezim apartheid yang dilegalkan oleh dokumen internasional (Barnett dkk., 2023).
Akan tetapi di balik semua itu, ada satu hal yang tidak bisa dihapus: ingatan. Ingatan kolektif Palestina, yang hidup di pengungsian, di kamp, di lagu dan puisi, menjadi arsip tandingan yang menolak penghapusan. Hochberg (2021) menyebutnya sebagai archival imagination, imajinasi arsip yang tak lagi mencari bukti masa lampau, melainkan menulis kemungkinan masa depan. Ingatan ini adalah politik yang menolak logika penghapusan: sebuah penegasan bahwa meski akta-akta resmi meniadakan Palestina, memori rakyat terus menulis catatan lain.
Politik ingatan ini membalikkan logika kolonial. Jika dokumen resmi mengatakan Palestina hilang, maka lagu-lagu rakyat, mural di kamp pengungsi, dan film-film independen berkata: Palestina ada, dan terus ada. Inilah perlawanan yang tak membutuhkan resolusi Dewan Keamanan atau tanda tangan presiden: perlawanan yang hidup di dalam tubuh, dalam bahasa sehari-hari, dalam nama desa yang terus disebut meski tidak lagi ada di peta resmi.
One-state reality, pada akhirnya, hanyalah satu bab dari kisah panjang akta-akta yang menghapus. Bab berikutnya masih terbuka: apakah dunia akan terus menulis akta penghapusan baru, atau berani menulis ulang sejarah dengan tinta keadilan?
Membaca nan Hilang
Sejarah Palestina adalah sejarah kertas yang menindih tubuh manusia. Dari Deklarasi Balfour hingga Oslo Accords, dari resolusi PBB hingga peta partisi, dunia telah menyaksikan bagaimana dokumen-dokumen internasional mengubah negeri yang hidup menjadi arsip yang beku. Kata-kata diplomatik membungkam suara pengungsi, peta teknokratik menggantikan desa yang hancur, dan janji-janji perdamaian menutupi darah yang tidak pernah kering.
Namun, penghapusan tidak pernah tuntas. Akta-akta itu mungkin menyingkirkan Palestina dari bahasa resmi, tetapi tidak dari ingatan. Mereka bisa menghapus nama sebuah desa dari peta PBB, tetapi tidak bisa menghapus nyanyian yang masih dinyanyikan cucu-cucu pengungsi tentang desa itu. Mereka bisa menutup arsip negara dengan kunci baja, tetapi tidak bisa menutup puisi Mahmoud Darwish yang beredar bebas di udara. Mereka bisa menyebut kamp sebagai “penampungan sementara,” tetapi rumah-rumah beton yang tumbuh di sana berbicara lebih keras: bahwa sementara telah berubah menjadi keabadian.
Gil Z. Hochberg pernah menulis bahwa arsip resmi hanya menyimpan “open secrets,” rahasia yang semua orang tahu tetapi dunia pura-pura melupakan (Hochberg, 2021). Di situlah letak paradoks besar: kebenaran tentang penghapusan Palestina sudah jelas, terdokumentasi, terpublikasi. Tetapi akta-akta internasional justru dipakai untuk menghapus makna kebenaran itu. Maka, tugas kita bukan lagi mencari fakta anyar, melainkan membaca ulang yang telah dihapus, menghidupkan kembali yang dinyatakan hilang.
Di jalan-jalan Gaza, di kamp-kamp Tepi Barat, di diaspora Beirut, Amman, hingga Berlin, generasi baru Palestina sedang menulis arsip mereka sendiri dengan mural, film, musik, dan kisah yang diturunkan dari mulut ke mulut. Inilah catatan tandingan yang menolak dilenyapkan, catatan yang tidak menunggu pengesahan Dewan Keamanan. Mereka menulis untuk mengingat, tetapi juga untuk menyalakan kemungkinan masa depan.
Mungkin dunia akan terus memproduksi akta-akta baru: resolusi gencatan senjata, rencana perdamaian, normalisasi diplomatik. Tetapi selama dokumen itu hanya menjadi mesin pencuci sejarah, ia akan menambah daftar panjang arsip penghapusan. Tugas sejarah yang sesungguhnya adalah menulis akta baru, bukan yang menghapus, melainkan yang mengakui, yang mengembalikan, yang memberi tempat bagi Palestina untuk hadir sepenuhnya.
Di antara reruntuhan rumah, pohon zaitun yang patah, dan arsip-arsip yang hilang, satu hal tetap abadi: keberanian untuk mengingat. Sebab di dunia yang sibuk menghapus, mengingat adalah bentuk perlawanan paling radikal.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.
Tarikh | 04.06.2021
Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Tarikh | 22.09.2017
Tarikh | 09.10.2017